• Cerita
  • Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh

Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh

Ida (43), bekas petani penggarap yang kehilangan pendapatan sebagai tukang cuci baju akibat pagebluk. Sejak empat bulan lalu, dia ada balik kostum Pooh.

Ida (43), perempuan di balik kostum Winnie The Pooh, ditemui di trotoar Jalan Asia Afrika, Bandung, Selasa (3/5/2021) siang. Kehilangan pendapatan akibat pandemi Covid-19, dia mengais rezeki di jalanan sejak empat bulan lalu. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau3 Mei 2021


BandungBergerak.id - Terik matahari di hari ke-21 Ramadan menyengat tiga badut di trotoar Jalan Asia Afrika, tidak jauh dari Gedung Merdeka Kota Bandung. Ada Winnie The Pooh si beruang madu, Elsa si tokoh film Frozen, dan Masha si boneka. Ketiganya berlomba melambaikan tangan, membujuk setiap pengendara dan pejalan kaki yang melintas untuk berfoto lalu memberikan uang tips. 

Namun siang itu jalan di jantung kota yang sudah berumur dua abad tersebut terlihat lengang. Tidak banyak kendaraan dan orang yang melintas. Terik matahari makin terasa menyengat. 

Pooh si beruang madu memilih menepi ke kursi besi di atas trotoar. Dia buku penutup kepala yang bulatannya lebih lebar dari lingkar badan. Dari balik kostum nan lucu itu, menyembullah kepala Ida (43) dengan keringat yang melumuri wajahnya.

“Panas, eungap. Sirkulasi udaranya (kurang). Panas jadi keringat,” ujar Ida, ketika berbincang dengan BandungBergerak.id, Senin (3/5/2021). 

Waktu istirahat bagi Ida tak pernah lama. Mengenakan kembali kepala Pooh, dia harus kembali tampil lucu ketika berdiri di tepi trotoar sambil terus melambaikan tangan. Jika beruntung, akan ada beberapa kendaraan yang mendekat pelan atau anak-anak yang minta berfoto bersama lalu memberikan lembaran uang Rp 2.000.

Ketika azan zuhur berkumandang, bulatan matahari tepat di atas ubun-ubun. Ida kembali duduk untuk meregangkan kakinya yang pegal setelah berjam-jam berdiri. Peluh terus mengucur di kedua pelipis matanya. Pewarna bibir merah muda sudah lama luntur.

Beban kerja yang demikian berat kian terasa di bulan puasa, memaksa Ida kadang berhalangan puasa. Meski begitu, seringkali dia memilih untuk tetap menahan dagaha dan rasa lapar selama bekerja.

“Kalau yang lain puasa, kita ngehargain juga,” ucapnya.

Empat Bulan

Baru sejak empat bulan lalu Ida mengais rezeki bersama suami dengan menjadi badut. Pagebluk membuat sang suami amat kesulitan mendapatkan pekerjaan sebagai kuli bangunan. Ida juga kehilangan pendapatan dari kerja sebagai tukang cuci di rumah-rumah warga. 

Setiap hari Ida mulai bekerja pada pukul 10 pagi. Pada pukul tiga sore, dia harus pindah ke kawasan Alun-alun. Trotoar di dekat Gedung Merdeka itu diambil alih oleh kelompok pekerja kostum, seperti superhero dan hantu-hantuan. 

Pedapatan bekerja sebagai badut jalanan tidak seberapa. Kostum Pooh yang dipakai Ida bukan miliknya sendiri. Dia harus meminjam dari orang lain lewat sistem setoran bagi hasil. Besarannya 50 persen dari total pendapatan setiap harinya. Ida dan suami pun harus membayar iuran ke komunitas kostum sebesar Rp 10.000 per hari. 

Ida tetap bersyukur atas pekerjaan yang dia miliki saat ini. Dalam usianya sekarang, tidak mudah mendapatkan pekerjaan yang layak di Bandung.

Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (14): Sumini, Buruh Perempuan yang Melawan
Ramadan di Tahun Pagebluk (13): Mimin Ristiani, Sang Penjaga Parkir Saparua
Ramadan di Tahun Pagebluk (12): Cerita Tiga Barista Difabel Netra

Petani Penggarap

Ida, kelahiran Bandung 10 Juni 1977, merupakan anak pertama dari enam bersaudara. Ketika sang ayah menikah untuk kedua kalinya, dia mengikuti ibu kandungnya tinggal di Sumedang, Jawa Barat. 

Impitan ekonomi memaksa Ida mengubur mimpinya mengenyam pendididikan tinggi. Cukup sampai di kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Setelah itu, dia mulai bekerja. 

Pernikahan dengan suaminya saat ini adalah adalah pernikahan kedua Ida. Dari pernikahan pertama, dia dikaruniai dua orang anak. Keduanya memilih mengikut ke suami pertama yang menikah lagi. Ida memutuskan bercerai karena tidak ingin dimadu.

Dalam pernikahan kedua Ida, sang suami membawa tiga orang anak dari pernikahan sebelumnya. Satu orang telah mandiri, sementara dua anak kembarnya masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah pertama (SMP). Keduanya dirawat oleh sang mertua di Purwakarta.

Di kabupaten itu, Ida dan suami pernah bekerja sebagap petani penggarap sawah milik orang lain. Enam tahun bekerja, pendapatan dari hasil panen tidak ada yang tersisa menjadi tabungan. Di awal pandemi tahun lalu, si pemilik lahan mengambil kembali lahannya.

“Hasil panen cuman numpang makan saja,” tuturnya.

Tak lagi punya sawah garapan, Ida dan suami mengadu nasib ke Bandung. Mereka tinggal di kontrakan di kawasan Mohammad Toha dengan biaya sewa Rp 500 ribu per bulannya.

Meski penghasilan yang diperoleh sebagai badut kostum tidak menentu, Ida tetap bersyukur. Dia masih diberi kesempatan untuk bisa bekerja keras dan menikmati hasil jerih payahnya sendiri. Pegal akibat berdiri berjam-jam dan pengap oleh sengatan matahari sering lenyap seketika oleh senyum dan tawa anak-anak yang terhibur dengan kehadirannya.

Di trotoar jalan Asia Afrika, tak jauh dari lokasi berlangsungnya konferensi monumental yang mengutuk penjajahan pada 1955 lalu, Pooh tidak pernah kehilangan senyum. Di balik kostum itu, Ida berjuang sekuat tenaga melakukan hal yang sama. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//