• Berita
  • Kasus HW sebagai Kejahatan Seksual Luar Biasa

Kasus HW sebagai Kejahatan Seksual Luar Biasa

Persidangan kasus kejahatan Seksual yang dilakukan HW mengungkap fakta-fakta baru yang mendekatkan pada tuntutan hukuman yang paling maksimal.

Ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021). Sidang kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren, HW, digelar di PN Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau30 Desember 2021


BandungBergerak.idSidang kasus perkosaan terhadap puluhan santriwati yang dilakukan oleh HW (36) mengungkap fakta-fakta baru yang disebut Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai kejahatan luar biasa. Jumlah korban kelakuan bejat HW bertambah, istrinya sendiri menjadi korban.

“Dan yang kami dapat simpulkan dari persidangan hari ini bahwa ini kejahatan sangat luar biasa yang luar biasa. Tidak saja berdampak pada korban, tetapi juga menimbulkan keresahan sosial yang luas, itu yang kami tangkap,” ungkap Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Asep N. Mulyana yang menjadi JPU, usai sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Kamis (30/12/2021).

Pada persidangan kali ini, JPU menghadirkan lima orang saksi, dua di antaranya dari Kementrian Agama (Kemenag), istri pelaku, saksi ahli hukum pidana, dan saksi ahli psikologi. Fakta baru yang terungkap di persidangan menegaskan bahwa HW memang melakukan kejahatan sangat serius. Diketahui bahwa HW melakukan aksi bejatnya terhadap sepupunya sendiri dan dilakukan ketika sang istri dalam kondisi hamil.

Cuci Otak

Dalam kejahatannya, HW melakukan pencucian otak kepada para pelaku. Sehingga korban secara sukarela mau menuruti permintaan terdakwa. Bentuk cuci otak ini, menurut Asep, dilakukan dengan diiming-imingi dan berbagai dalih. Misalnya, karena para korban telah diberikan pendidikan gratis, maka mereka berkewajiban memenuhi hasrat dan keinginan pelaku.

Persidangan juga terungkap bahwa perbuatan keji pelaku dilakukan secara bertahap dan terencana. Baik kepada korban, maupun juga kepada istrinya. Sang istri memang mengetahui perbuatan pelaku. Termasuk ikut merawat anak-anak yang dilahirkan korban.

“Jadi pelaku mengatakan saya kan sudah memberikan kamu ini, saya sudah memberikan pembelajaran gratis, tolong dong kasarnya kamu juga memahami kebutuhan saya dengan keinginan saya. Ini sekali lagi kejahatan yang luar biasa, tentu pemberantasannya pun harus luar biasa, kejahatan sangat serius,” lanjut Asep.

Baca Juga: Dakwaan Jaksa pada Terdakwa Kasus Kejahatan Seksual HW Dianggap Kurang Maksimal
Mengapa Kasus Kejahatan Seksual Penting Diketahui Pubik?

Istri sebagai Korban HW

Dari hasil pernyataan ahli psikologi diketahui bahwa istri HW dipengaruhi agar mau menuruti permintaan HW. Dalam kondisi yang lemah, sang istri tak bisa melaporkan kasus perkosaan itu karena diancam oleh pelaku.

Bentuk-bentuk cuci otak lain yang dilakukan pelaku yakni pemberian fasilitas lainnya kepada korban maupun istrinya. Dalam kondisi lemah, tentu mereka tak bisa melawan.

Dari penuturan sang istri dalam persidangan juga terungkap bahwa perlakuan HW pernah dilakukan ketika sang istri dalam kondisi sedang mengandung. Tekanan psikologis yang juga dialami oleh istri pelaku membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Bahkan anak yang dilahirkan tumbuh dengan kondisi tidak begitu baik.

“Sehingga secara sukarela itu kemudian mau melakukan apa pun yang diminta oleh pelaku. Jadi bukan hanya trauma saja, tadi dari psikolog ketika kami dalami secara luas dan kami dapat pembelajaran lebih dari psikolog itu bagaiamana kemudian perbuatan dilakukan secara bertahap, secara berencana, untuk  kemudian hal-hal yang dilakukan oleh si pelaku terdakwa ini diiikuti oleh si korban, termasuk istrinya,” papar Asep.

Keterangan di persidangan sekaligus menjawab pertanyaan tentang peran istri HW dalam kasus ini. HW dinyatakan telah merusak mental istrinya, sehingga sang istri tak berdaya dan sulit membedakan mana yang benar dan yang salah. Ini terjati karena istri HW tidak siap menerima goncangan akibat perbuatan suaminya.

Bahkan pernah suatu waktu istrinya mendapati pelaku melancarkan kelakuan tak senonohnya pada korban. Istrinya tak bisa berbuat apa-apa, apalagi melapor.

“Iya, kalau dari keterangan ahli itu by design. Jadi bukan perbuatan insidentil yang serta merta orang itu melakukan tapi kemudian itu direncanakan,” ungkapnya.

Pada awalnya, istri HW juga mencurigai kelakuan suaminya. Tetapi kemudian HW melancarkan ancaman-ancaman secara psikis. Selain itu, persidangan ini juga menggali bagaimana aliran bantuan sosial yang diberikan dari Kemenag kepada pesantren pimpinan HW, begitu juga tentang proses juga pemberian izin pendirian pesantren.

Penanganan Trauma Korban

Kasus yang menggemparkan jagat pendidikan ini selanjutnya akan ditangani secara kolaboratif, yaitu melibatkan semua pihak, baik dari Kemeterian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, pihak pemerintah provinsi, dinas sosial, Kementrian Agama, dan lain-lain. Hal ini dilakukan terutama dalam menangani para korban HW.

Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Bimasena, mengatakan kondisi para korban yang kebanyakan masih kanak-kanak saat ini masih dalam penanganan pihak P2TP2A di Garut.

Menurutnya, dibutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk memulihkan trauma para korban. Terkait dengan nasib pendidikan korban, Bima menyatkan pihaknya akan bekerja sama dengan Pemprov Jabar dalam hal ini Dinas Pendidikan agar hak-hak pendidikan mereka dapat terpenuhi.

Bima berharap semua fakta-fakta kasus ini bisa terungkap di persidangan. Ia mendorong agar JPU melakukan tuntutan seberat-beratnya, apalagi kasus ini tergolong kejahatan luar biasa atau extraordinary crimes.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//