• Kolom
  • NGULIK BANDUNG : Saling Memaafkan, Tradisi Lebaran Khas Nusantara

NGULIK BANDUNG : Saling Memaafkan, Tradisi Lebaran Khas Nusantara

Orang Belanda di zaman kolonial mengartikan lebaran adalah perayaan tahun baru umat Islam di nusantara. Tradisi lebaran khas nusantara adalah saling memaafkan.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Resepsi lebaran di Ponorogo. Lebaran sempat disalahpahami oleh orang Eropa era kolonial sebagai tahun baru Islam. (Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

19 Mei 2022


BandungBergerak.id-Hari raya Idul Fitri 1443H di Indonesia yang jatuh bertepatan dengan tanggal 2 Mei 2022, baru saja berlalu. Semua muslim sudah kembali melakukan kegiatan seperti sebelum bulan Ramadan. Ucapan selamat Hari Raya Idul Fitri yang diikuti dengan kalimat Minal Aidin Wal Faidzin, Mohon Maaf Lahir dan Batin, pun sudah tidak ramai terdengar atau berseliweran di seluruh media sosial mana pun lagi.

Walaupun hari raya Idul Fitri telah berakhir, namun masih ada hal menarik yang terkait dengan lebaran, nama lain dari hari Raya Idul Fitri di Indonesia. Bukan hanya sekadar makanan khas penuh selera, lebaran juga merupakan tradisi unik penuh makna yang ada di dalamnya.

Selalu ada rasa haru saat takbiran dikumandangkan pada hari terakhir bulan Ramadan, tepat satu hari sebelum lebaran tiba. Ucapan permintaan saling maaf memaafkan yang diawali dalam ucapan berbahasa arab Minal Aidin Wal Faidzin, menjadi hal lain yang paling dirindukan saat lebaran tiba.

Seorang teman penulis yang berasal dari negara mayoritas muslim di Timur Tengah, pernah mengalami culture shock saat mengetahui ada tradisi saling meminta maaf, serta pengucapan “minal aidin wal faidzin” yang mengiringi kalimat permintaan maaf tersebut. Pertanyaan, mengapa ada tradisi saling meminta maaf dan apa arti dari ungkapan bahasa Arab yang mengiringinya?

Pertanyaan tersebut justru membuat penulis bertanya lebih jauh. Apakah tradisi saling meminta maaf hanya ada di Indonesia? Lalu mengapa orang yang berasal dari negara Timur Tengah, yang menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa ibu mereka justru mempertanyakan makna dari kalimat tersebut yang disandingkan permohonan maaf? Apa makna sebenarnya dari minal aidin wal faidzin?

Pengumuman tentang Bupati dan Kepala Suku Bandung yang mendapatkan ucapan selamat lebaran zaman kolonial. Bagi yang ingin menyampaikan minat dipersilakan untuk bertemu pada waktu yang telah ditentukan di Kaboepaten Bandung. (Iklan di De Preanger-bode)
Pengumuman tentang Bupati dan Kepala Suku Bandung yang mendapatkan ucapan selamat lebaran zaman kolonial. Bagi yang ingin menyampaikan minat dipersilakan untuk bertemu pada waktu yang telah ditentukan di Kaboepaten Bandung. (Iklan di De Preanger-bode)

Tradisi Saling Maaf Memaafkan

Lebaran merupakan puncak perayaan yang merupakan rangkaian dari ibadah yang dilakukan satu bulan penuh sebelumnya, yaitu bulan Ramadan atau disebut juga bulan puasa. Lebaran yang dalam bahasa aslinya adalah Eid Al Fitr atau Hari Raya Idul Fitri secara bahasa dapat diartikan sebagai kembali ke fitrah manusia saat baru dilahirkan, yaitu dalam kedaan suci.

Umat Islam sangat meyakini bahwa bulan Ramadan adalah bulan suci yang penuh dengan berkah serta ampunan. Maka umat Islam di bulan puasa yang istimewa tersebut berlomba-lomba dalam melakukan ibadah dan kebaikan serta sebisa mungkin menghindarkan diri dari perbuatan dosa.

Setelah sebulan penuh menahan diri dari nafsu untuk makan dan minum, serta melakukan perbuatan tercela, maka diharapkan pengampunan atas segala dosa. Sehingga ketika mengakhiri ritual puasa dan ibadah sebulan penuh, umat Islam di Indonesia merasa perlu menyempurnakannya dengan memohon maaf pada orang-orang yang kerap berinteraksi dengannya, sehingga mendapatkan jiwa yang fitri atau bersih dengan lebih afdal.

Banyak versi yang menyebutkan sejak kapan tradisi ini dipopulerkan. Menurut Sumanto al Qurtuby yang menyitir kalimat budayawan Umar Khayam, dalam studi yang dilakukan oleh Ahmad Sunyoto, Atlas Wali Songo, tradisi saling maaf memaafkan sangat lazim digunakan oleh umat muslim di Jawa, yang diperkenalkan oleh Sunan Bonang dalam upayanya menebarkan Islam di Pulau Jawa.

