Ramadan di Tahun Pagebluk (18): Kesaksian Pendeta di Kampung Toleransi Jamika
Jahja Kosim (60), seorang pendeta yang jadi ketua Kampung Toleransi Jamika, Bandung. Perjalanan hidupnya mengajarkan, toleransi tidak berhenti dalam pelembagaan.
Penulis Emi La Palau7 Mei 2021
BandungBergerak.id - Sudah sejak pukul 09.30 pagi Jahja Kosim (60) sibuk mengantarkan paket-paket sembako ke rumah warga RW 04 Kelurahan Jamika, Kota Bandung. Ada 265 kantong sembako berisi beras, minyak goreng, gula, dan kue yang diangkut dengan gerobak melintasi jalan dan gang. Pendonor bantuan datang dari beragam latar belakang agama.
RW 04 Kelurahan Jamika, dengan total penduduk sekitar 600 kepala keluarga (KK), merupakan satu dari beberapa Kampung Toleransi di Bandung yang diresmikan pada 2018. Jahja menjadi ketuanya sejak setahun lalu. Membagikan paket sembako ke warga, Jahja dibantu oleh 11 warga yang jadi pengurus.
“Sebetulnya kita di RW 04 sejak dulu hidup dalam toleransi. Jauh sebelum dibentuk Kampung Toleransi ini. (Warisan) Dari orang-orang tua terdahulu,” ungkap Jahja ketika berbincang dengan BandungBergerak.id, di kantor kelurahan, Kamis (6/5/2021). “Jadi memang toleransi ini sehari-hari sudah terbiasa.”
Salah satu jejak toleransi di RW 04 Kelurahan Jamika tampak jelas di setiap perayaan hari besar agama. Pada hari raya Imlek, misalnya, warga lain kepercayaan ikut hadir di halaman vihara untuk memberikan ucapan selamat. Mereka juga membantu kelancaran acara, salah satunya dengnan mengurus parkir kendaraan pengunjung vihara. Ketika ada keluarga dari umat Islam yang kehilangan salah satu anggotanya, giliran para tetangga dari berbagai latar belakang datang memberi dukungan.
Di RW 04 Kelurahan Jamika terdapat empat gereja, empat vihara, dan dua masjid. Sejak kawasan ini dilembagakan oleh Pemerintah Kota Bandung sebagai Kampung Toleransi, kegiatan bernapas keberagaman semakin sering digelar. Beberapa kegiatan yang sebelumnya diselenggarakan di masjid, seperti tasyakuran menyambut Hari Kemerdekaan Republik Indonesia, diadakan di kantor kelurahan agar seluruh warga bisa mengikutinya. Bakti sosial juga kian sering digelar.
“Sebentar lagi Idul Fitri. (Umat) Budha, Kristen ikut memeriahkan, hadir memberi selamat,” ungkap Jahja.
Baca Juga: Ramadan di Tahun Pagebluk (17): Perjuangan tanpa Ujung Seorang Guru Honorer
Ramadan di Tahun Pagebluk (16): Guntur Afandi Melangkah tanpa Batas
Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh
Menjadi Pendeta
Jahja Kosim dilahirkan di Cicadas pada 13 Oktober 1960. Kedua orang tuanya merupakan pemeluk Kristen setelah sebelumnya memiliki keyakinan Konghucu. Toleransi sudah menjadi kelumrahan dalam keluarga besarnya.
Jahja sendiri saat ini membaktikan hidup untuk melayani umat sebagai pendeta di Gereja Bethesda di Jalan Luna yang jadi bagian dari Kampung Toleransi Jamika. Pada 2006 ia lulus pendidikan kerohanian di Institut Alkitab Tiranus yang saat ini menjadi Sekolah Tinggi Alkitab Tiranus di Jalan Cihanjuang, Cimahi pada 2006 lalu.
Jahja merupakan sarjana muda lulusan Teknik Industri dari Akademi Teknologi Nasional yang saat ini berganti menjadi Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung pada 1984. Ia lalu bekerja di proyek-proyek pembuatan program komputer.
Menjadi pendeta bukan keputusan mudah buah Jahja. Mulanya, sang istri menentang keinginannya masuk pendidikan kerohanian pada 1999. Dia mengkhawatirkan pemenuhan kehidupan sehari-hari dan juga biaya pendidikan anak-anaknya. Toh akhirnya restu itu datang juga.
Jahja berhasil meyakinkan sang istri bahwa menjadi pelayan umat sebagai pendeta betul-betul datang dari panggilan hatinya. Tuhan akan mencukupkan segala kebutuhannya. Entah bagaimana caranya.
“Istilahnya kalau melayani, bahasanya bukan dipanggil lembaga tapi dipanggil Tuhan. Kalau cerita Tuhan, yakin mencukupkan dan kenyataannya cukup,” tutur Jahja.
Berganti profesi berarti juga menggangti gaya hidup. Dari yang tadinya serba berkecukupan, menjadi penuh kesederhanaan. Jahja harus melepaskan pendapatan tetap dari pekerjaan yang sudah lama ia tekuni. Begitulah saat ini Jahja menjalani hidup bersama istri dan tiga anaknya.
“Ada pergeseran. Kalau kerja, misal sepatu anak rusak, oke minggu depan diganti. Setelah jadi pendeta tidak bisa,” ungkapnya.
Keputusan besar menjadi pendeta bukannya tiada tantangan. Jahja beberapa kali kesulitan membiayai pendidikan anak-anaknya. Pernah dua anaknya membutuhkan uang kuliah bersamaan. Namun akhirnya datang bantuan dari sang adik dan beberapa teman.
Saat ini dua anak Jahja sudah mandiri. Tinggal si bungsu yang masih berkuliah di tahun kedua di Teknik Informatika di Universitas Katolik Parahyangan. Beruntung, sang anak mendapat beasiswa karena menjadi ketua himpunan di jurusannya.
Mencari Tahu
Tumbuh dan dibesarkan di tengah keluarga yang memegang teguh penghargaan terhadap keberagaman merupakan modal kuat yang dimiliki Jahja Kosim dalam hidup bermasyarakat. Di Jamika, ia tanpa canggung mempraktikkannya. Masuk vihara menjadi hal biasa.
Jahja juga tidak jarang menyambangi masjid dalam perayaan hari-hari besar. Ketika Idul Adha, ia turut membantu proses kurban. Kegiatan buka bersama yang sering digelar sebelum pagebluk setahun lalu juga tidak ia lewatkan.
Menurut Jahja, salah satu cara terbaik untuk bertoleransi adalah dengan tidak membicarakan keyakinan orang lain berdasarkan perspektif pemikiran sendiri. Yang justru harus dikedepankan adalah kemauan untuk bertanya, mencari tahu. Dengan begitu, penghargaan atas keyakinan orang lain akan terus tumbuh dan bisa dipertahankan.
Di Kampung Toleransi Jamika, Jahja menyaksikan para tetangga muslim menjalani bulan Ramadan masih di tengah suasana pagebluk. Namun berbeda dengan Ramadan tahun sebelumnya, kali ini sudah ada beberapa kelonggaran. Umat muslim dibolehkan beribadah salat tarawih.
“Saya ikut bergembira,” tutur Jahja.