• Berita
  • Polemik Hukuman Mati bagi HW, Kementerian PPPA Mendukung Langkah Jaksa

Polemik Hukuman Mati bagi HW, Kementerian PPPA Mendukung Langkah Jaksa

Menteri PPPA Bintang Puspayoga berharap tuntutan mati JPU pada HW dapat dikabulkan oleh majelis hakim saat membacakan putusannya pada persidangan nanti.

Ruang sidang di Pengadilan Negeri Bandung, Selasa (21/12/2021). Sidang kasus kekerasan seksual oleh guru pesantren, HW, digelar di PN Bandung. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau14 Januari 2022


BandungBergerak.idTuntutan hukuman mati bagi HW (36), terdakwa kasus perkosaan anak di bawah umur, menuai polemik. Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (HAM) menilai tuntutan mati tersebut bertentangan dengan prinsip penegakan HAM. Di sisi lain, jaksa menyatakan bahwa kejahatan seksual yang dilakukan HW tergolong amat sangat serius.

“Ada beberapa pertimbangan mengapa kami menggolongkan kejahatan terdakwa sebagai the most seriuos crime,” kata Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang juga Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat, Asep N Mulyana, usai sidang HW di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Selasa (11/1/2022).

Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun menyatakan dukungannya pada JPU. Menteri PPPA, Bintang Puspayoga, berharap tuntutan ini dapat dikabulkan oleh hakim saat membacakan putusannya nanti.

“Tuntutan yang diberikan kepada tersangka adalah tuntutan yang seberat-beratnya. Tidak hanya kebiri, tapi juga hukuman mati, demikian juga denda dan restitusi termasuk sita aset milik pelaku, yang nantinya aset lelangnya ini diperuntukkan kepada korban dan anak-anaknya. Mudah-mudahan nanti di pengadilan, keputusan hakim tidak jauh berbeda dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum,” papar Bintang Puspayoga, melalui keterangan resmi yang diterima Bandungbergerak.id.

Menanggapi sikap Komnas HAM yang menolak hukuman mati terhadap HW, Bintang mengaku menghormati sikap tersebut. Hal ini juga disampaikan oleh Nahar, Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kementrian PPPA, dalam konferensi pers daring, Jumat (14/1/2022).

Nahar mengatakan tuntutan yang disampaikan oleh JPU sudah berdasar pada Undang-Undang nomor 17 tahun 2016 tentang Perlindungan Anak Pasal 81 ayat (5) yakni pidana mati bagi terdakwa. Hal ini dibuktikan dengan bukti-bukti dalam sidang kasus kekerasan seksual itu.

Meski demikian, Nahar mengatakan, selanjutnya pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada hakim untuk memutuskan perkara dengan seadil-adilnya. “Ada kejahatan serius dimungkinkan hukuman seperti ini (mati), kami memahami betul apa yang disampakan Komnas Ham, tapi ada satu prinsip sama memberikan hukuman maksimal,” ungkapnya.

Hukuman maksimal ini diharapkan dapat memberikan efek jera kepada terdakwa maupun pelaku-pelaku lainnya agar tak berani melakukan kejahatan seksual. Meski demikian, di lapangan kekerasan seksual masih terus terjadi sebagaimana terekam dalam data nasional maupun di lingkup lokal Kota Bandung.

Menurut Dokumen Catatan Akhir Tahun Komisi Nasional Anti-Kekerasan Perempuan (Komnas Perempuan) 2021 menunjukkan jumlah korban kekerasan terhadap perempuan paling banyak terjadi di bangku SMA, yakni sebanyak 2.679 kasus. Diikuti oleh SMP sebanyak 1.532 kasus, dan universitas sejumlah 859 kasus. Data ini artinya banyak kasus terhadap perempuan yang terjadi di usia produktif dan anak di bawah umur.

Komnas Perempuan juga mencatat, dari total 1.731 kasus kekerasan terhadap perempuan di ranah komunitas (sekolah, dan lain-lain), 962 kasus di antaranya adalah kasus kekerasan seksual, dengan rincian: 229 kasus perkosaan, 181 kasus pelecehan seksual, 166 kasus pencabulan, 10 kasus percobaan perkosaan, 5 kasus persetubuhan, dan 371 kekerasan seksual lainnya.

