Kisah Mahasiswa STIE Inaba, Muhamad Ari: Jalan Terjal Menuntut Pemotongan Uang Kuliah karena Pagebluk Berujung Di-DO
Muhammad Ari aktif dalam Aliansi Mahasiswa Inaba, perhimpunan yang getol mendesak pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi Covid-19.
Penulis Delpedro Marhaen16 September 2021
BandungBergerak.id - Siapa sangka, perjalananan Muhamad Ari untuk meraih gelar sarjana ekonomi dalam 3,5 tahun harus kandas. Ari diberhentikan alias di-drop out sepihak sebagai mahasiswa Program Studi Manajemen Sekolah Tinggi Ekonomi Indonesia Membangun (STIE Inaba) Bandung. Pangkalnya karena Ari aktif dalam Aliansi Mahasiswa Inaba, perhimpunan yang getol mendesak pemotongan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di masa pandemi Covid-19.
Sungguh getir nasib eks Presiden Mahasiswa Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Inaba ini. Hari itu, 10 September 2021, Ari tengah berada di rumah rekannya mempersiapkan registrasi ulang untuk semester akhirnya, ia kemudian menerima telepon dari neneknya. Nenek Ari yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu dikejutkan dengan kedatangan pihak keamanan kampus ke kediamannya di jalan Ancol, Karapitan. Nenek Ari bermaksud untuk berkoordinasi dengan Ari ihwal kedatangan pihak keamanan kampus tersebut.
Ari mengaku pada saat itu ia dan neneknya tak mengetahui mengenai maksud kedatangan dari pihak keamanan kampus. Ari menuturkan neneknya dipaksa untuk menandatangani surat yang tak diketahui isinya apa. Nenek Ari pun tak bisa berbuat banyak selain menerima dan menandatangani resi tanda terima surat tersebut.
“Saya kira ini surat seperti yang diterima teman-teman sebelumnya. Surat perjanjian atau pernyataan yang harus saya tandatangani,” kata Muhamad Ari kepada BandungBergerak.id, Senin, (13/09/21).
Tidak lama setelah neneknya menerima surat tersebut, Ari menerima pesan elektronik ke surelnya dari pihak kampus yang isinya salinan surat pemberhentian dirinya.
“Saya kaget ternyata itu surat DO-nya terhadap Muhamad Ari, Aduh, beneran saya tuh di-DO,” kata Ari.
Ari lantas mengkonfirmasi hal ini kepada neneknya. Dengan tersedu-sedu, neneknya menjelaskan surat yang dibungkus menggunakan map berwarna biru dengan gambar kampus Inaba yang baru diterimanya itu berisikan surat keputusan (SK) pemberhentian atas nama Muhamad Ari yang diteken oleh Rektor STIE Inaba, Yoyo Sudaryo, 6 September lalu.
“Saya berencana fokus menyelesaikan kuliah. Saya mau membereskan kuliah yang hanya tersisa satu setengah tahun lagi, satu semester lagi beres, kok, tinggal skripsi saja. Tahunya, tanggal 10 September saya dapat surat pemberhentian,” ungkap mahasiswa penerima beasiswa ini.
Ari mengatakan SK pemberhentian dirinya ini cacat secara prosedural dan substansial. Pertama, kata Ari, SK tersebut baik yang berupa fisik maupun yang dikirim melalui surel dibuat pada 6 September 2021 namun baru diterima Ari pada 10 September 2021.
Kedua, Ari menilai SK tersebut tidak memiliki dasar. Pasalnya, tidak dijelaskan apa pelanggaran yang dilakukan Ari sehingga harus diberhentikan. Ari menilai poin-poin yang jadi dasar dalam SK tersebut terkesan normatif.
“Bahkan dalam SK pemberhentian tersebut tidak dijelaskan saya melanggar kode etik. Tidak ada penjelasan soal itu. Saya kira ini adalah siasat pihak kampus,” tegas Ari.
Dalam salinan SK pemberhentian Ari yang diterima BandungBergerak.id, dijelaskan bahwa Ari diberhentikan dengan dasar surat rekomendasi Tim Komisi Etik Mahasiswa Nomor 02/TKEM-2/VIII/2021 tertanggal 23 Agustus 2021 tentang Pelanggaran Etika Mahasiswa STIE Indonesia Membangun (Inaba).
