Ramadan di Tahun Pagebluk (19): Layu (Penjual) Bunga di Jalan Braga
Saripudin (49) menggengam beberapa ikat bunga mawar yang belum juga terjual sejak empat hari lalu. Masih ada satu hari sebelum mereka sepenuhnya layu dan mengering.
Penulis Emi La Palau8 Mei 2021
BandungBergerak.id - Wajah lusuh Saripudin (49), yang duduk di salah satu bangku di Jalan Braga, Bandung, tampak jelas. Sudah pukul sembilan malam, baru satu tangkai bunga yang terjual. Di genggamannya, masih ada beberapa tangkai mawar warna putih dan merah muda dengan ujung kelopaknya mulai layu.
Bunga-bunga itu dibawa Saripudin dari kampung halamannya di Parongpong, Kabupaten Bandung Barat. Kesegarannya hanya bertahan selama lima hari. Setelah layu dan mulai mengering, nasib setiap bunga akan berakhir di tong sampah.
Kamis (6/5/2021) malam itu merupakan hari keempat bagi bunga-bunga Saripudin. Tinggal satu hari lagi ia punya untuk bisa menjual semuanya. Sudah terbayang kerugian yang akan ia derita dibandingkan modal awal yang ia keluarkan senilai tidak kurang dari Rp 300 ribu.
“Aku memaksakan diri (berjualan) buat makan. Hanya di sini (Braga) buka. Tempat lain ditutup,” ungkap Saripudin ketika berbincang dengan BandungBergerak.id.
Selama pagebluk, usaha penjualan bunga rontok. Tidak ada titik-titik keramaian, seperti hari bebas kendaraan (car free day), konser musik, atau wisuda, yang biasanya menjadi andalan. Pelonggaran aktivitas warga dalam beberapa bulan terakhir juga tidak banyak membantu. Para penjual bunga di pinggiran jalan mesti gigit jari.
Saripudin bercerita, tidak sedikit tetangganya yang juga menjual bunga bahkan sudah kehilangan pendapatan sama sekali. Mereka memilih untuk tidak lagi mengais rezeki di jalan-jalan di Kota Bandung.
Saripudin nekat berjualan agar bisa menyambung hidup keluarga, tapi hasil penjualan masih jauh dari harapan. Kalau hanya satu atau dua tangkai bunga terjual, uang di tangan Saripudin hanya cukup untuk membeli bensin motor agar bisa pulang.
Menjelang lebaran dan malam takbiran, bunga yang bisanya laris adalah bunga sedap malam. Namun, butuh modal awal minimal Rp 3 juta untuk bisa membeli stok bunga itu lalu menjualnya. Apa boleh buat, tak ada uang sebanyak itu ia punya.
Lebaran tahun ini, Saripudin tidak berani menjanjikan baju baru bagi anak-anaknya. Ia tidak bisa membayangkan dari mana ia akan memperoleh uang lebih untuk dibelanjakan.
“Ke rumah asal ada buat makan dua kali, untuk sahur dan buka puasa. Syukuri aja yang ada. Pasrah ke Tuhan,” tuturnya.
Saripudin lahir pada 8 Desember 1972 sebagai anak bungsu dari tujuh bersaudara di sebuah keluarga sederhana. Oleh keaadaan, ia dipaksa hidup mandiri. Sekolah ditinggalkan demi bisa mencari uang makan.
Saat ini Saripudin tinggal di rumah peninggalan orang tuanya. Ia memiliki empat orang anak. Dua di antaranya telah menikah, sementara dua yang lain masing-masing masih duduk di kelas 2 sekolah menengah atas (SMA) dan kelas dua sekolah menengah pertama (SMP). Salah seorang cucu dititipkan kepada Saripudin dan istrinya.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (18): Kesaksian Pendeta di Kampung Toleransi Jamika
Ramadan di Tahun Pagebluk (17): Perjuangan tanpa Ujung Seorang Guru Honorer
Ramadan di Tahun Pagebluk (16): Guntur Afandi Melangkah tanpa Batas
Menjual Rumah
Saripudin mulai berjualan bunga sudah sejak lulus SMA. Ia membeli bunga yang ditanam oleh para tetangganya yang jadi petani. Tidak sedikit anggota keluarga besar Saripudin menekuni profesi serupa. Daerah Parongpong Kabupaten Bandung Barat memang salah satu pusat bisnis bunga yang produknya bahkan disalurkan ke toko-toko di kota-kota besar sekitarnya, terutama Bandung.
Usaha berjualan bunga Saripudin terus berkembang. Sebelum pandemi, ia bahkan pernah memiliki 12 karyawan. Mereka adalah para tetangga yang ia rekrut bekerja.
Saripudin jugalah yang menggagas maraknya penjualan bunga di Jalan Dago, salah satu pusat wisata dan keramaian di Bandung, di akhir pekan. Namun, kini ia tinggal seorang diri berjualan di Bandung. Memang masih ada beberapa penjual yang mengambil bunga darinya, tapi kondisinya sama saja. Sedikit sekali ikat bunga terjual.
“Ngutang dan ngutang. Demi Allah, selama bulan ramadan pinjam sana pinjam sini untuk menghidupi keluarga,” kata Saripudin. “Mudah-mudahan habis lebaran bisa dibayar.”
Utang-utang itu belum juga memadai. Saripudin saat ini menimbang untuk menjual rumah peninggalan orang tua yang saat ini ia tempati bersama keluarganya. Uang hasil penjualan akan ia gunakan untuk membangun rumah lebih kecil di sisa lahan yang juga warisan dari orang tua.
Malam terus merayap di Jalan Braga, pusat niaga di jantung kota yang sudah seabad umurnya. Satu per satu toko dan restoran tutup. Suasana kian lengang. Saripudin masih duduk di bangku dengan beberapa ikat bunga mawar yang makin layu.