Vonis Hukuman Mati bagi Koruptor, Apakah Melanggar HAM?
Di Indonesia, hukuman mati berlaku dalam hukum positifnya. Hukuman mati bagi koruptor mencuat kembali ketika terjadi korupsi bansos Covid-19.
Patricia Rachelle
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung.
2 Desember 2021
BandungBergerak.id - Hukuman mati bagi pelaku kejahatan masih menjadi perdebatan di masyarakat. Hal ini disebabkan dengan adanya pendapat tentang apakah hukuman mati melanggar hak asasi manusia (HAM) pelaku kejahatan atau tidak, dan pendapat bahwa tujuan dari diberlakukannya hukuman mati adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Perbedaan pendapat tentang apakah hukuman mati efektif atau tidak terjadi di kalangan masyarakat dan beberapa ahli yang menganggap hukuman mati melanggar hak paling dasar dari seseorang, yakni hak untuk hidup.
Pemberlakuan hukuman mati sudah mulai dibatasi dengan beberapa syarat yang diatur oleh Konvenan Internasional dalam Pasal 6 Ayat 2 tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Beberapa persyaratan untuk pemberlakuan hukuman mati yang ditetapkan adalah hanya boleh berlaku bagi pelaku kejahatan yang sangat serius, hukuman mati harus sesuai dengan hukum yang berlaku sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan, tidak bertentangan dengan hukum yang ditetapkan oleh Konvenan Internasional, serta hukuman mati hanya boleh dilaksanakan atas keputusan akhir yang ditetapkan oleh pengadilan.
Di Indonesia sendiri, pemberlakuan hukuman mati masih diakui secara sah dan pelaksanaannya diatur di dalam beberapa undang-undang yang berlaku di Indonesia. Namun hukuman mati di Indonesia sudah tidak lagi menempati posisi sebagai pidana utama, tetapi sebagai pilihan hukuman alternatif saja. Menurut peraturan yang ditulis dalam salah satu undang-undang, hukuman mati bisa ditunda dan diubah menjadi masa percobaan selama 10 tahun berdasarkan beberapa alasan, dan jika terpidana mati melakukan perbuatan yang baik selama masa percobaan tersebut, maka hukuman mati yang sebelumnya diterima oleh terpidana tersebut dapat berubah menjadi hukuman penjara seumur hidup atau hukuman penjara maksimal 20 tahun.
Penghapusan hukuman mati di Indonesia masih sulit untuk dilakukan, meskipun pemberlakuan hukuman mati sudah mulai banyak diperdebatkan karena dirasa tidak sesuai dengan HAM. Meski secara de jure Indonesia masih mengesahkan hukuman mati, tetapi secara de facto pengadilan harus memiliki komitmen untuk tidak memberikan hukuman mati dalam keputusannya.
Pengadilan harus mempertimbangkan juga permasalahan yang menjadi perdebatan di masyarakat terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi terpidana, karena dalam Undang-Undang No.39 Pasal 4 Tahun 1999 telah diatur tentang HAM yang di dalamnya mencakup hak untuk hidup. Meski demikian, hukuman mati masih terdapat di dalam hukum positif Indonesia yang bertujuan untuk mencegah kejahatan dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan, misalnya saja bagi koruptor.
Pemberian vonis hukuman mati bagi koruptor sudah diatur dalam Pasal 2 Ayat 2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Menurut Ketua Komnas HAM RI, Ahmad Taufan Damanik, pemberian hukuman mati kepada pelaku korupsi kurang efektif karena tidak adanya korelasi antara pelaksanaan hukuman mati dan timbulnya efek jera bagi pelaku. Selain tidak memberikan efek jera, Taufan juga menilai vonis hukuman mati bagi koruptor dianggap melanggar HAM seseorang dan Indonesia harus bisa memiliki sebuah komitmen yang kuat terhadap kepatuhan dalam menjalankan HAM selain hanya mementingkan sistem pencegahan terhadap kasus korupsi (Latuharhary, Komnas HAM: Hukuman Mati Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi, komnasham.go.id, diakses 20 November 2021).
Baca Juga: Kritik Korupsi dalam Komik “From Bandung With Laughâ€
Penyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di IndonesiaPenyebab Turunnya Persepsi Publik Terhadap Penanganan Korupsi di Indonesia
Sunatan Massal Bantuan Pandemi
Hukuman Mati Korupsi Bansos Covid-19
Meskipun begitu, wacana pelaksanaan hukuman mati kembali diperbincangkan pada tahun 2020 karena terdapat sebuah kasus korupsi dana bantuan sosial Covid-19 yang dilakukan oleh seorang menteri. Perbincangan mengenai vonis hukuman mati kembali ramai karena terdapat sebuah ancaman dari Ketua KPK untuk menindak secara tegas koruptor yang melakukan korupsi dana bansos Covid-19.
Dalam UU No. 31 Tahun 1999, terdapat sebuah ayat yang menyebutkan bahwa hukuman mati dapat diberikan kepada koruptor dalam keadaan tertentu. Maksud dari kata “keadaan tertentu” tersebut ialah bahwa jika korupsi dilakukan pada suatu keadaan tertentu, dan pada kasus korupsi dana bantuan sosial ini, korupsi dilakukan oleh seorang menteri pada masa pandemi Covid-19, sehingga sebenarnya vonis hukuman mati dapat diberikan.
Sebenarnya, sudah ada persetujuan untuk melaksanakan vonis hukuman mati ini dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, namun pada pelaksanaannya, hukuman mati ini cukup jarang diberikan karena hakim tidak menjatuhkan vonisnya.
Berdasarkan kutipan dari Indonesia Corruption Watch (ICW), China tercatat sebagai salah satu negara yang cukup banyak menjatuhkan vonis hukuman mati kepada pelaku korupsi pada tahun 2020. Beberapa negara yang memiliki angka praktik korupsi rendah sudah mulai menghapuskan hukuman mati bagi para koruptor, sedangkan negara-negara yang memiliki angka praktik korupsi tinggi masih memberlakukan hukuman mati bagi koruptor.
Komisi HAM di Indonesia memang sejak awal tidak menyetujui adanya hukuman mati bagi pelaku kejahatan karena menganggap hukuman mati menghilangkan hak absolut yang dimiliki oleh seseorang, yakni hak untuk hidup. Konvensi Hak Sipil dan Politik memang masih mengakui hukuman mati, tetapi hanya boleh diberikan kepada pelaku kejahatan yang melakukan tindak kriminal paling serius, seperti genosida, perang, dan pelanggaran HAM berat.
Dewan HAM PBB sendiri sudah mulai mendorong negara-negara untuk melakukan penghapusan hukuman mati, dan saat ini hanya tersisa beberapa negara yang masih melaksanakan hukuman mati, salah satunya adalah Indonesia (Latuharhary, Komnas HAM: Hukuman Mati Bukan Solusi Pemberantasan Korupsi, komnasham.go.id, diakses 20 November 2021).
Rasa Kesal Masyarakat
Indonesia masih mendapatkan kritikan dari dunia internasional atas pemberian hukuman mati kepada koruptor karena dianggap tidak memiliki komitmen kuat dalam menjalankan HAM. Seorang koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan, menganggap bahwa keinginan masyarakat untuk menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor adalah sebagai cerminan dari rasa kesal masyarakat karena upaya pemberantasan korupsi yang tidak berjalan dengan baik.
Adnan menilai bahwa untuk menangani korupsi dibutuhkan beberapa pendekatan yang dibarengi dengan penindakan, karena korupsi merupakan sebuah masalah yang berada dalam sistem pemerintahan ataupun masyarakat. Untuk mengatasi korupsi, diperlukan sebuah pembenahan secara masif dan terstruktur dari akar permasalahan korupsi tersebut.
Seorang jaksa agung mencermati bahwa ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor. Ia juga menyoroti bahwa seharusnya diterapkan sebuah ukuran untuk koruptor seperti pengenaan ukuran dalam kasus narkoba agar pelaku dapat dijatuhi hukuman yang pantas, seperti hukuman mati. Menurut jaksa agung tersebut, dengan tidak adanya ukuran dalam UU Pemberantasan Korupsi membuat koruptor tidak dapat dijatuhi vonis hukuman mati. Selain itu, dalam Pasal 2 Ayat 2 UU Pemberantasan Korupsi terdapat sebuah kata yang dapat menimbulkan penafsiran berbeda yang bisa mengakibatkan penyalahgunaan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu.
Pihak kejaksaan agung sendiri sudah menerapkan sebuah pendekatan untuk merampas aset yang dimiliki koruptor, sehingga penegakkan hukum yang dilakukan dapat mengembalikan kerugian yang dialami negara. Selain itu, pihak jaksa agung juga telah melakukan seleksi kepada pihak koruptor yang bersedia untuk bekerja sama dengan pihak hukum. Meskipun sudah menerapkan cara-cara yang dirasa bisa memberantas korupsi, namun kenyataannya semua upaya tersebut masih belum efektif untuk mengatasi permasalahan korupsi di Indonesia. Hal inilah yang membuat kejaksaan agung berupaya untuk membuat pendekatan yang lebih ekstrem untuk memberikan hukuman mati bagi koruptor.
Pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor memang masih menjadi perdebatan besar di berbagai kalangan. Banyak pihak yang berpendapat bahwa seharusnya hukuman mati diberikan kepada koruptor karena dianggap telah merugikan masyarakat, tetapi di sisi lain, banyak pihak juga yang menentang hukuman mati bagi koruptor karena dianggap melanggar HAM. Hukum internasional yang hanya mengizinkan pemberian hukuman mati bagi pelaku kejahatan tingkat serius membuat Indonesia mendapatkan kecaman dari dunia internasional atas kasus ini, meskipun Indonesia sudah mulai mengurangi pemberian hukuman mati kepada koruptor.
Pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor memang masih memerlukan banyak perundingan agar tidak menimbulkan kontroversi di dunia internasional ataupun di masyarakat. Jika pelaksanaan hukuman mati bagi koruptor sudah dianggap melanggar HAM, maka lembaga pemberantasan korupsi serta masyarakat harus bekerja sama dalam memberantas korupsi agar tingkat korupsi di Indonesia dapat berkurang karena memiliki sistem pemberantasan korupsi yang efektif.