• Kolom
  • PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)

PAYUNG HITAM #3: Pendidikan Kita Baik-Baik Saja, Kok (?)

Hari ini, bisa jadi kamu, atau temanmu, atau kerabatmu, yang berhadapan dengan pemberangusan.

Aoelia M.

Penulis lepas dan aktivis perempuan, bergiat dalam gerakan literasi dan pemberdayaan perempuan

Ilustrasi pemberangusan hak-hak mahasiswa di kampus yang masih sering terjadi sampai hari ini. (Ilustrasi: Aoelia M./Aksi Kamisan Bandung)

23 Juni 2022


BandungBergerak.id - Saya ingat beberapa tahun lalu seorang guru dari sekolah dasar tempat adik saya belajar mengedarkan sebuah pesan ke grup WhatsApp yang berisikan para orangtua murid yang mengurus KJP (Kartu Jakarta Pintar), semacam subsidi pendidikan untuk anak-anak yang tidak mampu. Pesan itu kurang lebih menganjurkan agar orangtua murid yang sedang mengurus berkas KJP segera menyembunyikan aset-aset mewah mereka karena survei kelayakan peserta KJP akan segera dilangsungkan. Saat itu saya tidak terlalu kaget, karena saya sudah lumrah akan kondisi-kondisi tersebut.

Ketika belajar di sekolah menengah atas, saya pun menikmati sarana subsidi serupa. Dulu saya miskin, betulan miskin. Berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki, tidak pernah jajan dan selalu berbekal telor dadar setiap harinya. Jangankan laptop, ponsel saja tak punya. Namun, dalam kelas yang sama ada beberapa teman saya yang katakanlah ‘lebih beruntung’. Mereka punya laptop dan smartphone high-end, berkendara naik motor pribadi ke sekolah, punya mobil, dan rumahnya ber-AC. Mereka menikmati juga subsidi serupa dengan saya.

Ketika pesan imbauan untuk menyembunyikan aset itu beredar, Mama saya sontak naik pitam: Sebetulnya subsidi itu diperuntukkan buat siapa?

Tahun berlalu, saya pindah ke kota ini dan bertemu dengan teman-teman baru dari berbagai universitas. Senang rasanya memiliki teman-teman dari ragam lapisan. Namun, belakangan telinga saya mendengar lagi kabar serupa: penyelewengan subsidi pendidikan yang merajalela.

Tempo hari, saya mendapat kabar dari teman saya mengenai fasilitas KIP (Kartu Indonesia Pintar). Pada awal semester, kawan saya ini—sebut saja Bunga—sudah membayar uang pangkal beserta Uang Kuliah Tunggal (UKT), namun kemudian ia ternyata mendapatkan kabar bahwa sebetulnya ia terdaftar pada fasilitas KIP.  Ketika Bunga hendak menanyakan apakah kampus memberikan refund atas uang pangkal dan UKT, yang berwenang tidak memberikan kejelasan.

Saya cukup overthinking akan hal ini. Yang pertama, saya pikir kampus Bunga—yang merupakan Perguruan Tinggi Negeri atau PTN—membebaskan seluruh mahasiswanya dari UKT apalagi uang pangkal. Saya pikir, orang-orang berlomba-lomba untuk lolos SNMPTN, SBMPTN, atau apapun namanya itu untuk memperjuangkan pendidikan tinggi yang sepenuhnya dibiayai oleh negara.

Oh, tapi hanyalah saya yang norak rupanya! Maklum, selama menempuh sembilan tahun jenjang pendidikan dasar, saya tidak membayar biaya apapun terkait dengan pendidikan karena saya adalah siswa miskin berprestasi yang bernaung di bawah Ikatan Keluarga Gunungkidul. Organisasi masyarakat di daerah saya ini ternyata baik sekali telah berkenan membiayai pendidikan saya yang notabene—swasta.

Kedua, apa kepentingan kampus negeri mengenakan uang pangkal bagi mahasiswa, terutama mereka yang masuk melalui jalur SNMPTN dan SBMPTN, ketika kampus adalah instansi pemerintah yang seharusnya menjamin kemudahan atas pendidikan untuk segala lapisan? Lagi-lagi, anggap saja saya norak karena kampus-kampus ini pede saja membentangkan spanduk potongan uang pangkal jutaan rupiah di sudut-sudut jalan. Di sana tertulis: “POTONGAN UANG PANGKAL DUA JUTA RUPIAH”, menyisakan lima belas juta rupiah sebagai bentuk kemurahan hati mereka. Toh, kebanyakan mahasiswa yang saya jumpai juga merupakan mahasiwa bermobil, sama seperti teman-teman sekelas saya dulu. Pastinya tidak ada yang keberatan, dong?

