Keadilan Restoratif Bukan untuk Kasus Korupsi
Pada tahun 2015, nenek Asyani yang berusia 63 tahun divonis hukuman penjara 1 tahun dan denda 500 juta Rupiah karena didakwa mencuri dua kayu jati.
Alexius Marvel Sasrawan
Mahasiswa Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar).
26 Juni 2022
BandungBergerak.id - Masyarakat sering kali mengeluhkan sistem penegakan hukum di Indonesia yang tidak mencerminkan keadilan. Mereka menganggap bahwa hukum di Indonesia tumpul ke atas dan tajam ke bawah seperti terlihat pada penegakan hukum kasus pidana besar yang menyebabkan kerugian negara, yaitu korupsi. Tetapi jika dihadapkan dengan kasus pidana ringan, terdakwa dengan mudah dijatuhkan vonis bersalah dengan hukuman berat.
Pada tahun 2015, nenek Asyani yang berusia 63 tahun divonis hukuman penjara 1 tahun dan denda 500 juta Rupiah karena didakwa mencuri dua kayu jati dari Perhutani Situbondo, sedangkan kasus korupsi ketua DPRD Bengkalis yang merugikan negara 31 miliar Rupiah hanya divonis dengan hukuman penjara 1 tahun 6 bulan.
Dari dua kasus tersebut terlihat bahwa penyelesaian tindak pidana ringan dengan menjatuhkan sanksi penjara tidak menimbulkan rasa keadilan bagi pelaku. Keadilan restoratif dapat menjadi alternatif penegakan hukum tindak pidana ringan dengan cara memulihkan kembali kondisi kerugian korban seperti semula dan tidak berfokus pada pembalasan kepada pelaku.
Keadilan restoratif merupakan sebuah bentuk alternatif penyelesaian perkara pidana yang menekankan kepada prinsip pemulihan pada keadaan semula. Keadilan restoratif dilakukan dengan cara mempertemukan pelaku, korban, keluarga pelaku atau keluarga korban dan pihak-pihak terkait laiannya untuk menciptakan kesepakatan pemulihan atas penyelesaian perkara pidana.
Pada kasus narkotika cara alternatif pemulihan sering digunakan dengan cara merehabilitasi pecandu narkoba sehingga pecandu dapat kembali seperti keadaan semula. Korban dapat memilih untuk menyelesaikan perkara melalui pengadilan atau melakukan penghentian penuntutan dengan menggunakan cara alternatif pemulihan kembali seperti keadaan semula oleh pelaku dalam penyelesaian perkara pidana tertentu. Pemulihan kembali pada keadaan semula dalam tindak pidana ringan seperti pencurian dapat dilakukan dengan cara mengembalikan barang yang telah dicuri dan pelaku menyadari dan menyesali tindakan yang dilakukan.
Baca Juga: Alfanya Pasal Hukum bagi Pelaku Pelecehan Seksual Fetish
UU ITE Menyuburkan Labeling dan Penuhnya Penjara
Kurangnya Perlindungan Hukum Membuat Maraknya Kasus Kekerasan Seksual
Keadilan Restoratif Bukan untuk Koruptor
Tujuan dari keadilan restoratif adalah untuk mendapatkan proses penegakan hukum yang adil dan seimbang bagi pihak korban maupun pelaku. Tidak semua proses penegakan hukum dapat diselesaikan dengan cara alternatif keadilan restoratif yang memulihkan kepada keadaan semula. Tahun 2022, Jaksa Agung menegaskan untuk kasus korupsi di bawah 50 juta tidak perlu dipenjara melainkan cukup diselesaikan menggunakan keadilan restoratif dengan cara mengembalikan uang hasil korupsi tersebut.
Penyelesaian perkara pidana korupsi dengan keadilan restoratif tidak sesuai dengan tujuan utama dari keadilan restoratif karena penyelesaian kasus korupsi dengan keadilan restoratif justru menguntungkan bagi koruptor. Penyelesaian tindak pidana korupsi dengan keadilan restoratif hanya akan menimbulkan celah baru bagi para koruptor yang akan menambah kerugian negara dan tidak membuat efek jera atau penyesalan bagi pelaku.
Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif menjadi acuan kejaksaan untuk melakukan penyelesaian tindak pidana menggunakan keadilan restoratif. Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 disebutkan bahwa ada empat syarat agar sebuah perkara pidana dapat diselesaikan dengan keadilan restoratif:
Tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana; tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu) Rupiah.
Tersangka yang telah memenuhi keempat syarat untuk penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif harus melakukan pemulihan kembali dengan cara mengembalikan barang yang diperoleh dari tindak pidana, mengganti kerugian serta biaya, dan memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana yang dilakukannya. Penuntut umum akan menjadi fasilitator dalam proses perdamaian antara korban dan tersangka dengan musyawarah mufakat secara sukarela dan tanpa paksaan kepada korban. Penghentian penuntutan akan dilakukan setelah adanya pemulihan seperti keadaan semula oleh pelaku dan terjadi kesepakatan perdamaian antara korban dan pelaku.
Berdasarkan pemaparan di atas, bentuk penyelesaian perkara pidana menggunakan keadilan restoratif merupakan bentuk perdailan yang lebih menitikberatkan pada humanisme bukan untuk menggantikan keadilan retributif. Humanisme dalam keadilan restoratif diwujudkan dengan melakukan gerakan-gerakan yang memungkinkan semua korban dan pelaku kejahatan untuk mengakses prosedur keadilan restoratif di semua tahap proses pidana.
Dengan sistem penegakan hukum menggunakan keadilan restoratif sifat dari hukum pidana yang mengedepankan sanksi berupa hukuman, yaitu suatu penderitaan diubah menjadi suatu penegakan yang lebih mementingkan nilai-nilai kemanusiaan seseorang. Dengan kesepakatan pemulihan keadaan antara korban dan pelaku akan menciptakan sistem peradilan yang lebih adil bagi korban dan pelaku.