SUARA SETARA: Dicari! Ruang Aman Bagi Perempuan
Padahal, perempuan juga manusia, tapi kenapa sih kita sulit mendapatkan keadilan?
Azmi Mahatmanti
Mahasiswi UPI, aktif di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di Instagram @azmimahatmanti.
26 April 2022
BandungBergerak.id - Hari Kartini baru saja diperingati dan kembali meningatkan kita soal perjuangan perempuan di masa lalu. Pertanyaannya, sudahkah perempuan terbebas dari belenggu-belenggu yang ada? Kalau boleh saya menjawab: tentu tidak!
Lantas, pertanyaan selanjutnya, siapa yang patut disalahkan? Negarakah? Bagi saya pertanyaan tersebut sudah terjawab oleh kita semua. Akan sangat panjang apabila kita membahas ulang semuanya. Barangkali, bisa memakan waktu sampai 21 April selanjutnya. Intingnya, saya merasa tak perlu menjelaskannya. Andaikata, ada yang tak tahu, cukup rasakan saja. Ya, cukup rasakan.
Sebagai seorang warga negara, saya selalu saja diselimuti perasaan takut, khawatir, tidak tenang, dan tidak nyaman. Kalau boleh jujur, saya ingin menjalani hidup dengan normal: bebas berpendapat tanpa didiskriminasi dan bebas berekspresi tanpa dikriminalisasi. Semua menginginkan ini kan? Saya yakin, saya tidak sendirian. Lebih-lebih, saya pun seorang perempuan. Seluruh perasaan negatif yang saya sebut tadi seakan menggunung berkali-kali tingginya. Semua tempat layaknya neraka. Bayangan ketakutan dan prasangka negatif selalu membututi saya.
Padahal, seorang warga mestinya mendapat perlindungan dari negaranya. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 35, disebutkan, “Setiap orang berhak hidup dalam tatanan masyarakat dan kenegaraan yang damai, aman, dan tenteram, menghormati, melindungi dan melaksanakan sepenuhnya hak asasi manusia dan kewajiban dasar manusia ... ”. Seolah mimpi, bukan? Ah, sudahlah, intinya apa yang saya rasakan sebelumnya semestinya tidak pernah terjadi.
Khusus perihal perempuan, saya pernah mendapati seorang kawan berkata, “Kita, perempuan, hanya ingin bekerja dengan nyaman tanpa kekerasan seksual, ingin belajar di kampus dengan aman tanpa kekerasan seksual, ingin belanja kebutuhan dapur di pasar dengan tenang tanpa kekerasan sekual, dan ingin ada di rumah dengan tentram tanpa kekerasan seksual, Mbak.”
Kata-kata yang bisa jadi mewakili isi hati kita semua. Tentu, ini bisa dibuktikan dengan data. Dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2021, jumlah kekerasan terhadap perempuan (KtP) terhitung 299.911 kasus. Jumlah tersebut memang menurun 31,5 persen dari tahun sebelumnya yang ada pada angka 431.471 kasus.
Penurunan tersebut belum menjadi pertanda baik. Menurut survei, dalam sumber yang sama, penurunan kasus dikarenakan 1) korban dekat dengan pelaku selama masa pandemik (PSBB); 2) korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam; 3) persoalan literasi teknologi; 4) model layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi (belum beradaptasi merubah pengaduan menjadi online).
Membedah Data Kekerasan terhadap Perempuan
Dalam Catahu Komnas Perempuan 2021, tercatat 8.234 kasus telah ditangani oleh lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Dari data tersebut, yang menduduki posisi paling mayor adalah KDRT/RP (Kasus Dalam Rumah Tangga/Ranah Personal) dengan angka 6.480 kasus atau 79 persen. Tiga posisi teratas dalam kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan terhadap istri (3.221 kasus), kekerasan dalam pacaran (1.309 kasus), dan kekerasan terhadap anak perempuan (954 kasus). Selain itu, ada pula kekerasan yang dilakukan kepada mantan pacar, mantan istri, juga pekerja rumah tangga.
Jika dianalisis secara bentuk, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik (2.025 kasus). Kemudian, disusul oleh kekerasan seksual (1.983 kasus), kekerasan psikis (1.792 kasus), dan kekerasan ekonomi (680 kasus).
Selanjutnya, pada ranah publik atau komunitas, telah terjadi sekitar 1.731 kasus atau 21 persen. Dalam data ini, kekerasan seksual adalah kasus yang paling menonjol dengan angka 962 kasus. Lebih khusus, kasus kekerasan seksual tersebut terdiri dari pencabulan (166 kasus), perkosaan (229 kasus), pelecehan seksual (181 kasus), persetubuhan sebanyak 5 kasus, dan sisanya adalah percobaan perkosaan dan kekerasan seksual lain.
Seluruh data tersebut menyimpulkan bahwa perempuan kesulitan mendapatkan ruang aman. Ranah privat, yang menjadi lingkungan paling dekat dan mestinya mampu memberikan rasa aman, nyatanya malah menjadi ruang yang berbahaya. Dapat dilihat bahwa pelaku bisa saja orang terdekat yang memiliki hubungan darah (ayah, kakak, adik, paman, dan kakek) dan memiliki kekerabatan perkawinan (suami/istri). Selain itu, kekerasan pun sangat mungkin terjadi pada relasi intim, misalnya pacaran.
Baca Juga: SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?
SUARA SETARA: Ilusi Bandung Kota Ramah Anak
Mahasiswa Bergerak Menyuarakan Suara Rakyat
Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) dan Stigma di Dalamnya
Sebelumnya, kita mendapati bahwa relasi intim kerap menjadi ruang di mana kekerasan terjadi. Parahnya, perempuan adalah mayoritas korbannya. KDP sering dianggap sebagai akibat dari apa yang telah korban perbuat. “Itu mah resiko, siapa suruh pacaran?!” begitulah kira-kira anggapan publik. Padahal, mau pacaran ataupun tidak, resikonya sama. Lihat saja, tingginya angka kasus KDRT. Artinya, kekerasan dapat terjadi di mana, kapan, dan pada siapa saja.
Membicarakan KDP, mari kita sedikit membahas faktor terjadinya KDP. Setidaknya, ada dua faktor: budaya patriarki dan pemaknaan pacaran yang keliru. Mari kita bahas satu per satu.
Pertama, menyoal budaya patriarki. Budaya patriarki adalah sebuah sistem yang menempatkan “masculine” lebih superior dibandingkan “feminine”. Akibatnya, laki-laki merasa memiliki posisi yang lebih tinggi dari perempuan. Dan, yang terjadi adalah laki-laki bisa bersikap semena-mena. Konstruk sosial menjadikan beberapa karakter menjadi identik dengan jenis kelamin yang ada. Misalnya, laki-laki mesti kuat, tegas, berani, cerdas, dan sebagainya. Sementara, perempuan mesti lemah lembut, pemalu, kurang cerdas, dan sebagainya.
Lalu, yang kedua adalah pemaknaan pacaran yang keliru. Dalam beberapa kasus, pacaran acap kali diidentikan dengan bentuk kepemilikan atau penguasaan atas diri pasangannya. Dampaknya, adalah tindakan yang berlebiham gara-gara anggapan kepemilikan yang utuh. Contoh kecilnya, seorang pacar melarang pasangannya untuk mengobrol atau chating dengan lawan jenis. Contoh lain, seorang pacar wajib melaporkan aktivitas yang dia kerjakan. Lalu, kalau sedang menelpon dilarang untuk dimatikan. Bahaya kah? Jelas bahaya! Bagaimana kalau dia nyatanya sedang ada agenda bersama orang tuanya? Rasanya tidak etis!
Dalam Domestic and Dating Violence: An Information and Resource Handbook, Murray (dalam Metropolitan King Country Council, 1997) menjelaskan bahwa salah satu penyebabnya adalah harapan peran gender. Dalam hal ini, laki-laki diharapkan untuk lebih mendominasi sedangkan perempuan diharapkan untuk lebih pasif. Laki-laki yang menganut peran gender yang mendominasi akan lebih cenderung mengesahkan perbuatan kekerasan kepada pasangannya, sedangkan perempuan yang menganut peran gender yang pasif, akan lebih menerima kekerasan dari pacarnya.
Rasanya, situasi sudah benar-benar krisis. Kita mesti berubah, mesti bergerak!
Kompleksitas Kekerasan Seksual
Ketika membicarakan mengenai kekerasan seksual, penting bagi kita memahami kompleksitas persoalan kekerasan seksual. Kekerasan seksual adalah produk dari berbagai tingkatan pengaruh yang saling berinteraksi, dari individu, hubungan antarindividu, komunitas dan sosial budaya yang lebih besar di mana individu itu berada (DeGue, dkk, 2012). Maka dari itu, perlu pemahaman yang komprehensif untuk menggali mengenai kekerasan seksual dalam memberikan penanganan dan pencegahan yang tepat!
Karena, mustahil jika hanya fokus pada individu saja, tanpa melibatkan faktor yang lain. Misalnya, seseorang telah paham dan mengedukasi diri tentang kekerasan seksual, baik dari penanganan dan pencegahannya, namun tetap saja ada ancaman terjadinya kekerasan seksual dari teman, komunitas, dan masyarakat di sekitarnya. Mustahil juga jika kita berharap terjadinya perubahan pada sikap dan pandangan mengenai kekerasan seksual dari orang tersebut.
Membangun Strategi Terkoordinasi Pencegahan KS
Dalam membangun strategi pencegahan kekerasan seksual, kita memerlukan strategi yang komprehensif dan mampu mencakup komponen yang menangani risiko dan faktor pelindung yang ada. Center for Disease Control and Preventation atau CDC (2022) telah berhasil menciptakan strategi tersebut. Menurut CDC, untuk meraih keberhasilan, kita memerlukan kerja sama dengan berbagai pihak. Kita pun perlu melakukan pencegahan berbasis sosial-ekologis yang berfokus pada empat lapisan: individu, partner, organisasi, dan komunitas. Sedikit catatan, keberhasilan di setiap level akan mempengaruhi tingkat keberhasilan level lainnya.
Dari empat lapisan tersebut, artinya, setiap lapisan memiliki peran dalam upaya mencegah kekerasan seksual. Saya, mengajak kawan-kawan semua untuk berkontribusi dalam memberikan ruang aman bagi perempuan. Berikut adalah cara-caranya.
- Mengedukasi diri dengan pengetahuan dasar mengenai kekerasan seksual.
- Membangun interaksi dan hubungan yang sehat di antara individu
- Membangun hubungan/interaksi yang sehat di lingkungan tempat kita belajar/bekerja/berkegiatan, dengan cara tidak menjadi pelaku kekerasan seksual baik verbal maupun nonverbal.
- Dalam institusi, pimpinan harusnya terlibat untuk mempromosikan budaya keselamatan dan rasa hormat terhadap orang lain
- Dalam lingkup komunitas, turut membangun inisiatif masyarakat untuk melaksanakan dan menegakkan upaya kebijakan pencegahan kekerasan seksual
- Dalam lingkup komunitas, memperkuat dan mendukung penegakan, tanggapan dan kebijakan pelaporan dilingkungan akademik maupun masyarakat.
Sampai juga diakhir tulisan ini. Saya akan menutup dengan sebuah kalimat, “Tidak pernah seseorang menginginkan dirinya memilih menjadi korban kekerasan seksual, namun tiap orang berpeluang memilih melakukan/tidak menjadi pelaku kekerasan seksual”.
Selepas ini, masih kah ada alasan kita untuk tidak bergerak?
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung