• Berita
  • Dakwaan Jaksa pada Terdakwa Kasus Kejahatan Seksual HW Dianggap Kurang Maksimal

Dakwaan Jaksa pada Terdakwa Kasus Kejahatan Seksual HW Dianggap Kurang Maksimal

Menanggapi harapan keluarga korban mengenai hukuman mati atau kebiri kepada HW, jaksa mengaku tidak bisa menjanjikan dengan dalih masih akan melihat fakta sidang.

Ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021). Sidang kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren, HW, digelar di PN Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau21 Desember 2021


BandungBergerak.idPimpinan yayasan pesantren di Bandung, HW (36), yang menjadi terdakwa atas kasus perkosaan terhadap para santriwatinya, diduga kuat HW sengaja melakukan penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah. Dia mengeksploitasi anak-anak muridnya untuk mendapatkan bansos.

Kepala Kejaksaan Tinggi  (Kejati) Jawa Barat sekaligus Jaksa Penuntut Umum (JPU), Asep N Mulyana, mengungkapkan keterangan para saksi telah mendukung pembuktian tentang tindak pidana yang dilakukan HW dalam pengelolaan pesantren maupun tempat pendidikan. Sehingga selain terbukti melakukan pelanggaran terhadap Undang-Undang Perlindungan Anak, ada indikasi kuat bahwa HW melakukan penyalahgunaan bansos.

Bansos yang mengalir ke yayasan pesantren yang dipimpin HW diketahui berasal dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Ada juga yang dalam bentuk Program Indonesia Pintar. Terdakwa mengajukan bansos tersebut untuk anak-anak didiknya, tetapi setelah pencairan, terdakwa mengambil dana tersebut untuk keperluan pribadi.

“Yang bersangkutan mengajukan bansos dan anak-anak itu menerima bansos itu, kemudian ditarik lagi oleh yang bersangkutan untuk kepentingan dia,” ungkap Asep N Mulyana, ditemui Bandungbergerak.is usai persidangan di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021).

Asep menerangkan pihaknya akan mengungkap kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren ini secara menyeluruh. Termasuk metode pembelajaran yang digunakan di pesantren. 

Persidangan kasus HW sendiri dilangsungkan tertutup, dengan agenda keterangan saksi anak yang terakhir. Sidang dipimpin oleh Yohannes Purnomo Suryo selaku Hakim Ketua, dan Hakim Anggota Ryanto Aloysius dan Eman Sulaeman.

Sidang yang berlangsung kurang lebih 4 jam itu digelar secara luring dan daring. Pelaku HW (36) mengikuti proses persidangan dari Rutan Kebonwaru Bandung. Ada dua saksi yang dihadirkan, satu saksi mengikuti secara langsung dan satunya lagi melalui video conference. Total sudah ada 18 saksi yang diperiksa.

Jumlah Korban Menjadi 21 Anak dan Tuntutan Hukuman Kebiri

Keluarga korban meminta agar HW mendapat hukuman setinggi-tingginya, termasuk hukuman mati atau kebiri. Menganggapi harapan keluarga itu, Asep tidak bisa menjanjikan dengan dalih masih akan melihat fakta-fakta di persidangan.

“Nanti kita lihat, saya tidak berani berandai-andai, setelah fakta persidangan kita bisa bicara,” ucap Asep.

Ketika dikonfirmasi mengenai kemungkinan ada tersangka lain di luar HW, Asep mengatakan bahwa sampai saat ini pihaknya masih fokus pada HW. Selanjutnya, pemeriksaan juga akan dilakukan kepada istri terdakwa.

Hukuman berat ataupun kebiri ini juga disampaikan Dewan Pembina Komisi Nasional Perlindungan Anak, Bima Sena, yang juga hadir dalam persidangan. Menurut Bima, hukuman mati atau kebiri merupakan harapan Komnas Perlindungan Anak juga. Namun saat ini pihaknya masih akan mengikuti dan melihat fakta persidangan.

“Kita akan menerapkan pasal termasuk apa yang diharap sama masyarakat. Sekarangkan maunya langsung hukuman mati, atau kebiri. Kita lihat fakta persidangan,” sambungnya.

Peluang hukuman tambahan terbuka lebar manakala jumlah korban kejahatan seksual HW terus bertambah. Hingga saat ini, Komnas Perlindungan Anak mengkonfirmasi total korban perkosaan ada 21 orang.  Dengan 8 orang hamil, dan bayi yang dilahirkan sebanyak 9 anak karena satu orang melahirkan dua kali.

