• Nusantara
  • Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Kasus kekerasan seksual berupa pemerkosaan di Indonesia menempati urutan kedua terbanyak sepanjang 2021. Sementara DPR masih belum mengesahkan RUU TPKS.

Suasana di luar ruang sidang kasus perkosaan anak oleh terdakwa HW di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Delpedro Marhaen10 Januari 2022


BandungBergerak.idIndonesia dalam darurat kasus kejahatan seksual. Di berbagai daerah beragam kasus kejahatan seksual terus bermunculan. Salah satu kasus paling mencolok selama 2021 terjadi di Bandung, yaitu permerkosaan terhadap puluhan santriwati yang dilakukan pimpinan pesantren berinisial HW. Kasus ini masih dalam proses persidangan di PN Bandung.

Kejahatan kekerasan seksual bukan sekedar tindak pidana biasa. Hukum internasional mengkategorikan kekerasan seksual sebagai kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Kekerasan seksual dikategorikan sebagai kejahatan kemanusiaan karena korban kejahatan ini dirusak harkat kemanusiaannya.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid melalui webinar bertajuk Indonesia Darurat Kekerasan Seksual pada kanal Youtube Justicia Corner, Kamis (6/1/2022) lalu.

“Selama ini yang diperbincangkan di dalam wacana publik Indonesia baru berada pada ranah kekerasan seksual sebagai tindak pidana, dan bisa digolongkan sebagai tindak pidana biasa,” ungkap Usman.

Padahal, kata Usman, para ahli hukum internasional dan pegiat HAM, serta hak perempuan di dunia melihat berbagai perkembangan isu kekerasan seksual yang terjadi sebagai pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia. Mereka bersepakat, kekerasan seksual, terutama pemerkosaan, masuk ke dalam pelanggaran hak asasi manusia berat.

Merujuk pada Statuta Roma, yakni perjanjian internasional yang disahkan negara-negara di dunia pada 1998 dan berlaku pada 2002, menjelaskan terdapat empat kejahatan besar atau pelanggaran HAM berat, yakni kejahatan kemanusiaan, kejahatan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.

Usman menjelaskan, ada tujuh jenis kekerasan seksual atau kekerasan berbasis gender yang telah diatur sebagai kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang dalam Statuta Roma. Ketujuh jenis kekerasan seksual tersebut antara lain, pemerkosaan, perbudakan seks, prostitusi paksa, kehamilan paksa, sterilisasi paksa, kekerasan seksual lain, dan persekusi berbasis gender.

“Persekusi ini tindakan yang dimaksudkan untuk menyerang seseorang karena identitas tertentu, misalnya keyakinan agama, ras, etnis dan dalam kasus ini tentu karena gender,” lanjut Usman Hamid.

Selain itu, pengadilan pidana internasional baru-baru ini menguraikan terdapat dua kategori baru pada korban kekerasan seksual. Di antara kategori tersebut, yakni korban kekerasan seksual terhadap laki-laki dan korban kekerasan seksual dalam pihak internal. Dalam kasus korban kekerasan seksual dalam pihak internal, meliputi kekerasan seksual yang dilakukan dalam hubungan suami istri atau kemitraan sipil.

“Penting melihat kekerasan seksual sebagai kejahatan yang sangat serius dan dikutuk oleh umat manusia, dianggap musuh umat manusia. Dan menimbulkan kewajiban bagi seluruh umat sedunia untuk menuntut dan mengadili para pelaku, serta memberi keadilan bagi para korban,” ujar Usman.

Baca Juga: Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan
HopeHelps Unpar Menyediakan Tempat Aman bagi Korban Kekerasan Seksual

Kasus Pemerkosaan Urutan Kedua Terbanyak

Pegiat HAM, yang juga mantan Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati mengatakan kasus pemerkosaan menempati urutan kedua terbanyak dalam ragam kekerasan seksual sepanjang 2021. Data tersebut diungkapkan Asfin berdasarkan kasus yang ditangani YLBHI.