Pada lingkup lokal di Kota Bandung, tercatat di sepanjang tahun 2020 ada 431 kasus kekerasan pada anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Artinya, di tahun pagebluk terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya (2019) yang tercatat sebanyak 250 kasus.

Ke-431 kasus kekerasan pada anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan, dan 55 kasus kekerasan fisik. Melihat data-data tersebut, pantaslah jika menyatakan Indonesia saat ini berada dalam masa darurat kasus kekerasan pada anak.  

Baca Juga: Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020, Kekerasan Seksual Paling Banyak Dilaporkan

Kementerian PPPA Jamin Hak Korban

Para korban kejahatan seksual seperti yang dialami para santriwati HW, ibarat kasus gunung es. Korban yang melapor hanya sebagian kecil dari representasi kasus yang terjadi di akar rumput. Sangat sedikit kasus yang akhirnya berhasil dilaporkan dan masuk ke meja hijau hingga pelaku dipidana.

Nahar mengatakan, pihaknya terus mengawal proses hukum kasus HW. Selain agar pelaku dihukum seberat-beratnya, Kementerian PPPA juga terus mendorong agar anak-anak korban perkosaan bisa mendapatkan hak-hak mereka secara menyeluruh.

Mulai dari proses penyembuhan, hingga hak yang berkenaan dengan pendidikan bagi mereka. Hingga kini, Kementerian PPPA mencatat ada 13 korban perkosaan (masuk dalam dakwaan JPU) dan 7 orang saksi yang tersebar di 8 wilayah. Semuanya masih kanak-kanak atau di bawah umur.

“Yang kita harapkan bisa memenuhi hak-hak anak khususnya hak pendidikan dan bisa melanjutkan aktivitas sebagaimana anak-anak seusianya. Dan terpenting bisa mendapat haknya untuk bisa sekolah,” ungkap Nahar.

Nahar menambahkan, kondisi anak-anak korban HW saat ini mulai membaik. Dari 13 korban, beberapa di antaranya sudah mulai bersekolah, namun tak seluruhnya sekolah formal. Beberapa di antaranya belum bisa bersekolah karena terkendala kelengkapan dokumen. Namun Kementerian berjanji akan terus berkoordinasi dengan pemerintah daerah agar hak-hak korban terpenuhi.

Kementerian juga mendapatkan fakta bahwa masalah pendidikan menjadi salah satu persoalan utama bagi korban anak. Berkaca pada korban perkosaan HW, setelah dipulangkan ke daerah masing-masing mereka menghadapi masalah pendidikan. Bahkan ada korban yang dikeluarkan dari sekolah karena ketahuan telah memiliki anak.

“Karena itu dibutuhkan kesadaran bersama semua pihak untuk membantu korban. Terlebih anak-anak yang menjadi korban,” katanya.

Mendorong Keberanian Korban untuk Melapor

Dari kasus perkosaan yang menimpa anak-anak korban HW, Nahar juga menjelaskan Kementerian PPPA melihat ada tiga persoalan yang terus diidentifikasi dan diwaspadai terkait persoalan yang dihadapi anak, yang muncul sebagai sebuah kasus pidana.

Pertama, selalu ada perbedaan data antar korban yang berani melapor dan korban yang ada. Sering kali kecepatan menangani dan kecepatan bertambahnya kasus tidak seimbang. Terkadang, data yang terlapor memiliki perbedaan besar dengan jumlah kasus yang terjadi. Persoalan perbedaan jumlah inilah yang mesti terus didorong.

“Persoalannya adalah berapa banyak yang berani melapor ini juga menjadi catatan kita, berapa banyak yang mau membuka suara,” ungkapnya.

Maka dibutuhkan keberanian anak, keberanian orang tua, dan lingkungan atau masyarakat untuk melaporkan kasus agar dapat ditangani dan diidentifikasi dengan baik. Sehingga proses hukum dapat berjalan, perhatian terhadap korban juga jalan.

Lalu, masih sedikitnya jumlah lembaga yang menangani kasus kejahatan seksual pada anak. Terakhir, fakta bahwa Indonesia merupakan negara yang luas, penjangkauan dari Kementerian PPPA juga terbatas.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//