Kontraksi lebaran teratasi. Tidak ada juru masak di dalam? Baboo ke oodik? Langganan tutup? Toukang sayur Lupa? Ruang makan siang HOCO menyediakan segalanya. Harga dan layanan Belanda. Buka dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Rijswijk 1 Park Hotel. (Iklan di Bataviaasch nieuwsblad tanggal 25-01-1933. Sumber: www.delpher.nl)
Kontraksi lebaran teratasi. Tidak ada juru masak di dalam? Baboo ke oodik? Langganan tutup? Toukang sayur Lupa? Ruang makan siang HOCO menyediakan segalanya. Harga dan layanan Belanda. Buka dari jam 8 pagi sampai jam 12 siang. Rijswijk 1 Park Hotel. (Iklan di Bataviaasch nieuwsblad tanggal 25-01-1933. Sumber: www.delpher.nl)

Makna Minal Aidin wal Faidzin

Kalimat minal aidin wal faidzin yang berasal dari bahasa Arab kerap kali disandingkan dengan kalimat mohon maaf lahir dan batin. Sehingga masyarakat Indonesia pada umumnya lazim menganggap dua kalimat berbeda bahasa itu memiliki arti yang sama. Namun rupanya anggapan tersebut tidaklah tepat.

Kalimat tersebut memang sangat populer dan memiliki kaitan erat dengan sejarah Islam, yaitu dengan Perang Badar, perang yang terjadi di bulan Ramadan antara kaum muslimin melawan suku Quraisy yang dimenangkan oleh kaum muslimin. Kemenangan umat Islam dalam perang tersebut bertepatan dengan perayaan Idul Fitri pertama kalinya yaitu tahun kedua Hijriah, atau tahun 624 Masehi.

Kemenangan dalam perang ini sangat disyukuri oleh umat Islam mengingat jumlah pasukannya yang sangat jauh dari berimbang. Jumlah pasukan umat Islam sangat sedikit bila dibandingkan dengan pasukan musuh, melahirkan ungkapan “Allahumaj ‘alna minal ‘aidin walfaizin” yang memiliki arti “ Wahai Allah, jadikan kami orang-orang yang menang dan beruntung”.

Dalam bulan Ramadan, umat Islam diajarkan untuk mengekang hawa nafsu, dari mulai makan dan minum pada siang hari yang terik, hingga menahan diri dari segala perbuatan tercela. Umat Islam menganalogikan rangkaian ibadah ini sebagai perang melawan hawa nafsu yang bersal dari diri sendiri. Sehingga ketika mampu melewatkannya dengan baik, mereka merasa perlu bersyukur dan merayakannya dengan meriah dan di Indonesia, dilengkapi dengan kalimat syukur yang awalnya diucapkan oleh muslimin setelah Perang Badar.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Lebaran di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Puasa dan Libur Lebaran Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial

Iklan transportasi di Bataviaasch nieuwsblad tanggal 02-12-1937 terkait libur lebaran. (sumber www.delpher.nl)
Iklan transportasi di Bataviaasch nieuwsblad tanggal 02-12-1937 terkait libur lebaran. (sumber www.delpher.nl)

Ucapan Selamat Lebaran pada Masa Kolonial

Warga Eropa yang tinggal di nusantara sejak lama salah kaprah dengan menyampaikan ucapan “selamat tahoen baroe” pada masyarakat muslim setempat dalam perayaan Lebaran. Misionaris sekaligus etnolog dan linguis Belanda, C. Poensen, menyinggungnya dalam tulisannya Brieven van een Desaman IV yang terbit di koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 21 Juli 1883.

Poensen yang menulis dengan membubuhkan inisial C dalam tulisannya tersebut menyebutkan bahwa kebiasaan pemberian ucapan “selamat tahoen bahroe” tersebut karena rekan sebangsanya tidak mengetahui makna perayaan Lebaran. “Anda akan menunjukkan bahwa Anda tidak tahu arti dari pesta ini,” tulisnya.

Masyarakat muslim yang menjadi mayoritas di Jawa memiliki kebiasaan merayakan lebaran dengan saling mengunjungi satu sama lain dan bersalaman sambil mengucapkan selamat. Perayaan yang lebih besar digelar bupati setempat dengan mengadakan upacara dengan mengumpulkan pejabat dan warga di kediamannya.

Koran De Preanger-bode tanggal 9 Januari 1902 menyebutkan kala itu pemerintah Hindia Belanda mewajibkan seluruh warga Eropa yang bekerja di kantor pemerintah menghadiri upacara perayaan lebaran yang diselenggarakan di kediaman Bupati. Asisten Resident sebagai warga Belanda yang menjadi pejabat pemerintah tertinggi di satu daerah wajib menghadiri upacara tersebut, bahkan menjadi bagian darinya.