Ketiga, ketika pihak kampus enggan mengembalikan dana yang sudah masuk dan hal itu sudah larut selama sekian semester, yang menjadi pertanyaan adalah: ke mana dana itu mengalir? Hal ini menjadi bahan overthinking yang lebih serius ketika saya mengetahui bukan hanya Bunga yang mengalami kejadian serupa itu. Ada puluhan pelapor yang sampai kini belum mendapatkan kejelasan mengenai uang mereka.

Mama saya sering bilang: duit adalah duit. Terlepas kamu mampu ataupun tidak, penyelewengan duit adalah tetap penyelewengan. Uang mengalir ke tempat yang tidak seharusnya. Uang yang di dalamnya terkandung hak-hak kamu.  

Let’s say, uang pangkal Bunga adalah lima juta rupiah, kalikan dengan delapan puluh lima mahasiswa terlapor. Totalnya? Empat ratus delapan puluh lima juta rupiah. Keberadaannya? Hanya Tuhan yang tahu.

Baca Juga: PAYUNG HITAM #2: Bunga dan Tembok di Dago Elos
PAYUNG HITAM #1: Suara-suara Baru di Pekan Penghilangan Paksa

Mereka yang Berdiri Sendirian

Kita tidak boleh melupakan apa yang terjadi pada Muhammad Ari, eks mahasiswa STIE INABA yang di-DO (drop out) lantaran menyuarakan pendapatnya mengenai pembayaran UKT di masa pandemi. Pemberangusan kebebasan akademik serupa inlah yang jadi pertimbangan Bunga sebelum berani menyuarakan pendapatnya ke hadapan publik.

Di luar kasus Bunga dan Ari, saya mendengar lagi kasus serupa: akun instagram MPM dari sebuah universitas swasta terkemuka diretas tidak lama setelah menyuarakan pendapat mereka tentang penyelewengan dana wisudawan. Oh ya, kasus penyelewengan dana wisudawan ini dialami oleh sahabat saya sendiri. Perlu digarisbawahi, sahabat saya ini sampai perlu untuk menuntut kampus tersebut bersama dengan kuasa hukumnya agar hak-haknya bisa terpenuhi.

Sayangnya, tidak semua eman mahasiswa kita memiliki privilese atas perlindungan dan akses ke kuasa hukum sehingga mayoritas dari mereka yang hak-haknya tercederai hanya bisa diam. Hal  ini kembali membuat saya bertanya: masih adakah ruang kebebasan berpendapat di dalam akademik?

Saya begitu heran dengan kampus-kampus yang mengecam mahasiswanya ketika memberikan tanggapan pada hal-hal yang berbau politik. Bahkan, ada kampus yang mencampuradukkan kekuasaan rektor dalam statuta mereka.

Lalu apa esensinya kampus membuat fakultas hukum dan fakultas ilmu sosial dan politik? Apa maknanya Tridharma perguruan tinggi bagi mereka?

Birokrat-birokrat kampus memenjarakan mahasiswa-mahasiswanya dengan mengusung embel-embel “nama baik kampus”, sementara pada kenyataannya merekalah yang membuat kampus mereka sendiri jelek di hadapan publik. Komentar-komentar menyerang yang dilancarkan ke akun MPM universitas swasta tersebut beberapa saat sebelum diretas pada kenyataannya sudah mencerminkan iklim birokrasi kampus yang jauh dari kata sehat. Lebih-lebih lagi yang menyerang adalah perangkat kemahasiswaannya sendiri.

Di hari lalu, boleh jadi Muhammad Ari yang mengalami nasib nahas atas tercabutnya status mahasiswanya. Di hari lalu, boleh jadi adik saya yang terpaksa putus sekolah. Namun di hari ini, bisa jadi kamu, atau temanmu, atau kerabatmu, yang berhadapan dengan pemberangusan serupa.

Lantas, apakah kita akan membiarkan mereka berdiri sendirian?

*Tulisan kolom PAYUNG HITAM merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Aksi Kamisan Bandung

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//