“Jelas, itu justru konsen kami (kebiri). Bahwa pasal pemberatan hukuman mati di pasal 81 ayat 5 itu jelas Undang-undang terbaru. Dan di PP nomor 70, karena terdakwa ini satu mengaku sebagai orang pendidik,” ungkapnya.

Selama ini, kata Bima, Komnas Perlindungan Anak telah mendampingin kasus ini sejak pertama kali mencuat. Ketika awal kasus dilaporkan, ada tiga kasus yang diterima oleh Komnas Perlindungan Anak dari LBH SPP Garut. Dalam prosesnya muncul korban lainnya.

Bima menepis kasus kejahatan seksual ini ditutup-tutupi. Bima mengungkapkan, pihaknya tidak mengungkap kasus ini kepada masyarakat karena demi melindungi korban. Hingga saat ini pihaknya terus konsens pada penanganan trauma korban yang domisilinya kebanyakan di Garut.

“Satu, jelas untuk melindungi korban dulu, karena kita ingin mengungkap sedalam-dalamnya, korban tidak ketakutan atau mau menjelaskan apa yang dia dapat sama si pelaku. Yang kedua, membantu penyidikan pihak kepolisian,” ungkapnya, usai persidangan.

Baca Juga: Mengapa Kasus Kejahatan Seksual Penting Diketahui Pubik?
Kejahatan Seksual akan Lebih Rentan Terjadi di Sekolah dengan Sistem Tertutup

Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N Mulyana, memberi keterangan pers usai jadi jaksa penuntut umum dalam sidang kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren, HW, di Pengadilan Negeri Bandung, (21/12/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Barat, Asep N Mulyana, memberi keterangan pers usai jadi jaksa penuntut umum dalam sidang kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren, HW, di Pengadilan Negeri Bandung, (21/12/2021). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Korban Putus Sekolah

Kejahatan yang dilakukan HW telah menghancurkan masa depan para korbannya, termasuk sekolah mereka. Soal sekolah ini, Diah Momon, dari Komnas Perlindungan Anak Jabar, berjani akan menjamin bahwa para korban yang putus sekolah akan diusahakan mendapatkan pendidikan kembali.

Menurutnya, P2TP2A Garut juga telah berjanji akan membantu para korban yang putus sekolah. Salah satu caranya ialah dengan mengikutkan mereka pada ujian persamaan.

“Jadi P2TP2A sudah berjanji akan membantu. Iya, karena memang mereka selama 6 tahun tidak dapat pendidikan apa-apa, jadi putus sekolah,” katanya.

Dakwaan JPU Dianggap Kurang Maksimal

Keluarga korban menginginkan agar pengadilan menjatuhkan hukuman mati atau kebiri kepada HW. Kuasa hukum korban, Yudi Kurnia, mengatakan hukuman tersebut telah diatur UU Perlindungan Anak pada perubahan kedua.

“Saya atas nama keluarga korban menuntut untuk dihukum mati karena hukum mati saya rasa sangat adil. Kalau pun sebetulnya kurang puas, kalau ada yang lebih dapat menyiksa pelaku karena ini pilihanya cuman hukuman mati, gak ada pilihan,” ungkap Yudi.

Namun ia menyoroti JPU yang masih menggunakan UU lama dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara dan maksimal 20 tahun. Dakwaan JPU ini dinilai kurang maksimal. “JPU harusnya berpihak kepada korban, tapi kalau lihat dari pasal-pasal yang diterapkan kayaknya saya kurang yakin,” ungkapnya.

Seharusnya, kata Yudi, JPU menerapkan terlebih dahulu tuntutan UU perubahan kedua yang mengatur hukuman kebiri dan hukuman mati. “Mudah mudahan dalam tuntutan harus diterapkan itu UU perubahan keduanya,” ungkapnya.

Yudi memaparkan, kliennya mengalami kejahatan berlapis. Selain diperkosa, kliennya juga mengalami kekerasan seksual, dan dieksploitasi berupa dipekerjakan, dan nama-nama mereka dicatut untuk mendapatkan bantuan sosial.

Tak hanya itu, Yudi curiga pada keterlibatan istri HW yang melakukan pembiaran terhadap aksi bejat suaminya. Menurutnya, istri HW tahu bahwa anak-anak murid mereka hamil, tapi tidak melaporkan kasus tersebut. Ia pun menyimpulkan bahwa kejahatan HW merupakan bentuk persekongkolan dengan keluarga.

“Padahal di pesantren pada saat hamil, dia tahu pada saat istrinya hamil anak-anak ada dua orang yang hamil. Tapi dia tidak curiga oleh suaminya, ini harus diperkarakan. Jangan-jangan ini ada sindikat, dia tahu tapi ada pembiaran,” ungkapnya.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//