NGULIK BANDUNG: Puasa dan Libur Lebaran Zaman Kolonial
Perayaan lebaran zaman kolonial di tiap kota berbeda-beda. Di Bandung misalnya akan dirayakan tanggal 17 Mei, sementara di Weltevreden pada 18 Mei.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
28 April 2022
BandungBergerak.id—Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 21 Juli 1883 menyebut bulan puasa sebagai bulan istirahat. Bulan relaksasi dan rekreasi untuk nyaris semua kegiatan bahkan peperangan di nyaris seluruh wilayah Hindia Belanda.
Orang-orang Belanda yang tinggal di nusantara menikmati satu bulan tersebut sebagai bulan yang paling tenang dalam setahun di negeri koloninya tersebut. Dan puncaknya adalah lebaran yang ditandai dengan suara mercon dan petasan dan keramaian.
Misionaris sekaligus etnolog dan linguis Belanda , C. Poensen menceritakan dalam “Brieven van een Desaman IV” yang terbit di koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 21 Juli 1883 sebagai hari libur yang sesungguhnya bagi orang-orang Eropa di Hindia Belanda. Orang-orang Eropa yang tinggal di tengah populasi yang mayoritas beragama Islam “dipaksa” untuk ikut-ikutan libur.
Umat Islam serentak meminta libur untuk merayakan lebaran. Orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda hanya bisa pasrah, dengan mendapat izin atau tidak, warga pribumi yang bekerja akan memaksa mengambil cuti. Semua kantor pemerintah dan swasta libur.
Koran pun tidak terbit di hari lebaran. Sehari sebelumnya, koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda biasannya sudah mengumumkannya. Besok lebaran, koran tidak terbit dan mengingatkan bahwa semua kantor pemerintah dan bank akan tutup.
“Semua bengkel pemerintah dan swasta tutup pada hari itu, hiruk-pikuknya umum; bahkan di stasiun kereta api yang luar biasa,” tulis C. Poensen, dalam Brieven van een Desaman (Soerabaijasch handelsblad, 21 Juli 1883).
Di hari perayaan lebaran tersebut Gubernur Jenderal juga menerbitkan aturan yang memaksa pegawai pemerintah serta warga Eropa yang bekerja untuk Belanda agar mengikuti perayaan yang digelar bupati setempat. Di kediaman bupati setempat semua pejabat sipil dan militer berkumpul mengikuti upacara yang bisa berlangsung sehari penuh.
Penentuan Puasa dan Libur Lebaran
Koran De Preanger-bode tanggal 29 Januari 1901 menceritakan perayaan lebaran di satu tempat bisa jatuh lebih cepat dibanding di tempat lain. Pribumi yang bekerja pada tuan dan nyonya Belanda ada yang meminta cuti sehari, ada yang dua hari. Hari lebaran yang bisa jatuh kapan saja kerap membingungkan.
Bulan puasa dan lebaran mengikuti penanggalan Hijriah dengan mengikuti peredaran bulan. Sistem penanggalan tersebut berbeda dengan penanggalan Masehi yang resmi dipergunakan oleh pemerintah Hindia Belanda di nusantara yang berpatokan pada peredaran bumi mengelilingi matahari.
Perbedaan sistem penanggalan tersebut membuat puasa dan lebaran di mata orang-orang Belanda saat itu bisa tiba kapan saja. Penetapan hari pertama puasa dan lebaran juga bergantung pada hasil pengamatan hilal yang menandai hari pertama pergantian bulan.
Lebaran yang bisa jatuh kapan saja tersebut membuat pemerintah Hindia Belanda mencari jalan tengah untuk penetapannya sebagai hari libur. Lebaran diakui sebagai salah satu libur resmi bagi masyarakat seperit perayaan-perayaan keagamaan dan hari nasional Belanda. Yang berbeda penetapannya bisa bergeser mengikuti penanggalan Hijriah.
Penetapan dan pengaturan libur lebaran ditetapkan pemerintah Hindia Belanda melalui Surat Edaran Nomor 1193/I yang terbit tanggal 6 Mei 1918 (De Sumatra post, 22 November 1938). Pelaksanaan hari lebaran ditetapkan mengikuti penanggalan Arab, namun penetapannya diperbolehkan berkonsultasi dengan para ahli dan pemimpin umat yang berwenang untuk membuat pilihan tanggal untuk perayaan sebagai hari libur.