Dalam poin lainnya, kampus memperimbangkan perihal menjaga kuliatas lulusan dan pendidikan. Pertimbangan selanjutnya perihal mahasiswa yang tidak memenuhi syarat untuk melanjutkan studi.
Tak terima dengan keputusan janggal itu, Ari menghubungi Yoyo Sudaryo selaku Rektor STIE Inaba untuk meminta penjelasan atas SK pemberhentian dirinya. Ari menuturkan pihak kampus tak banyak memberikan penjelasan dan tetap berdalih pada rekomendasi dari Komisi Etik Mahasiswa. Berbagai upaya telah dilakukan Ari untuk menerima penjelasan atas SK pemberhentian tersebut, namun tidak ada jawaban hingga saat ini.
“Pesan saya hanya dibaca saja. Saya telpon tidak diangkat. Saya datang ke rumahnya tidak ada yang keluar,” jelas Ari.
Ari juga menjelaskan selama kasusnya ini berlangsung mulai dari skorsing sebelumnya hingga sanksi pemberhentian, ia tidak pernah mendapatkan akses komunikasi yang benar-benar terbuka dan mendalam dengan pihak STIE Inaba.
“Mereka selalu menutup akses komunikasi dengan saya,” ujar Ari.
Ari mengatakan pihak kampus bertindak sewenang-wenang jika keterlibatannya dalam aktivitas menuntut pemotongan uang kuliah tersebut dijadikan dasar kampus menjatuhkan sanksi pemberhentian. Menurutnya tidak ada yang salah dari sikap membela teman-temannya yang lemah dari segi finansial. Terlebih, Ari membiayai kuliahnya sendiri dengan bekerja sebagai marketing provider internet setelah beasiswanya dicabut oleh pihak kampus tanpa sebab yang jelas.
Sejak Juni-Desember 2020 lalu, Aliansi Mahasiswa Inaba getol berkampanye menuntut pemotongan uang kuliah yang masuk akal di masa pandemi Covid-19, hingga menggelar unjuk rasa berjilid-jilid di depan gerbang kampus di jalan Soekarno-Hatta, Batununggal. Tak disangka, inisiatif Ari cs berbuntut panjang. Kampus merespons dengan tangan besi. Sebanyak 20 mahasiswa STIE Inaba kemudian diskors, termasuk Ari.
Di masa pagebluk, sistem kuliah di STIE Inaba berubah menjadi daring. Ari tetap membayar UKT sebesar Rp3 juta-Rp5 juta per semester padahal tidak ada fasilitas kampus yang ia gunakan.
Baca Juga:
Bangsa ini Lahir dari Kritik, Kenapa Kita Sekarang Hendak Menumpasnya?
Penghapusan Mural dan Persekusi Penciptanya di Mata Seniman dan Aktivis Bandung: Berlebihan dan Lucu
Tidak Ada Sidang Etik
Pendamping Hukum Ari dari Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (LKBH Permahi), Agil Octa mempertanyakan sikap STIE Inaba yang melakukan pemberhentian begitu saja terhadap peserta didiknya. Menurut Agil, semestinya para mahasiswa yang diberikan sanksi DO itu harus melalui mekanisme sidang etik terlebih dahulu.
“Sama seperti keluarnya SK skorsing, keluarnya SK DO tersebut tanpa dilakukan mekanisme pemanggilan atau permintaan klarifikasi terlebih dahulu dari yang bersangkutan. Bahkan wali dosen dari Ari pun tidak mengetahui bahwa Ari di-DO,” kata Agil.
Menurut Agil seharusnya kampus punya aturan terkait mekanisme sidang etik. Ia mengatakan kampus tidak bisa bersikap otoriter melakukan DO terhadap mahasiswa begitu saja.
