Mengapa Kasus Kejahatan Seksual Penting Diketahui Pubik?
Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum yang bergelar Panglima Santri Jabar mengutuk kelakuan HW.
Penulis Iman Herdiana10 Desember 2021
BandungBergerak.id - Kasus kejahatan seksual yang dilakukan guru sekaligus pimpinan pondok pesantren di Bandung, HW, menyita perhatian publik luas. Di Twitter, tanda pagar “setan” dan “kebiri” sempat menggema sebagai bentuk kemarahan warganet atas kelakuan HW yang melakukan kejahatan seksual terhadap belasan santriwati anak.
Tindakan bejat HW juga memicu kemarahan sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Bandung maupun Pemprov Jabar. Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum yang bergelar Panglima Santri Jabar, bahkan mengutuk kelakuan ustaz HW. Ia berharap pengadilan bisa tegas menghukum HW.
"Pertama saya berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Kedua saya merasa prihatin sebagai komunitas pondok pesantren kejadian semacam ini," ungkap Uu, di Pondok Pesantren Al Ruzhan, Desa Cilangkap, Kecamatan Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, dalam siaran pers, Kamis (9/12/2021).
Saat ini, kasus HW sudah melalui 7 kali persidangan di Pengadilan Negeri Bandung. Sementara penindakan terhadap HW dilakukan pada 27 Mei 2021. Dalam dakwaan jaksa, HW melakukan kejahatan seksual terhadap santriwati-santriwatinya sejak 2016-2021.
Warga Twitter yang marah memang baru mengetahui kasusnya belakangan ini, begitu kasusnya viral di media sosial dan marak diberitakan media-media massa.
Kejahatan seksual seperti yang dilakukan HW merupakan kasus sensitif karena banyak korban anak-anak. Psikis mereka terguncang, dan masa depan mereka masih panjang. Hal ini harus mendapat penanganan intensif khususnya dari pemerintah.
Masyarakat maupun lingkungan diharapkan memberi dukungan kepada para korban, juga kepada keluarganya. Tidak boleh ada stigmatisasi atau mengucilakan korban kejahatan seksual.
Kemarahan warga Twitter terutama ditujukan kepada pelaku yang notabene berprofesi sebagai pendidik. Bagi warga Twitter, adanya informasi tentang kejahatan seksual penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan melindungi anak-anak dari para predator yang bisa datang dari kalangan mana pun, entah pendidik di sekolah maupun pesantren.
Pengacara dari Lembaga Advokasi Hak Anak (Laha) Bandung, Dadang Sukmawijaya, mengatakan publikasi kasus kejahatan seksual yang dilakukan orang dewasa justru penting dipublikasikan sebagai sanksi sosial sekaligus pembelajaran bagi masyarakat.
“Menyangkut predator anak, kalau pelakunya dewasa mekanisme hukumnya menggunakan ketentuan umum, itu sebagai sanksi sosial. Ya, tentunya sebagai sanksi sosial mungkin bisa dipublikasikan,” kata Dadang, saat dihubungi BandungBergerak.id, Jumat (10/12/2021).
Beda lagi kalau pelakunya anak-anak yang publikasinya diatur ketat dalam sistem peradilan pidana. Sedangkan pedofilia yang dilakukan HW masuk dalam ketentuan umum untuk kategori pelaku dewasa. Sebab HW sudah berusia 36 tahun.
Dari sisi masyarakat, publikasi kasus HW akan memberi mereka nilai edukasi tentang pentingnya melindungi anak-anaknya. Publikasi juga memberi contoh bahwa kasus yang dilakukan HW adalah kejahatan, terlepas latar belakang dia sebagai guru ngaji.
Untuk itu Dadang berharap majelis hakim menghukum HW seberat-beratnya. Pilihan hukuman untuk kasus pedofil ini sudah diatur dalam KUHP dengan ancaman 15 tahun penjara dan pemberatan dengan kebiri, seperti yang disuarakan warga Twitter lewat tagar kebirinya.
“Tentunya kalau menyangkut hukuman, melihat dari korban cukup banyak dan sangat memprihatinan, saya sangat berharap mudah-mudahan tuntutan (jaksa) dan putusan (hamik) berat. Di sisi lain, mudah-mudahan tidak akan terjadi dan terulang kembali, agar kasus tidak bermunculan, karena ada efek penjeranya di situ,” papar Dadang.
