Kejahatan Seksual akan Lebih Rentan Terjadi di Sekolah dengan Sistem Tertutup
Kasus HW membuka sisi lain tentang rentannya kejahatan seksual pada lembaga pendidikan tertutup, entah itu pesantren ataupun sekolah berasrama lainnya.
Penulis Emi La Palau9 Desember 2021
BandungBergerak.id - Korban kejahatan pemerkosaan oleh pimpinan sekaligus guru di Yayasan Pondok Pesantren Tahfidz Madani, HW (36), membuka sisi lain tentang rentannya kejahatan seksual pada lembaga pendidikan dengan sistem tertutup, entah itu pondok pesantren ataupun sekolah berasrama lainnya. Lembaga pendidikan model ini akan sulit mendapatkan pengawasan dari luar.
Mereka diduga tidak memiliki SOP (Standar Operasional Prosedur) jika terjadi kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikannya, ataupun untuk mencegahnya. Sehingga dibutuhkan standar jelas yang mengatur sekolah demi melindungi anak-anak sekolah dari predator seks semacam HW. Diduga kuat kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tertutup ibarat fenomena gunung es, hanya puncaknya saja yang kelihatan.
Selain itu, dibukanya kasus ustaz HW ini membuat semua pihak ramai-ramai bersuara menyatakan penolakan dan kutukan. Sementara aturan yang diharapkan menjadi standar itu, Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), terlalu lama digodok DPR.
Penolakan dan Kutukan
Kelakuan biadab HW pertama kali mengemuka di media sosial melalui sejumlah unggahan para kader PSI Kota Bandung. Menurut perwakilan Komite Solidaritas Perlindungan Perempuan dan Anak (KSPPA) PSI Kota Bandung, Balqis, Rabu (8/12/2021) malam, pihaknya pertama kali mengetahui kasus ini dari laporan orang tua korban yang meminta pendampingan bagi anaknya yang menjadi saksi di persidangan HW, pada September 2021.
Artinya, kasus ini sudah lama terjadi, dan baru mengemuka sekarang ini ketika proses pengadilan telah setengah jalan. Bahkan dalam dakwaan jaksa, HW melakukan perbuatan kejinya sejak 2016. Berangkat dari kesaksian di pengadilan, selanjutnya KSPPA PSI Kota Bandung menerjunkan timnya ke lapangan untuk menginventarisir jumlah korban.
Kasus tersebut lantas viral di media sosial, dan mendapatkan pemeberitaan luas di media massa. Sejumlah pejabat dan lembaga pun merilis pernyataan penolakan dan kutukan. Kementrian Agama melalui Plt Kepala Biro Humas, Data, dan Informasi Kemenag Thobib Al-Asyhar menyatakan pihaknya sudah menutup lembaga pendidikan yang dipimpin HW sejak kasus itu disidik kepolisian.
“Sejak kejadian tersebut, lembaga pendidikan tersebut ditutup. Oknum pimpinan yang diduga pelaku tindak pemerkosaan juga telah ditahan di Polda Jabar untuk menjalani proses hukum,” ungkap Thobib, dikutip dari website resmi Kemenag.
Sejak awal kasus, kata Thobib, pihaknya telah duduk bersama Polda Jabar dan Dinas Perlindungan Anak dan Ibu (KPAI) Jabar dan bersepakat mengambil sejumlah langkah. Pertama, Polda Jabar menutup atau membekukan kegiatan belajar mengajar di Lembaga Pendidikan tersebut.
Kedua, Kemenag mengembalikan seluruh siswa ke daerah asal mereka. Pendidikan mereka dilanjutkan ke madrasah atau sekolah sesuai jenjangnya yang ada di daerah masing-masing dengan difasilitasi Kasi Pontren dan Forum Komunikasi Pendidikan Kesetaraan (FKPPS) Kabupaten/Kota setempat.
Ketiga, Kemenag terus berkoordinasi dengan Polda dan Dinas Perlindungan Ibu dan Anak, khususnya terkait penyelesaian perpindahan dan ijazah para peserta didik di lembaga tersebut.
“Sebagai catatan tambahan, Kementerian Agama telah menjalin kerja sama dengan Kementerian PPPA dan UNICEF terkait dengan pesantren ramah anak, di mana pondok pesantren menjadi tempat yang nyaman bagi santri-santrinya,” ungkapnya.
Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bandung mengecam keras tindakan HW. Tindakan HW bukan saja telah menodai ketulusan lembaga pendidikan dalam membina moral anak didiknya, tapi juga telah mengorbankan masa depan korban.
Asep Ahmad Fathurrohman, Sekretaris Umum MUI Kota Bandung, juga menegaskan bahwa HW bukan bagian dari MUI, dan juga bukan termasuk bagian dari lembaga Forum Pondok Pesantren Kota Bandung.
“Perlu pula kami jelaskan bahwa pelaku perbuatan terkutuk itu bukan merupakan bagian dari lembaga kami, MUI, ataupun lembaga keagaman lainnya, termasuk bukan bagian dari lembaga Forum Pondok Pesantren Kota Bandung,” ungkapnya, dalam rilis yang diterima Bandungbergerak.id.
Asep berharap pengadilan memberikan hukuman seberat-beratnya untuk menghukum perbuatan bejat pelaku.
Pernyataan serupa juga muncul dari Atalia Praratya Ridwan Kamil yang menyandang Bunda Forum Anak Daerah (FAD) Provinsi Jabar. Menurutnya, pihaknya sudah sejak awal turun menangani kasus ini, yakni sejak 27 Mei 2021 ketika kasus masih dalam penyidikan. Kasus ini sengaja tidak diekspos untuk menjaga dampak negatif terhadap kejiwaan korban.