“Tidak menjelaskan kesalahan apa yang dilakukan oleh Ari,” ujar Agil
Ketika dimintai konfirmasi oleh BandungBergerak.id, Rektor STIE Inaba, Yoyo Sudaryo mengklaim pihaknya sudah melakukan sidang etik terhadap kasus ini. Rekomendasi dari Tim Komisi Etika Mahasiswa Inaba yang menjadi dasar SK pemberhentian itu merupakan hasil dari sidang etik.
Menurut Yoyo dalam melakukan sidang etik terhadap mahasiswa tidak diperlukan kehadiran dari mahasiswa tersebut.
“Sidang etik mahasiswa tidak perlu menghadirkan yang bersangkutan [Muhamad Ari],” kata Yoyo.
Dalih Rektor: Perilaku Semasa Skorsing
Rektor STIE Inaba membantah pihaknya memberhentikan Ari karena keterlibatan Ari melakukan demonstrasi menuntut pemotongan uang kuliah. Yoyo mengklaim keputusan pemberhentian itu tidak ada kaitanya dengan demonstrasi yang membuat Ari diskorsing selama 2 semester pada Januari lalu.
“Pelanggaran etika sekarang [SK pemberhentian] jatuh setelah selesai sanksi [skorsing] 2 semester sebelumnya, yah. Tidak ada hubungan ke belakangnya,” kata Yoyo melalui pesan singkat.
Yoyo melanjutkan keputusan tersebut adalah hasil dari pemantauan sikap Ari selama masa skorsing dua semester. Namun, Yoyo enggan merinci sikap yang membuat Ari diberhentikan sebagai mahasiswa STIE Inaba.
“Saya tidak berani buka ke umum kalau belum ada persetujuan dari Komisi Dewan Etik Mahasiswa dan pihak lainnya. Masih konsumsi internal,” kata Yoyo.
Ketika dimintai keterangan lebih lanjut Yoyo enggan banyak berkomentar soal pemberhentian Ari ini.
Siap Diadu di Meja Hijau
Selain melakukan kampanye di media sosial mengenai kasusnya ini, Ari berencana menggugat SK pemberhentian itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTN).
“Saya akan mengirim surat keberatan ke kampus atas SK pemberhentian tersebut. Ini sebagai langkah awal prosedur mengajukan gugatan ke PTUN. Saya juga akan mengajukan banding administrasi ke LL DIkti Wilayah IV. Baru nanti diajukan ke persidangan PTUN,” kata Ari.
Ari mengatakan selama kasus skorsing massal kepada 20 mahasiswa STIE Inaba dan sanksi pemberhentian terhadap dirinya tidak pernah ada surat keberatan yang diberikan kepada pihak kampus. Menurutnya ini akan jadi yang pertama dan berpotensi untuk mendapatkan halangan. Akan tetapi, dirinya tetap optimis untuk menempuh langkah ini.
Agil Octa dari LKBH Permahi menyebut langkah membawa perkara ini ke PTUN sudah strategis dan tepat. Menurut Agil, tidak ada lembaga negara yang mampu menyelesaikan permasalahan seperti ini kecuali pengadilan. Ia juga menekankan untuk tetap memperhatikan upaya administratifnya.
“Karena evaluasi dari advokasi sebelumnya memang apabila secara musyawarah ataupun mediasi tidak mendapatkan respons yang baik [dari pihak kampus]. Dalam hal ini yang bisa mencabut SK hanyalah pengadilan dan orang yang menerbitkan SK tersebut,” kata Agil kepada BandungBergerak.id pada Rabu, (15/09/21).
Agil juga menilai bahwa tindakan yang dilakukan oleh STIE Inaba saat ini berpotensi menjadi tren buruk. Hal ini menurutnya akan dijadikan semacam yurisprudensi atau percontohan bagi kampus lain untuk mengeluarkan mahasiswanya yang kritis. Dengan demikian Agil berharap SK pemberhentian ini dapat dicabut.
Agil juga menyayangkan hingga saat ini masih belum ada Undang-undang atau aturan yang dapat melindungi mahasiswa secara khusus dari kasus seperti ini.
“Hal ini dapat diketahui dengan pernyataan dari LLDIKTI Wilayah IV yang menyatakan bahwa mereka sampai saat ini tidak mampu menyelesaikan permasalahan ini,” pungkas Agil.