• Berita
  • Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan

Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan

Kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan di Kota Bandung melonjak selama pandemi Covid-19. Layanan hotline KDRT kurang maksimal karena terbatas jam kerja kantor.

Anak-anak Bandung menyeberang Jalan Asia Afrika, Bandung, Jawa Barat, 18 Juni 2021. Jalan yang biasanya ramai oleh wisatawan itu kini ditutup untuk lalu lintas kendaraan atau aktivitas masyarakat, Penutupan ini untuk meredam mobilitas manusia terkait semakin tingginya kasus penularan Covid-19. Pembatasan aktivitas masyarakat di pusat-pusat keramaian ini berlangsung selama dua pekan. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Bani Hakiki21 Juni 2021


BandungBergerak.idMeski dalam dua tahun terakhir Kota Bandung memperoleh penghargaan Kota Layak Anak Tingkat Nindya, bukan berarti masalah terkait isu anak sudah tuntas. Kondisi di lapangan justru sebaliknya. Selama pegebluk Covid-19, semakin banyak laporan kekerasan terhadap anak berdatangan ke beberapa instansi pemerintah dan lembaga masyarakat yang mengurus isu terkait. 

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung mengonfirmasi kondisi dalam siaran pers, 8 Juni 2021 lalu. Jumlah kasus kekerasan anak di Bandung berada di tingkat paling tinggi dalam beberapa tahun terakhir.

Tahun 2021 ini, per bulan Mei, tercatat sebanyak 75 kasus kekerasan terhadap anak dan 56 kasus kekerasan terhadap perempuan. Setahun sebelumnya, DP3A menangani dan menyelesaikan 149 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan.

Penasihat hukum dari Lembaga Advokasi Hak Anak (LAHA) Dadang Sukmawijaya menyatakan peningkatan kasus kekerasan terhadap anak tidak lepas dari imbas pandemi Covid-19. Kesenjangan sosial ekonomi yang sangat kentara di Bandung, yang makin melebar selama pagebluk, jadi salah satu faktor terbesar yang mendorong peningkatan kasus.

“Sangat disayangkan, selain kekerasan terhadap anak yang terus meningkat, banyak juga laporan mengenai anak-anak yang melakukan tindak pidana. Banyak anak di bawah umur yang melakukan percobaan pencurian, bullying, malahan jadi banyak yang malak di jalan,” tutur Dadang, Senin (21/6/2021).

Dari berbagai laporan yang dikumpulkan LAHA, diketahui masih banyak orang tua yang menjadikan anak sebagai pelampiasan masalah keluarga. Sementara itu, perilaku kriminal yang dilakukan oleh anak mulai meningkat sejak ditiadakannya sekolah tatap muka. Pandemi Covid-19 yang berkepanjangan membuat sebagian anak luput dari perhatian orang tua ketika berada di luar lingkungan rumah.

Di lain pihak, DP3A Kota Bandung mengklaim terus mengoptimalisasikan kinerja Pusat Pembelajaran Keluarga (Puspaga) dengan membuka konsultasi umum untuk masyarakat umum. Layanan yang diberikan berupa konseling sehingga masalah ekonomi jangan sampai memicu perceraian. 

“Jadi Puspaga lebih ke preventif, pencegahan. Orang tua harus mengajak anak ke luar dengan kegiatan kreatif,” ujar Kepala Seksi Kualitas Keluarga DP3A Kota Bandung Opie Noviyantie.

Baca Juga: Gejala Kekerasan Seksual Digital masa Pandemi Covid-19 di Bandung dan Nasional
AJI: Selama Pandemi Covid-19, Kekerasan terhadap Jurnalis Meningkat
Psikologi UPI Bahas Solusi Memutus Kekerasan dalam Pacaran

Kekerasan terhadap Perempuan

Pada tahun 2020 lalu Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 1 dari 3 orang perempuan di dunia mengalami kasus kekerasan. Asia Tenggara mencatat kasus kekerasan telah mencapai angka 40,2 persen dari jumlah penduduk. Sementara itu, Komisi Nasional (Komnas) Perempuan melaporkan bahwa pada tahun 2020 telah terjadi sebanyak 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuandi Indonesia.

Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dari tahun ke tahun, tak terkecuali di Bandung. Ada bermacam jenis kekerasan, mulai dari kekerasan fisik, seksual, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan di Bandung dikonfirmasi oleh Women’s Crisis Centre (WCC) Pasundan Durebang.

“Sebenarnya, pemerintah sudah menyediakan layanan-layanan untuk melaporkan kasus kekerasan (terhadap perempuan). Tapi kebanyakan hotline-nya tidak aktif di luar jam kerja. Seharusnya ini ditanggapi lebih serius,” tutur Ira Imelda dari Women’s Crisis Centre (WCC) Pasundan Durebang.

Menurut Ira, pelayanan yang disediakan untuk melaporkan kasus kekerasan harus siap sedia selama 24 jam. Hal ini dikarenakan ada beberapa kesulitan bagi para korban kekerasan untuk melaporkan kasusnya. Masih banyak korban menjadikan kasus kekerasan sebagai aib pribadi.

WCC Pasundan Durebang menyebut jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan di Bandung tahun ini sangat mungkin lebih banyak dari data yang dimiliki pemerintah kota Bandung. Namun, WCC belum bisa merilis data yang mereka miliki terkait sejumlah laporan korban yang sensitif.

“Yang paling sulit adalah mencari korban yang berani mengaku sebagai korban kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Ini karena mencari buktinya tidak mudah. Malah banyak masyarakat yang biasanya menyudutkan korban,” tegas Ira.

Salah satu jalan memutus mata rantai kekerasan pada perempuan dan anak, menurut Ira, adalah adanya payung hukum yang memberikan hukuman tegas bagi pelaku, sekaligus melindungi korban. Namun payung hukum tersebut, yaitu Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), hingga kini masih menggantung.

WCC berharap pemerintah segera mengesahkan RUU PKS menjadi Undang-undang. Ira mengajak seluruh elemen masyarakat mengawasi isu molornya RUU PKS.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//