Data YLBHI juga mencatat, sepanjang tahun 2021 menunjukkan terdapat 526 tindakan kekerasan seksual dengan korban 239 orang. Angka tersebut menandakan bahwa terdapat korban yang mengalami lebih dari satu kali kekerasan seksual.

“Kasus pemerkosaan ada 66 [kasus]. Ini banyak sekali sebetulnya. Nomor dua terbanyak setelah pelecehan seksual,” ungkap Asfin.

Kendati kasus tersebut marak terjadi belakangan ini, DPR justru menghapus pasal mengenai pemerkosaan pada Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Penghapusan ini, kata Asfin, karena kasus pemerkosaan akan dibahas oleh pembentuk undang-undang saat menyusun Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).

“Meskipun saya tidak paham cara berpikir [DPR] karena di dalam undang-undang lain ada undang-undang induk, tetapi juga ada undang-undang khususnya yang tetap bisa direvisi,” kata Asfin.

Selain pemerkosaan yang dihapuskan dalam ragam bentuk kekerasan seksual, Asfinawati juga menjelaskan terdapat empat bentuk lainnya yang tidak dicantumkan dalam RUU TPKS.

Bentuk-bentuk tersebut meliputi pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, serta perbudakan seksual. Para penyusun RUU juga tidak mencantumkan kekerasan berbasis gender online (KBGO) sebagai bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam RUU TPKS.

Padahal, kata Asfin, berdasarkan jumlah kasus yang ditangani YLBHI, KBGO menempati posisi keempat terbanyak. Ada 52 kasus pada tahun lalu. Kemudian ada kasus pemaksaan aborsi sebanyak 7 kasus. Sementara untuk kasus perbudakan seksual sebanyak 5 kasus.

“Kasusnya ada, tapi pasalnya hilang. Ada lima bentuk kekerasan seksual yang hilang dan hanya empat yang diambil oleh DPR dalam draft RUU TPKS,” jelas Asfin.

Berdasarkan bahan rapat RUU TPKS di DPR tertanggal 8 Desember 2021 ragam bentuk kekerasan seksual yang diatur hanya meliputi, yakni pelecehan seksual fisik dan nonfisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual, dan penyiksaan seksual.

Asfinawati mendorong agar RUU TPKS segera disahkan untuk mengatasi situasi darurat kekerasan seksual yang saat ini sedang terjadi.

Jumlah Pelapor Kekerasan Seksual di Kampus Meningkat

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek PPKS) berhasil mengungkap fenomena gunung es kekerasan seksual.  Komisioner Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor mengatakan jumlah pelapor kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi mengalami peningkatan drastis.

“Yang selama ini tidak berani melapor, tapi setelah ada Permendikbud PPKS, itu semakin meningkat. Beberapa kasus juga di antaranya melapor ke Komnas Perempuan, tapi mohon maaf belum bisa menyampaikan berapa jumlah angkanya,” kata Maria.

Maria mengatakan bahwa keberhasilan Permendikbudristek PPKS dalam mendorong keberanian para korban kekerasan seksual untuk melapor telah menepis tudingan yang ditujukan selama ini. Sebelumnya, kehadiran Permendikbud PPKS ini sempat menjadi polemik di tengah masyarakat karena disebut melegalkan perzinahan.

“Ini menjadi fakta bahwa perdebatan terkait substansi yang ada di Permendikbud PPKS itu untuk melihat kekerasan seksual yang terjadi di kampus adalah nyata, bukan melegalkan perzinaan dan lain-lain itu,” paparnya.

Maria juga memandang bahwa Permendikbudristek PPKS dapat menjadi penghubung sebelum disahkannya Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Implementasi dari Permendikbudristek PPKS, kata Maria, dapat memberi gambaran mengenai tanggapan masyarakat apabila nantinya RUU TPKS ini disahkan.

Komnas Perempuan bersama dengan para aktivis dan berbagai organisasi yang bergerak di bidang hak asasi manusia, berharap agar RUU TPKS segera disahkan.

“Yang melatarbelakangi kenapa RUU TPKS ini menjadi urgen, karena korban tidak mendapatkan hak keadilan, kebenaran, dan pemulihan,” kata Maria.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//