Haul Inggit Garnasih, Mengenang Ibu, Teman, dan Kekasih
Banyak sekali aspek yang dapat diceritakan dari sosok ibu bangsa Inggit Garnasih. Namun yang disayangkan, kisah tentang Inggit cukup tenggelam dari permukaan.
Penulis Reza Khoerul Iman23 Juni 2022
BandungBergerak.id – ”Kalau boleh saya katakan, sebelum adanya dwitunggal Sukarno-Hatta, terlebih dahulu ada dwitunggal Sukarno-Inggit. Sebab Ibu Inggitlah yang menemani Sukarno selama 20 tahun sejak 1923-1943. Begitu lamanya ibu Inggit memberikan motivasi dan membiayai Sukarno hingga mencapai Indonesia merdeka,” tutur Tito Asmara Hadi, cucu angkat Inggit Garnasih.
Tutur kata Tito Zeni Asmara Hadi pada acara Haul Inggit Garnasih yang ke-38, Selasa (22/06/2022) malam, seketika membuat hanyut tamu undangan mengenang kembali sepenggal kisah tentang Inggit Garnasih. Tito Zeni Asmara Hadi adalah salah satu putra dari Asmara Hadi yang merupakan tokoh nasional pada era pemerintahan Sukarno. Asmara Hadi menikahi Ratna Djuami yang merupakan anak angkat Inggit-Soekarno, dalam arti lain Tito merupakan cucu angkat dari Inggit Garnasih.
Tito menjelaskan banyak sekali aspek yang dapat diceritakan dari sosok ibu bangsa Inggit Garnasih. Baik dari sudut pandang seorang ibu, teman, atau kekasih, Inggit memiliki peran dan kisahnya tersendiri. Namun yang disayangkan Tito, kisah tentang Inggit cukup tenggelam dari permukaan.
Oleh karenanya dalam acara haul Inggit Garnasih yang ke-38 tersebut, Tito berharap sepenggal kisah tentang Inggit Garnasih yang ia sampaikan dapat menggugah kembali orang-orang untuk membaca sejarahnya. Bukan hanya tentang kisah romannya, tapi juga tentang tonggak perjuangan Inggit Garnasih.
“Mudah-mudahan kita tidak hanya berbicara romantika dari kehidupan Ibu Inggit, tapi mudah-mudahan justru kita dapat mewarisi jiwa dan semangat perjuangan dari pada para pendiri republik ini. Sebab kalau Indonesia tidak merdeka, belum tentu kita bisa duduk bersama di tempat ini,” tandas Tito, kepada para hadirin yang memadati haul di Hotel Horison tersebut.
Inggit sebagai Ibu, Teman, dan Kekasih
Dosen Universitas Pasundan (Unpas) Bandung, Hawe Setiawan, mengatakan Inggit di masa pergerakan mampu memainkan tiga peran sekaligus, yakni sebagai ibu, teman, dan kekasih. Peran Inggit ini diceritakan melalui roman Kuantar Ke Gerbang karya Ramadhan KH alias kang Atun.
“Tanpa figur wanita yang sanggup jadi ibu, teman seperjuangan, dan kekasih, boleh jadi sejarah hanya akan menampilkan sosok-sosok patriot yang mudah patah dan gampang remuk. Figur seperti itulah yang dalam roman karya Kang Atun turut mengantarkan bangsa Indonesia ke gerbang kemerdekaan,” ucapnya.
Baik Hawe Setiawan atau Tito Zeni Asmara Hadi, sikap kuat dan figur wanita yang sanggup merangkap seperti Inggitlah yang diharapkan dapat diambil hikmahnya dan dapat dijadikan percontohan bagi seluruh elemen masyarakat. Mereka berharap kisah Inggit Garnasih dapat menjadi penggugah setiap orang dan tidak akan pernah usang dimakan zaman.
Hawe mendorong setiap orang untuk terus memperjuangkan kembali tonggak perjuangan yang pernah diperjuangkan Inggit Garnasih dan merealisasikan impian-impian sang ibu bangsa, semisal untuk mendirikan rumah sakit ibu-anak dan sebagainya.
“Ingatanlah yang mengabadikan para pendahulu yang telah mengantarkan kita ke dalam hidup bersama dewasa ini. Sejauh mana? Sejauh yang dapat saya lihat, Bandung mengabadikan nama Inggit Garnasih melalui nama jalan, museum, dan yayasan. Saya belum tahu, sejauh mana Bandung telah merealisasikan impian sang ibu bangsa, semisal untuk mendirikan rumah sakit ibu-anak dan sebagainya? Ataukah Bandung, sebagaimana diri saya, hanya mengenal Ibu Inggit serba sedikit?” pungkasnya.
Baca Juga: Ketika Bobotoh Menggugat Pengelolaan Klub Kesayangan Mereka
Mahasiswa UPI Menolak Kedatangan Menteri BUMN Erick Thohir
PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)
Sepenggal Cerita yang Baru Diungkap
Ada satu kisah yang jarang diungkap mengenai hubungan Inggit dan Sukarno, khusunya tentang perceraian suami istri tersebut. Hal ini disampaikan Tito cukup rinci dan menyentuh.
“Saya akan ceritakan satu cerita tercecer yang sebenarnya terpaksa juga saya sampaikan. Pada saat Sukarno dan Inggit tinggal di Pegangsaan Timur 56, saat itu Bung Karno sudah berniat menceraikan Inggit karena ia berniat menikahi Fatmawati. Namun pada saat itu ayah angkat Sukarno, Raden Mas Soemosewoyo datang ke Jakarta untuk berusaha menahan Bung Karno agar tidak menceraikan Inggit,” tutur Tito.
Saat itu, lanjut Tito, RM Soemosewoyo terus mengingatkan Sukarno akan peran dan kontribusi Inggit. Namun usaha yang dilakukan Soemosewoyo tidak mengurungkan niat Sukarno untuk menceraikan Inggit Garnasih.
Hingga Soemosewoyo berkata pada Soekarno, “Kalau engkau tetap ingin menceraikan Inggit, tanggung semua dosa Inggit olehmu,” kata Soemosewoyo kepada Sukarno, sebagaimana disampaikan Tito.
Oleh karenanya, Tito menjelaskan bahwa Sukarno begitu merasa bersalah dan meminta maaf kepada Inggit karena telah menceraikannya dan menelantarkannya. Meski demikian, Inggit Garnasih telah lapang dada memaafkan semua tindakan Sukarno yang telah dilakukan padanya.
“Tidak usah diminta Ngkus. Sudah lama Inggit memaafkan Ngkus. Ngkus pimpinlah negara dan rakyat dengan baik, seperti cita-cita kita dahulu,” ucap Inggit kepada Sukarno.
Ngkus, itulah panggilan Inggit kepada Sukarno (yang bernama asli Koesno). Bagi Inggit, Sukarno adalah suami, guru, teman seperjuangan sekaligus kekasih. Begitupun sebaliknya bagi Sukarno, Inggit adalah istri, mitra dalam berjuang, kekasih, dan sekaligus merupakan sosok ibu yang banyak memberikan kontribusi dalam menjalani perjuangannya.