Dalam upacara tersebut bupati setempat memberikan laporan pada Asisten Resident untuk mengumumkan pada warganya ihwal berakhirnya bulan puasa dengan tibanya hari lebaran. Koran De Preanger-bode tanggal 10 Januari 1902 menceritakan urut-urutan upacara tersebut.

Diawali dengan arak-arakan bupati dan pejabatnya menuju Pendopo menemui Asisten Resident yang menunggu di sana ditemani reng-rengannya pegawai pemerintah Hindia Belanda setempat. Bupati kemudian memberi laporan singkat untuk mengumumkan pada warganya mengenai berakhirnya puasa. Asisten Resident selanjutnya membalas dalam pidato resmi berbahasa Melayu yang intinya mengucapkan selamat.

“Tuan Bupati dan semua Anda pejabat di sini, alasan mengapa saya, bersama dengan auditor saya, dan juga tuan-tuan pribadi ini, tampil bersama Anda, adalah untuk mendoakan semoga Anda semua beruntung karena bulan puasa telah berakhir lagi. Karena kebaikan Tuhan, tidak ada bencana besar yang terjadi di divisi ini dalam satu tahun terakhir. Kami berharap semoga Tuhan Allah juga memberkati kami di tahun ini,” demikian petikan pidato ucapan selamat lebaran yang disampaikan Asisten Resident.

Bupati kemudian membalasnya. "Tuan Ass. Residen, Heeren Controller, dan Anda semua, Hollandsche Heeren! Saya dan pejabat asli saya berterima kasih atas kedatangan Anda semua. Di sini untuk mengucapkan selamat kepada kami di akhir bulan puasa. Saya berterima kasih atas nama semua atas keinginan baik Anda, dan kami semua berjanji bahwa kami akan melakukan yang terbaik agar Anda mematuhi perintah dengan benar dan berharap bagian ini akan makmur di bawah Anda aturan."

Selanjutnya semua yang hadir dalam upacara resmi tersebut saling berjabat tangan dan mengucapkan selamat. Warga Eropa yang menyalami memberikan ucapan “Selamet taoen baru".

Salah kaprah tersebut terus berulang di setiap perayaan lebaran yang dirayakan setahun sekali. Warga Belanda yang mengetahui kesalahpahaman atas makna perayaan lebaran itu pun terus mengingatkan pada setiap tahun saat perayaan lebaran tiba.

Koran De Preanger Bode tanggal 5 September 1913 misalnya menerbitkan uraian untuk menjelaskan makna lebaran bagi masyarakat muslim setempat. Koran tersebut mengingatkan tidak ada perayaan tahun baru bagi masyarakat setempat seperti warga Eropa merayakannya. Dan lebaran bukan perayaan tahun baru. Masyarakat setempat yang saling bersalaman dengan saling menempelkan telapak tangan dan mengucapkan selamat, dan saling meminta maaf.

“Tindakan khusus yang dilakukan pada hari itu oleh penduduk asli tidak ada hubungannya dengan ucapan selamat, saling memberi selamat; tetapi saling meminta maaf, seperti yang akan menjadi jelas bagi pembaca kami,” tulis De Preanger Bode tanggal 5 September 1913.

Koran De locomotief tanggal 12 Maret 1921 masih mendapati salah kaprah tersebut. Koran tersebut menuliskan masih banyak warga Eropa yang salah paham dengan menyamakan perayaan lebaran dengan perayaan tahun baru. “Meskipun Garebeg Poeasa tidak menandai Tahun Baru yang sebenarnya, pada hari itu banyak orang Eropa mengucapkan Selamat Tahun Baru,” tulis koran tersebut. 

Perayaan Lebaran

Hari lebaran adalah perayaan. Tak hanya bagi muslim yang merayakan, tapi juga warga Eropa yang tinggal di nusantara. Lebaran adalah hari libur yang sesungguhnya bagi semua kalangan. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 5 Maret 1930 menceritakan bagaimana penginapan dan hotel habis terjual, serta ratusan tiket kereta yang habis dipesan untuk berlibur di hari perayaan lebaran. Hotel-hotel besar menyajikan konser malam, restoran berlomba menyajikan menu spesial, serta bioskop menampilkan pertunjukan film spesial untuk menarik banyak penonton.

Semua keramaian dalam perayaan lebaran di nusantara memang mengingatkan warga Eropa akan perayaan tahun baru di negerinya. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 21 Desember 1935 menuliskan, “Hari Raja atau Lebaran-puasa adalah "pesta" par excellence. Hari itu secara keliru disebut "Tahun Baru Asli" karena kesamaannya dalam perayaan populer dengan Tahun Baru Eropa dan Cina.”

Terlepas dari sejarah, serta makna kata minal aidin wal faidzin, serta tradisi saling maaf memaafkan pada hari raya Idul Fitri, hal itu menjadi hal unik dari tradisi lebaran di Indonesia. Selain unik, tradisi ini pun menjadi keberagaman serta kekayaan budaya Indonesia. Sebuah tradisi yang sangat baik serta memiliki makna yang mendalam.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//