• Opini
  • Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual

Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual

Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) merilis setiap tahunnya kasus kekerasan seksual selalu meningkat.

Kelvin

Mahasiswa Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

25 Juni 2022


BandungBergerak.idKorban kekerasan seksual sering kali tidak mau melaporkan kasusnya dikarenakan rasa malu dan takut dijadikan bahan perbincangan di masyarakat. Di sisi lain, orang yang berada dalam posisi rentan, terutama perempuan dan anak-anak, menjadi korban kekerasan seksual merasa tidak aman berada di lingkungannya. Bagaimana tidak, anak yang menjadi korban kekerasan seksual merupakan generasi penerus bangsa yang dirusak pertumbuhan dan masa depannya.

Sebagian besar pelaku tindakan kekerasan seksual merupakan orang terdekat dengan korban, di mana anak perempuan yang seharusnya mendapat perlindungan akan tetapi dijadikan obyek pelampiasan kesenangan seksual.

Kekerasan seksual juga merupakan suatu hal tindakan perbuatan seseorang yang di mana tindakan ini sangat fatal kejadiannya dan menjadi suatu dampak permasalahan di lingkungan masyarakat, menimbulkan dampak traumatis melukai secara fisik maupun psikologis terutama terhadap anak perempuan yang di bawah umur.  

Dalam masyarakat sendiri sering menganggap hasrat seksual sebagai suatu kejahatan yang tidak layak diperbincangkan dan harus dikendalikan oleh norma. Contoh kasus yang pernah menarik perhatian publik adalah kelakuan yang dilakukan guru pesantren yang melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap 13 santriwati di bawah umur.

Dilihat dari survei Kementerian Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) bahwa jumlah angka kekerasan seksual pada anak perempuan tiap tahunnya selalu meningkat dan bertambah. Pada tahun 2019, jumlahnya mencapai 6.454 kasus dan meningkat lagi menjadi 6.980 kasus di tahun 2020.

 

Kemudian jumlah kasus dari tahun 2020 sampai 2021 mengalami peningkatan sebesar 25,07 persen menjadi 8.730 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa anak perempuan belum mendapat perlindungan secara hukum sama sekali di dalam kehidupan masyarakat.

Baca Juga: Perjuangan Panjang Menghapus Tabu Kejahatan Seksual di Kampus
Menghapus Kekerasan Seksual di Kampus dengan Sekolah Advokat Gender
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Perspektif Hukum

Pengertian anak diatur dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk anak masih di dalam kandungan. Anak sebenarnya telah dilindungi oleh Pasal 17 ayat 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Kekerasan seksual pada anak juga diatur dalam peraturan yang lebih khusus di dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak pada Pasal 81 dan 82 yang menyatakan, “Hukuman bagi pelaku kejahatan seksual terhadap anak maksimal 15 tahun penjara dan denda paling banyak sebesar 5.000.000.000,00 Rupiah”.

Kemudian hukuman lainnya menurut KUHP pasal 287 dan 292 menyatakan, “Masa hukuman pelaku kekerasan terhadap anak maksimal 9 tahun dan maksimal 5 tahun”. Hal ini menunjukan bahwa Undang-Undang Perlindungan Anak sebagai lex specialis memberikan ancaman yang lebih besar dibanding dengan yang diatur didalam KUHP.

Di dalam penjelasan Pasal 80 ayat (1), (2), dan (3) menyatakan: “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 76C”,  menjelaskan: “Setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Dipidana dengan penjara paling lama 3 tahun 6 bulan.

Dalam hal anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) luka berat, maka pelaku dipidana dengan penjara paling lama 5 tahun. Dalam hal anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mati, maka pelaku dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun.

Dalam Pasal 15 Undang Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan secara tegas menjelaskan bahwa, “Setiap Anak berhak untuk memperoleh perlindungan” dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, pelibatan dalam peperangan, dan kejahatan seksual. 

Pasal 81 berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengan orang lain, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan paling sedikit 3 tahun dan denda paling banyak sebesar 300.000.000,00 rupiah.”

Pasal 82 yang berbunyi, “Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan, tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak sebesar 300.000.000,00 rupiah”.

Dalam Pasal 76D Undang-Undang nomor 35 Tahun 2016 menyatakan bahwa, “Setiap orang dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain”.

Pasal 81 Perpu nomor 1 tahun 2016 menyatakan, “Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan penjara paling lama 15 tahun dan denda paling banyak sebesar 5.000.000.000,00 rupiah”.

Hukum Berat Pelaku Kejahatan Seksual

Kejahatan kekerasan seksual terhadap anak perempuan sudah semakin dikhawatirkan oleh berbagai kalangan. Oleh karena itu penanggulangannya harus segera dilakukan melalui suatu kebijakan perubahan atau merevisi undang-undang perlindungan anak dengan ketat hingga dapat memberikan efek jera bagi pelaku dalam menanggulangi tindak kekerasan seksual terhadap anak perempuan di dalam masyarakat.

Tidak hanya itu saja, penegak hukum seharusnya lebih memperkuat sanksi seperti memberi hukuman kebiri lebih banyak dijalankan bagi para pelaku, dengan melihat keadaan korban bagaimana ia terguncang di saat kejadian yang telah dilakukan oleh si pelaku dan sangat merusak masa depannya.

Untuk itu apabila seseorang yang melanggar aturan tersebut maka ia harus dikenai sanksi maupun hukuman sesuai dengan prosedur hukum yang diatur dalam undang-undang agar dapat diberlakukan maupun dituntaskan secara hukum dengan adil dan baik.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//