Data Pelaku Kekerasan Seksual di Indonesia dalam Ranah Komunitas 2020, Kasus yang Terlaporkan Banyak Dilakukan oleh Teman Korban
Pelaku dari kalangan tokoh agama maupun masyarakat masih kurang terlaporkan. Status mereka sebagai tokoh membuat mereka "kebal".
Penulis Sarah Ashilah11 Desember 2021
BandungBergerak.id - Pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan sering kali dilakukan oleh orang-orang di kalangan dekat dengan korban. Begitupun dengan kejadian kekerasan seksual di tingkat komunitas, seperti di lembaga pendidikan, sekolah atau pesantren, tempat kerja, ataupun di lingkungan tempat tinggal.
Pelaku akan memanfaatkan rasa percaya korban demi menciptakan kesempatan untuk melakukan tindak kekerasan seksual. Tidak jarang, pelaku juga akan bersembunyi di balik topeng untuk memenangkan simpati dari masyarakat. Pelaku kekerasan seksual dalam ranah komunitas ini bisa dilakukan oleh teman korban, guru atau dosen, atasan, tetangga, guru ngaji.
Menurut Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan tahun 2021, kekerasan seksual terhadap perempuan terjadi ketika laki-laki menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki.
Kekuasaan ini bukan hanya kekuasaan yang terbentuk secara struktural, seperti hubungan dosen-mahasiwa, atau atasan dan karyawan, tetapi laki-laki cenderung merasa berkuasa karena konstruksi sosial membentuknya seperti itu. Hal inilah yang lalu membentuk rape culture, di mana sikap agresif secara seksual yang dilakukan laki-laki terhadap perempuan menjadi bagian dari status quo.
Baca Juga: Mengapa Kasus Kejahatan Seksual Penting Diketahui Pubik?
Data Kasus Kekerasan terhadap Anak Perempuan di Indonesia pada Ranah Keluarga 2004-2020, Anjlok di Tahun Pandemi Akibat Kurangnya Laporan
Data dari Catahu Komnas Perempuan tahun 2021 menunjukkan, pelaku kekerasan seksual di tahun 2020 tertinggi adalah teman korban, yakni sejumlah 330 orang. Diikuti oleh tetangga 209 orang, orang tidak dikenal sejumlah 138 orang, dan atasan kerja 91 orang.
Pelaporan pelaku di ranah lingkungan kerja, cukup meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2019, yakni sejumlah 55 orang pelaku. Meningkatnya laporan kasus di tempat kerja ini mengindikasikan adanya keberanian korban kekerasan seksual untuk melapor.
Sementara itu, pelaku dari kalangan dosen, guru, guru ngaji, tokoh agama, dan guru spiritual, relatif menunjukkan angka yang lebih rendah. Misalnya, tokoh agama 3 orang dan guru spiritual atau dukun 2 orang.
Namun, rendahnya jumlah pelaku kekerasan seksual yang dilakukan tokoh masyarakat itu bukan berarti karena sedikitnya jumlah pelaku. Status mereka sebagai tokoh masyarakat banyak memberikan impunitas atau “kekebalan”. Sehingga kasus kekerasan seksual yang dilakukan tokoh masyarakat ini masih banyak yang belum muncul ke permukaan.