"Kejadian biadab ini juga sudah ditangani oleh UPTD PPA Jabar bersama dengan PPA Polda Jabar sejak 27 Mei 2021, bekerja sama dengan kota dan kabupaten terkait," ucap Atalia, dalam siaran pers, Kamis (9/12/2021).
Ia menambahkan, pihaknya saat ini fokus untuk menyelamatkan masa depan korban dan memastikan kasus serupa tidak terulang kembali. Ia juga mengajak masyarakat untuk tidak menyebarkan informasi yang menyudutkan korban. Menurutnya, pelaku pemerkosaan santriwati harus dihukum berat sesuai aturan.
Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil juga memastikan santriwati yang menjadi korban mendapatkan perlindungan dan pendampingan dari Tim DP3AKB Provinsi Jawa Barat. Mereka menjalani trauma healing, disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.
Ia pun meminta kepada forum institusi pendidikan dan forum pesantren untuk saling mengingatkan apabila ada praktik-praktik pendidikan di luar kewajaran.
"Juga agar aparat setempat di level desa/kelurahan agar selalu memonitor setiap kegiatan publik yang berada di wilayah kewenangannya," ucapnya. Ia berharap, pelaku mendapatkan hukuman seberat-beratnya sesuai aturan.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Kampus Darurat Kekerasan Seksual, YLBHI dan 17 LBH Mendukung Permendikbudristek PPKSKampus Darurat Kekerasan Seksual, YLBHI dan 17 LBH Mendukung Permendikbudristek P
Korban Memerlukan Pendampingan Layak
Berbeda dengan klaim para pejabat, kenyataan di lapangan bisa lain. Perwakilan KSPPA PSI Kota Bandung, Balqis, menuturkan bahwa para korban menanggung beban berat baik mental dan materi. Timnya menemukan para korban sangat memerlukan pendampingan yang layak. Mereka mendapatkan beban ganda, yakni hamil dan harus merawat anak mereka.
Rata-rata, para korban adalah para santriwati yang kesehariannya pendiam, mereka juga berasal dari keluarga tak mampu. Pengalaman miris ditemukan tim ketika ada korban yang kesulitan untuk membeli susu bagi bayinya.
Profesi orang tua para korban ada yang buruh harian, kuli bangunan, dan mereka mendapat penghasilan tak seberapa. Balqis menegaskan, mereka tak mendapat bantuan apa pun dari pelaku, sementara pendampingan dari pemerintah dinilai kurang maksimal.
Tak hanya itu, Balqis juga mendorong tentang perlunya pendampingan kepada para saksi dalam kasus ini. Menurutnya, pesantren yang dipimpin HW per angkatannya mencapai 40-an orang, dan semuanya adalah perempuan.
Fenomena Gunung Es
Direktur Pasundan Durebang Women Crisis Center, Ira Imelda mengungkapkan bahwa kasus kekerasan seksual di lingkungan sekolah memang cukup banyak. Berdasarkan pengalamannya selama mendampingi kasus, sekolah-sekolah dengan sistem tertutup dan berasrama memiliki kerentanan lebih tinggi. Kalaupun terjadi kasus, penyelesaiannya bersifat internal. Dan korban kesulitan mengakses bantuan dari luar.
Sayangnya, kata Ira, hingga detik ini lembaga-lembaga pendidikan tersebut belum memiliki semacam pedoman tegas untuk mencegah kejahatan seksual. Sehingga jika terjadi kasus kekerasan seksual di lingkup sekolah yang pelakunya ada di struktur pendidikan, seperti guru atau pengurus yayasan, akan sangat sulit untuk diproses.
“Karena tadi, sifatnya kekerasan seksual itu secara umum masyarakat masih melihat itu sebagai aib, dan tidak mudah juga untuk melaporkan, apalagi pelakunya itu yang oleh masyarakat sendiri dipandang terhormat,” ungkap Ira Imelda, kepada Bandungbergerak.id.
Ira setuju bahwa kasus kejahatan seksual layaknya fenomena gunung es, yang timbul di permukaan hanya mereka yang berani melapor, namun masih banyak kasus lain yang tak terungkap. Sehingga perlu didorong hadirnya aturan baku mengenai penangan kejahatan seksual di sekolah.
Menurutnya, keluarnya Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang PPKS menjadi terobosan di lingkup pendidikan. Sayangnya, Permendikbudristek hanya berlaku di perguruan tinggi. Payung hukum serupa seharusnya hadir untuk sekolah-sekolah.
“Jadi memang sudah harus ada peraturanlah, masalahnya tidak semua sekolah bisa diintervensi dari luar, misalnya dengan lembaga pendampingan. Jadi korban agak sulit mendapat perlindungan,” ungkapnya.
Tak kalah pentingnya, suatu aturan bukan hanya mengatur sanksi bagi pelaku. Aturan ini harus melindungi dan memenuhi hak-hak korban, misalnya, mengatur tentang pemulihan mereka. Terlebih pemulihan korban kejahatan seksual merupakan jalan panjang yang tidak akan selesai walau pelakunya sudah divonis atau dihukum.
“Korban akan mengalami dampak jangka panjang, apalagi mereka masih kanak-kanak. Ini perlu dipikirkan secara serius oleh pemerintah,” tegasnya.
Di sisi lain, bermunculannya kasus-kasus keresan seksual ke permukaan menjadi semakin mendesak hadirnya payung hukum yang lebih besar, yaitu Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. RUU TPKS dinilai menjadi satu-satunya aturan yang membahas soal hak-hak korban yang tidak diatur di dalam peraturan lain.
“Itu pentingnya kita sangat mengharapkan terkait RUU TPKS, benar-benar sangat dibutuhkan, karena hanya satu-satunya yang secara detil membahas soal hak-hak korban yang tidak terdapat diperundangan lain,” tegas Ira.