Terminal Dago Ada di Pusaran Sengketa Lahan Dago Elos, Kenapa Pemkot Bandung Selama Ini Diam?
Di tanah sengketa ini seharusnya warga tidak sendirian karena ada aset pemerintah atau negara, seperti Terminal Dago yang dikelola Pemkot Bandung dan Kantor Pos.
Penulis Emi La Palau28 Juni 2022
BandungBergerak.id - Warga Dago elos terus berjuang mempertahankan tanah dan rumah yang telah ditinggali berpuluh-puluh tahun. Di tanah sengketa ini seharusnya warga tidak sendirian karena ada aset pemerintah atau negara, seperti Terminal Dago yang dikelola Pemkot Bandung dan Kantor Pos yang dikelola PT Pos Insonesia. Namun Pemkot Bandung terkesan pasif, bahkan diam.
Semua aset warga yang terdiri dari ratusan rumah Dago Elos di RW 02 dan aset pemerintah tersebut menempati lahan sekitar 6,3 hektar yang status kepemilikannya kini dimenangkan ahli waris atas nama Muller, berdasarkan putusan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung.
Tanah Dago Elos merupakan aset peninggalan zaman Belanda dengan tiga verponding, masing-masing bernomor 3740 seluas 5.316 meter persegi, nomor 3741 seluas 13.460 meter persegi, dan nomor 3742 seluas 44.789 meter persegi.
Namun, sepanjang sengketa berlangsung sejak tahun 2015, baik Pemkot Bandung maupun PT Pos Indonesia tak mempersoalkan kepemilikan tanah. Hanya warga Dago Elos saja yang gigih berjuang untuk mempertahankan ruang hidup mereka.
Terminal Dago sendiri berdiri di atas luas lahan kurang lebih 500 meter, didirikan sekira tahun 1975. Namun sebelumnya, area tanah terminal dan sekitarnya masih berupa lahan kosong tak bertuan dan dipenuhi rumput ilalang. Warga kemudian menanami lahan tersebut dengan singkong.
Selanjutnya, di zaman Wali Kota Ateng Wahyudi, diadakan angkutan umum rute Dago, sehingga membutuhkan terminal. Di lahan yang akan dibangun terminal sudah berdiri tiga bangunan rumah miliki warga atas nama Kardi, Tarya, dan Mulya.
Ada pula lahan PT Radio RFC. Lahan itu lalu dikosongkan. Ketiga rumah warga dipindahkan ke area belakang terminal. Dibangunlah terminal yang awalnya untuk pengoperasian angkutan umum trayek Dago-Stasion dan Dago-Kebon Kalapa.
“Kan dulu di sini, daerahnya juga masih bisa dihitung jari. Warganya maupun rumah. Ke belakang itu tanah kosong, dengan kebutuhan waktu era 70an kan angkutan kota masih belum ada. Dibentuklah angkutan kota, karena gak ada terminal bikinlah Pemkot terminal di sini,” Dahlan (70), salah seorang sesepuh dan warga RT 03 RW 01, Dago.
Dahlan tahu betul tata letak Dago Elos di masa lalu. Menurutnya, proses pembangunan Terminal Dago berjalan lancar, tak ada persoalan terkait tanah.
“Waktu pembangunan terminal ini ya aman aja, tidak ada reaksi. Waktu kan itu warganya terima, pemerintahnya bijaksana. Dipindahkan bangunan ditempatkan di belakang,” lanjut Dahlan.
Baca Juga: Bersama Warga Dago Elos Mempertahankan Ruang Hidup
Warga Dago Elos: BPN Harus Berpihak kepada Rakyathttps
Kalah di Peninjauan Kembali (PK) Mahkamah Agung, Warga Dago Elos Kembali Melawan
Warga: Pertahankan Terminal Dago!
Kini, gonjang-ganjing persoalan kepemilikan tanah Dago Elos semakin menguat. Warga terancam harus mengosongkan lahan setelah kalah dalam putusan Mahkamah Agung beberapa waktu lalu.
Warga warga yang menggantungkan hidup dari aktivitas Terminal Dago pun resah, mulai pedagang warung nasi hingga pengemudi angkutan kota. Di lahan terminal juga berdiri ruko-ruko milik warga yang menjual beras, buah-buahan, dan lain-lain.
Ojat (51), salah satu pengemudi angkot berharap Terminal Dago tetap dipertahakankan oleh Pemkot Bandung. Ia telah 37 tahun menggantungkan hidup dari angkot ke angkot. Sudah sekira 37 tahun ia bekerja sebagai pengemudi angkot.
Ojat mengaku turut merintis adanya angkutan kota jurusan Dago-Riung Bandung dan Caringin-Dago. Ia warga RT 05 RW 4, tumbuh dan besar di area terminal sejak dulu. Tentu ia tahu persoalan sengketa tanah Dago Elos. Ia berharap terminal Dago bisa dipertahankan oleh Pemkot Bandung karena sebagai tempat menggantungkan hidup banyak orang termasuk dirinya.
“Dipertahankan (harapannya) karena kepentingan umum kepentingan semua. Kan orang dari mana-mana ke sini, harus dipertahakannya betul-betul loleh pemerintah,” ungkapnya.
Tak hanya Ojat, pedagang warung nasi yang berada di pintu masuk terminal, Lilis Hasanah (48), tak kuasa jika harus kehilangan tempat dagangannya yang sudah diwariskan turun-temurun dari orang tuanya.
Lilis bercerita bahwa, orang tuanya mendapat tempat dagangan tersebut karena sang ayah berprofesi sebagai Hansip di Terminal Dago. Kini, orang tua Lilis telah meninggal dunia dan ia diwarisi tempat dagangan tersebut.
Dari situ pula, Lilis bisa menghidupi 3 orang anak dan keluarga. Lilis, bersama suami Yono (52), bersama-sama mengelola warung makan sederhana tersebut.
Lilis lantang mengatakan bahwa akan bersama warga memperjuangkan hak dan ruang hidup mereka. Karena hanya itulah tempat hidup dan mengais rizki bagi mereka. Jika digusur atau paitnya Terminal Dago menghilang karena diklaim oleh ahli waris, Lilis tak tahu lagi harus mencari nafkah dari mana.
“Ya ikut berjuang, gimana lagi (mau) berjuang. Ppokoknya mau matian-matian ibu berjuang karena gak ada tempat lagi. Di sini sudah asli orang sini, rumah sudah di sini, tempat kerja di sini, turun temurun dari orang tua di sini. Meninggal kuburannya di sini orang tua,” ungkapnya.
Yono, sang suami, juga menimpali bahwa ia akan berjuang mempertahankan hak-haknya. Ia akan mendapat kesulitan besar jika kehilangan tempat tinggal dan usahanya.
“Kalau misal dipindah kita mau usaha apa lagi. Kalau bisa disertifikat pengennya, warga khususnya. Makanya mau berjuang di sini, mempertahakan (harapannya),” tambah Yono.
Sikap Pemkot Bandung
Pemkot Bandung yang lama terdiam menghadapi sengketa ini, mau bersuara ketika dikonfirmasi. Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung, Dadang Darmawan mengungkapkan bahwa ia tak memahami betul apakah tanah Terminal Dago adalah tanah milik pemerintah kota atau bukan.
Dadang mengatakan, Dishub hanya bertanggung jawab dalam hal pengelolaan terminal. Mengenai aset, menurutnya masih memerlukan waktu untuk mempelajari lebih mendalam.
“Kalau soal aset, mungkin ke BKAD saja kepastiannya. Kita mungkin terkait fungsinya saja. Tidak soal ke asetnya, tapi nanti bagaimana manajemen pengelolaan terminalnya saja,” kata Dadang, ketika ditemui BandungBergerak.id di Pendopo Kota Bandung, Senin (27/6/2022).
“Kalau memang itu aset Pemkot, ya, itu pasti kami pertahankan. Jangankan untuk terminal, yang pasti, kan, ada luasan minimal. Terminal itu pasti luas. Sejengkal pun kalau aset pemerintah Kota Bandung itu harus dipertahankan.”
Kepada Bidang Inventarisasi Barang Milik Daerah BKAD Kota Bandung, Siena Halim mengatakan persoalan tanah verponding yang diklaim ahli waris merupakan tanah negara. Menurutnya, sudah beberapa kali Pemkot Bandung mengajukan permohonan aset kepada pemerintah pusat sejak tahun 1980.
“Tanah negara, sudah beberapa kali dimohon oleh Pemkot untuk menjadi aset Pemkot, seingat saya dari tahun 1980 sudah ada suratnya ke Pemerinta Pusat,” ungkapnya.
Terbaru, pada 2015 Pemkot Bandung telah mengajukan permohonan sertifikat kepada Badan Pertanahana Nasional (BPN). Namun, Pemkot Bandung diharuskan melakukan clear area terlebih dahulu.
“Kurang lebih surat dari Pemdanya gini. Areanya anggaplah area dari eks eigendom itu buat Pemkot. Pemkot mau membuat jalan dan Pemkot mau buat rumah susun, di suratnya gitu,” kata Siena Halim, saat dikonfirmasi BandungBergerak.id.
Siena menjelaskan bahwa dulunya daerah terminal merupakan tempat pembungan akhir (TPA) Dago. Artinya, secara administrasi merupakan tanah negara. Ia juga menyebut bahwa di sana terdapat salah satu Pabrik Tegel.
Namun ia mengakui hingga kini Terminal Dago belum memiliki sertifikat resmi. Tetapi ia menegaskan bahwa tanah verponding yang diklaim keluarga Muller itu statusnya milik negara.
Sengketa Dago Elos awalnya juga melibatkan banyak pihak, antara pemerintah daerah, ahli waris dan ratusan warga. Ia menegaskan dalam sengketa itu, Pemkot Bandung akan mempertahankan Terminal Dago sebagai asetnya.
“Jadi posisi Pemkot yang pertama mempertahankan terminal, itu sudah clear tinggal dimohon saja, tinggal yang belum clear saja yang ada masyarakatnya. Yang kedua, ya mengikuti proses hukum, kalau bisa berharap itu seluruhnya buat Pemkot lagi, karena dulunya sudah dimohon,” katanya.
Ke depan, lanjut Siena Halim, Pemkot telah berencana terhadap daerah sengketa, yakni melakukan pelebaran jalan umum. Selain itu, dalam jangka panjang akan dilakukan penataan terhadap rumah-rumah warga.