Baca Juga: Kejahatan Seksual akan Lebih Rentan Terjadi di Sekolah dengan Sistem Tertutup
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Orang Tua Perlu Hati-hati dalam Memilih Pesantren
Selain mengutuk HW, Uu Ruzhanul Ulum berharap masyarakat tidak menyamaratakan semua guru agama punya perilaku serupa. Sehingga tidak boleh ada rasa ketakutan dari para orang tua yang putra- putrinya sedang menempuh pendidikan di majlis ta'lim, pondok pesantren, atau di madrasah diniyah, asalkan lembaganya sudah terpercaya serta jelas sejarah dan asal usulnya.
Menurutnya, ada 12 ribuan pondok pesantren di Jawa Barat, belum termasuk majelis-majelis talim, madrasah diniyah, dan lain-lain yang tidak bisa disamaratakan.
Uu menyinggung soal pentingnya pengawasan terhadap anak yang sedang mondok di pesantren oleh orang tua atau wali murid. Dengan begitu orang tua dapat memantau perkembangan anak, mengecek kondisi mulai dari kesehatan fisik, mental, dan lainnya.
"Nah kemudian juga kalau di pesantren yang benar orang tua ini tidak memberikan secara full tetapi tetap harus ada 'ngalongok ka pasantren,' sehingga terpantau pendidikan, kesehatan, dan lainnya tidak cukup dengan telpon," kata Uu.
Ia kemudian mengingatkan orang tua agar berhati-hati dalam memilih lembaga pendidikan bagi anaknya. Banyak aspek yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga.
"Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren- pesantren yang aneh- aneh. Dari pendidikannya, perilaku, dan lainnya, jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren tetapi tidak tahu latar belakang lembaga tersebut," tutur Uu.
Pengawasan tidak Cukup oleh Orang Tua
Kasus HW telah mengoyak benteng perlindungan anak Kota Bandung. Dari sisi regulasi, Kota Bandung memiliki Perda Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Perlindungan Anak. Bahkan Jawa Barat memiliki Perda Nomor 1 Tahun 2021 tentang Fasilitasi Penyelenggaraan Pesantren. Namun kasus kejahatan seksual yang diyakini fenomena gunung es, terlihat kecil karena jarang terungkap, masih menjadi momok bagi orang tua atau anak-anak.
Di sisi lain, mencegah kejahatan seksual tak bisa mengandalkan orang tua. Perlu ada pengawasan bersama terutama dari pemerintah melalui program dan aparaturnya.
Dadang Sukmawijaya mengatakan, kasus HW harus menjadi evaluasi bersama baik oleh pemerintah maupun penyelenggara pendidikan. Evaluasi ini ditekankan pada pengawasan agar di masa depan tidak ada kasus serupa.
“Jangan sampai ketika ada lembaga (pendidikan) kontrol, pengawasan dibiarkan. Potensi akan jadi masalah di situ kalau kontrol kurang atau longgar,” kata Dadang.
Dalam hal ini, pemerintah harus turun tangan, hadir melakukan pengawasan sekaligus edukasi kepada semua pihak. Teknisnya bukan berarti pemerintah campur tangan pada penyelenggaraan pendidikan yang digelar lembaga pendidikan.
“Salah satunya dengan memberikan edukasi, penyuluhan ke lembaga pendidikan atau sosial keagamaan, terahadap anak didik, orang tuanya, itu bagian tak terpisahkan sebagai kontrol pengawasan yang harus betul-betul masuk di situ,” paparnya.
Pemerintah melalui Kementerian Agama perlu menggandeng unsur-unsur di masyarkat, mulai dari perangkat desa, lembaga keagamaan seperti MUI, unsur para pendidiknya, dan lain-lain. Semua harus komitmen melakukan pencegahan.
“Karena masalah ini kan tidak selesai di kasus ini saja. Dari dulu juga kasusnya bayak, ada pelaku yayasan, panti sosial, dan sebagainya. Jadi ini sebetulnya masalah lama. Antisipasinya dari dulu sampai saat ini sebagai bentuk pencegahan prepentif tidak terjadi,” katanya.
Sebagai lembaha advokasi anak, tahun ini Laha menangani tiga korban kekerasan anak, dan tahun lalu ada 5 korban kekerasan anak. Dari sisi pelaku yang menjadi konsentrasi Laha, tahun ini ada 50 kasus hukum yang pelakunya anak-anak. Tahun lalu ada 70 kasus. Kategori kejahatannya terdiri dari pencabulan, pengeroyokan, penganiayaan, pencurian, perundungan.