Koran De nieuwe vorstenlanden tanggal 3 Juli 1920 menceritakan almanak yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda misalnya sudah menetapkan awal puasa pada Kamis, 18 Mei, dan lebaran pada hari Sabtu, 18 Juni. Namun mendadak Residen Batavia mengumumkan hari pertama puasa jatuh pada Jumat, 20 Mei mengikuti pendapat Panglima Panghoeloe. Lebaran pun bergeser saat itu yakni jatuh pada Sabtu, 19 Juni. Tak ada keberatan dari umat Islam untuk mematuhi pergeseran itu. Kantor-kantor pemerintah pun mengikuti tutup.
Perayaan lebaran di kota yang berbeda, pun bisa jatuh di hari yang tak sama. Koran De Preanger-bode tanggal 4 Mei 1923 menceritakan perayaan lebaran di Bandung misalnya akan dirayakan tanggal 17 Mei, sementara di Weltevreden pada 18 Mei.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Masjid Cipaganti
NGULIK BANDUNG: Tradisi Ramadan Kaum Pribumi di Mata Masyarakat Eropa Zaman Kolonial
Sekolah, Puasa dan Libur Lebaran
Sebelum terbitnya aturan yang menetapkan libur lebaran sebagai hari libur umum, berbagai sekolah yang ada saat itu mempunyai aturan yang berbeda-beda menyikapi puasa dan lebaran. Koran De Preanger-bode tanggal 10 Januari 1902 menceritakan kebiasaan sekolah yang berbeda-beda saat puasa dan lebaran. Ada sekolah yang tidak memberikan libur untuk puasa dan lebaran, dan ada yang memberi libur untuk lebaran saja, ada juga yang memberi libur satu bulan penuh saat puasa.
Sekolah pemerintah yang berada di wilayah pedalaman akan memberikan libur hingga satu bulan penuh. Libur sekolah bisa bergeser-geser setiap tahun mengikuti siklus kalender Hijriah. Sekolah komunitas dengan siswa yang mayoritas nonmuslim umumnya tidak memberikan hari libur selama puasa. Pengecualian baru diberikan pada siswa beragama Islam di sekolah tersebut untuk izin tidak bersekolah hanya saat lebaran.
Setelah terbitnya surat edaran yang menjadikan hari lebaran sebagai hari libur, perlakuan sekolah pun mengikutinya. Lembaga pendidikan pun mengikuti, seperti kantor pemerintah dan swasta untuk memberikan libur bagi pegawainya saat hari lebaran.
Pemerintah Hindia Belanda menjadikan lebaran sebagai hari libur sesungguhnya demi alasan pemerataan. Selain umat Nasrani yang lebih dulu mendapatkan penetapan hari libur dalam perayaan agamanya, Islam dan agama-agama lainnya juga mendapatkannya.
Koran De Preanger-bode tanggal 29 Agustus 1920 mencatat saat itu sedikitnya ada 27 hari libur berkaitan dengan perayaan agama. Di antaranya Jumat Agung, Paskah, Hari Kenaikan, Natal dan Tahun Baru, awal puasa, Garebeg Puasa, Ashura dan Garebeg Mauloed, Tsap-go-meh, hari kematian Konfusius, Tsing-bing, Pehtjoen, Tjio-ko, hari lahir Konfusius dan Tang-tseh. Itu di luar hari raya perayaan negara seperti hari-hari peringatan terkait keluarga Kerajaan Belanda.
Departemen Pendidikan pemerintah Hindia Belanda sempat menyeragamkan hari libur sekolah bagi siswa HIS (setara SD) mengikuti pengaturan di Eropa. Dengan alasan hari libur siswa menjadi terlalu lama. Umumnya sekolah memberikan libur puasa sehingga dinilai terlalu banyak hari libur bagi siswa. Rencana tersebut belakangan batal karena banyak ditentang (Bataviaasch nieuwsblad, 7 Maret 1923).
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman