• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Lebaran di Zaman Kolonial

NGULIK BANDUNG: Lebaran di Zaman Kolonial

Pemerintah Hindia Belanda memberikan libur dua hari untuk perayaan Lebaran demi menengahi perbedaan. Lebaran identik dengan kembang api, petasan, dan pesta rakyat.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Suasana Salat Id perayaan Hari Raya Lebaran di Batavia pada zaman kolonial Hindia Belanda, terbit di koran De Gooi- en Eemlander : nieuws- en advertentieblad tanggal 25-11-1939. (Sumber foto: delpher.nl)

6 Mei 2022


BandungBergerak.id - Orang-orang Belanda yang tinggal di nusantara punya kesan yang sama tentang bulan puasa yang ditutup dengan Hari Raya Lebaran, yakni satu bulan yang bising. Dan Hari Raya Lebaran adalah puncak kebisingan itu.

Hari Raya Lebaran kala itu identik dengan gegap gempita kembang api, petasan, dan mercon. Mulai dari bangsawan, pejabat pemerintah, hingga masyarakat biasa menyalakannya sebagai tanda suka cita. Koran De Preanger-bode tanggal 22 Juli 1917 menyindir kebiasaan masyarakat yang menandai kedatangan Hari Raya Lebaran tersebut sebagai pemborosan.

Petasan dan mercon memang diperdengarkan setiap malam sepanjang Ramadan, bulan suci bagi umat Islam. Puncaknya pada malam menjelang Hari Raya Lebaran. Orang-orang hampir tidak bisa tidur karena kebisingannya (De Preanger-bode, 22 Juli 1917).

Tidak jelas sejak kapan kebiasaan itu dimulai.

Misionaris sekaligus etnolog dan linguis Belanda , C. Poensen, dalam seri tulisannya “Brieven van een Desaman” sepanjang tahun 1883 mencatat kebisingan di malam terakhir puasa sebelum Lebaran adalah lantunan doa serta tetabuhan yang diperdengarkan sepanjang malam (Soerabaijasch handelsblad, 21 Juli 1883).

Namun koran De Preanger-bode pada terbitannya tanggal 9 Januari 1902 mendeskripsikan keramaian malam menjelang Lebaran dengan tambahan petasan dan mercon yang bisa dibeli dengan mudah seharga 4 sen. Lantunan doa dan tetabuhan pada malam hari masih sama, namun saat itu sudah ditambah dengan ingar-bingar kembang api, dentum petasan, dan mercon.

Kebiasaan menyalakan kembang api dan petasan tak jarang memakan korban. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 24 Desember 1903 memberitakan perayaan malam menjelang Lebaran dihebohkan dengan kebakaran besar yang terjadi malam hari. Beberapa rumah terbakar. Bertahun-tahun berjalan, masyarakat merasa perlu untuk mewaspadai terjadinya kebakaran di malam menjelang Lebaran yang disebabkan petasan dan mercon (De Preanger-bode, 18 Mei 1923).

Upacara di Pendopo

Orang-orang Eropa yang tinggal di nusantara sempat lama salah kaprah menyamakan Lebaran dengan perayaan tahun baru. Koran De Preanger-bode tanggal 9 Januari 1902 yang menerbitkan tulisan seorang misionaris Belanda yang bernama Verhoeven tentang perayaan Lebaran menceritakan kewajiban orang-orang Eropa yang bekerja pada pemerintah yang wajib mengikuti perayaan Lebaran di kediaman bupati setempat.

Di kediaman bupati, semua kalangan berkumpul dan saling bersalaman dalam pertemuan tersebut. Orang-orang Eropa yang tak paham benar tentang makna Hari Raya Lebaran menyambut salam uluran tangan itu memberi selamat dengan ucapan,  “Slamat tahun baru” yang dibalas senyuman. Tak ada keberatan atau sanggahan atas ucapan balasan salam tersebut.

Hari Raya Lebaran bagi orang-orang Eropa yang tinggal di nusantara dianggap sebagai hari perayaan setelah satu bulan menjalankan ibadah puasa. Masyarakat setempat menyebutnya "Garebeg poewasa," yaitu hari raya di akhir puasa. Orang-orang terlihat bersuka cita dengan memakai pakaian yang lebih bagus dari hari-hari biasanya, membayar zakat yang dikumpulkan pada imam di masjid-masjid, nyekar di kuburan kerabatnya, serta saling berkunjung dengan membawa antaran makanan. Tentu saja kembang api, mercon, dan petasan yang diperdengarkan di mana-mana.

Pendopo yang ada di kediaman bupati menjadi pusat keramaian Hari Raya Lebaran. Alun-alun yang ada di depannya berisi penuh dengan lautan manusia. Masyarakat sengaja berkumpul menyaksikan dari kejauhan upacara perayaan Hari Raya Lebaran yang diselenggarakan di pendopo kediaman bupati.

Dalam upacara tersebut, bupati menemui asisten residen, pejabat pemerintah Belanda setempat untuk memberitahukan akan mengumumkan secara resmi bahwa bulan puasa telah berakhir, dan Lebaran yang jatuh di hari pertama bulan Sawal telah tiba. Bupati yang datang bersama penghulu dan seluruh pejabat pribumi diiringi barisan tentara selanjutnya mengumumkannya.

Bupati duduk di kursi utama pendopo. Semua pengiringnya mengikuti duduk di lantai di belakang bupati dalam urut-urutan mengikuti jabatannya. Asisten residen kemudian bangkit berdiri dan berpidato dalam bahasa Melayu, yang kemudian dibalas oleh bupati.

Jabat tangan dan ucapan selamat kemudian dipertukarkan. Sampanye diedarkan di antara orang-orang Eropa dan pejabat pribumi sambil diperdengarkan gamelan. Selanjutnya giliran masyarakat menemui bupati. Dimulai dengan patih, bergiliran. Berjalan menghampiri dengan membungkuk, menyembah, dan selanjutnya keluar dengan berjalan nyaris merangkak (De Preanger-bode, 10 Januari 1902).

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Puasa dan Libur Lebaran Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Tradisi Ramadan Kaum Pribumi di Mata Masyarakat Eropa Zaman Kolonial

Keramaian di Alun-alun

Hari Raya Lebaran adalah hari libur dan keramaian. Koran De Preanger-bode tanggal 10 Desember 1903 menceritakan kesibukan di Passaabaroe (kini Pasar Baru) di Bandung menjelang perayaan Hari Raya Lebaran. Warga tumpah ke pasar untuk berbelanja kain sarung baru. Tak jarang pedagang memanfaatkannya dengan menaikkan harga, tak jarang banyak yang terpaksa menggadaikan hartanya demi tampil lebih menarik di hari Lebaran.

Pada Hari Raya Lebaran keramaian berpusat di Alun-alun. Th. E. Stufken., pemimpin redaksi De Preanger-bode, menulis kesannya tentang suasana Lebaran di Bandung di korannya yang terbit tanggal 13 September 1918.  

“Setiap tahun dengan Lebaran, Aloon-aloon mengadakan sodoran (turnamen), dengan segala macam permainan rakyat. Semua pejabat asli kabupaten datang ke Bandung,” tulis Th. E. Stufken (De Preanger-bode, 13 September 1918).

Th. E. Stufken juga menceritakan pertunjukan tari digelar pada malam hari. Minuman dan makanan disediakan gratis bagi semua orang. Tentu saja orang-orang menyalakan kembang api yang banyak. Keramaian masih berlanjut pada esok pagi, berupa upacara meriah untuk mengumumkan Hari Raya Lebaran sudah berakhir.

Koran De Preanger-bode tanggal 9 Juni 1921 menceritakan suasana perayaan Lebaran secara lebih rinci. Di sana, jalan-jalan ramai sejak pagi. Warga berkumpul di masjid sejak pukul setengah enam pagi hingga pukul delapan pagi untuk salat dan berdoa dengan khusyuk. Bupati kemudian mengumumkan berakhirnya puasa pada masyarakat di depan pejabat asisten residen di Pendopo, lalu diakhiri dengan saling memberi selamat. Jamuan pun digelar bagi masyarakat yang hadir.

Pemandangan kota terlihat semarak. Warga yang lalu-lalang mengenakan pakaian terbaiknya untuk saling berkunjung pada tetangga dan kerabatnya. Tentu saja kembang api dan petasan berdentum sepanjang hari menambah semarak suasana.

“Hari yang menyenangkan. Sebagian besar kantor dan toko tutup, tetapi di mana-mana ada hiruk pikuk dan pergerakan, dan orang-orang Eropa juga telah keluar untuk menyaksikan berbagai ekspresi penduduk,” tulis De Preanger-bode, 9 Juni 1921.

Koran De Preanger-bode tanggal 22 Juni 1921 menceritakan keramaian pesta rakyat di Alun-Alun saat perayaan Lebaran. Di sana digelar berbagai permainan rakyat seperti sodoran, panjat pinang, jahit ring, mencabut koin dalam jeruk, balap karung, dan banyak lagi. Anak-anak bersenang-senang sepanjang hari.

Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 5 Maret 1930 merekam tradisi mudik saat Lebaran. “Kereta terakhir Weltevreden, yang terdiri dari tidak kurang dari lima belas gerbong penumpang, telah mengirim ratusan orang berkerumun di kota kami untuk menghabiskan dua hari libur mereka,” tulis koran tersebut.

Diceritakan juga hotel-hotel menyiapkan berbagai konser yang digelar di ruang dansa. Restoran-restoran tak mau kalah, dengan menyajikan tari-tarian menemani pengunjungnya. Bioskop pun berebut penonton dengan menyajikan film-film pilihan.

Potret suasana perayaan Lebaran di masjid di Kwitang, Batavia, terbit di koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 07-12-1937.(Sumber foto: delpher.nl)
Potret suasana perayaan Lebaran di masjid di Kwitang, Batavia, terbit di koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 07-12-1937.(Sumber foto: delpher.nl)

Asal Mula Perayaan Dua Hari Perayaan Lebaran

Perbedaan perayaan Hari Raya Lebaran, yang kerap berselisih sehari, selalu saja berulang di setiap Ramadan. Perbedaan terjadi karena umat Islam menentukan jatuhnya Lebaran dengan pengamatan hilal yang bisa saja berbeda di setiap tempat. Koran De Preanger-bode tanggal 4 Mei 1923 misalnya menceritakan umat Islam di Bandung merayakan Lebaran pada 17 Mei, sementara di Weltevreden (Batavia) orang merayakannya pada 18 Mei.

Menghadapi situasi yang terus berulang setiap tahun, pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memberikan saja libur 2 hari khusus untuk perayaan Lebaran.

“Setiap tahun ada perbedaan pendapat tentang awal dan akhir bulan puasa, akibatnya praktik tersebut secara bertahap berkembang untuk menyisihkan dua hari untuk perayaan Lebaran Puasa ... Untuk menghindari semua pertengkaran, pemerintah memutuskan bahwa Lebaran Puasa akan berlangsung dua hari,” tulis De Indische courant, 25 Februari 1931.

Harian De Indische courant juga menyebutkan muasal dari penggunaan istilah Lebaran pada perayaan yang menutup puasa sebulan penuh. Lebaran disebutnya berasal dari kata Arab, albarian yang artinya sarapan. Hari di mana berakhirnya semua larangan makan dan minum selama satu bulan penuh.

Hampir seluruh tempat di Jawa merayakan Lebaran. Masing-masing daerah memiliki tradisi perayaan Lebaran yang berbeda.

Di Jawa Tengah, misalnya, orang menyebut perayaan Lebaran sebagai Garebeg Poeasa. Pada perayaan tersebut penguasa Surakarta dan Yogyakarta berikut tokoh dan pangeran istana bersama-sama hadir di Siti Hingil bertemu dengan asisten residen, menyaksikan iring-iringan prajurit Kraton menuju masjid. Di Yogyakarta, iring-iringan prajurit kraton masih menggunakan seragam kebesarannya. Di Jember ada tradisi melakukan arak-arakan melewati tujuh jembatan serta tradisi mandi dengan air yang diambil di tujuh sumur.

Satu yang sama, semua yang merayakannya mengenakan baju mereka yang terbaik untuk salat dan berdoa di masjid. Dan tentu saja kembang api dan petasan yang diperdengarkan sepanjang malam. 

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Redaksi

COMMENTS

//