SUARA SETARA: Ilusi Bandung Kota Ramah Anak
Bandung sebagai kota yang berinisiatif mengembangkan konsep Kota Ramah Anak. Ironisnya pemenuhan kebutuhan dasar anak belum banyak digarap.
Fatiha Khoirotunnisa Elfahmi
Perempuan aktivis, berkegiatan di Gender Research Student Center (Great) UPI, bisa dihubungi di @elfaroger
8 April 2022
BandungBergerak.id - Bandung merupakan salah satu kota pertama yang berinisiatif mengembangkan konsep Kota Ramah Anak. Namun, ironisnya, masalah serius terkait pemenuhan kebutuhan dasar anak, yakni penyediaan ruang bermain ramah anak, tidak kunjung tuntas digarap.
Tidak adanya ruang bermain ramah anak di Bandung ini jika dibiarkan berkepanjangan berpotensi adanya gangguan lingkungan perkotaan dan kurangnya keamanan. Anak-anak akan kesulitan mencari fasilitas bermain di luar ruangan. Mereka yang terdampak terutama dari anak-anak perkotaan dari orang tua berpenghasilan rendah. Ujungnya, masalah ini berpengaruh pada perubahan perilaku anak.
Di luar minimnya ruang terbuka bagi anak, penulis juga menemukan banyak pekerja anak dengan pekerjaan pemulung di area Bandung. Belum lagi anak usia dini yang berjualan tisu, membersihkan kaca mobil, mengamen, dan lain sebagainya.
Merujuk pada data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, setidaknya ada 72,5 persen anak-anak yang tidak mengakses pendidikan di usia 0-6 tahun. Realitas dan data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak anak-anak yang jauh dari jangkauan pendidikan yang merata dan setara. Masalah pendidikan ini akan menjadi beban ganda di masa depan. Karena pendidikan bertalian erat dengan angka kemiskinan. Dalam hal ini andil negara ditunggu segera.
Hak-hak Anak
Hak-hak anak sejatinya telah diakui oleh dunia internasional. Sejak tahun 1979, perlindungan terhadap anak-anak telah termaktub dalam Deklarasi Anak. Kemudian, pada tahun 1989 di Jenewa, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah mengadopsinya menjadi Convention on The Right of The Child atau Konvensi Hak Anak (KHA) yang telah diratifikasi, disetujui, dan ditandatangani oleh 192 negara. Itu artinya, permasalahan anak-anak mestinya mampu diprioritaskan dan menjadi komitmen bersama.
Dalam Konvensi Hak Anak, terdapat 10 Hak Mutlak Anak dan 4 Hak Dasar Anak. 10 Hak Mutlak Anak antara lain: hak gembira, hak pendidikan, hak perlindungan, hak untuk memperoleh nama (identitas), hak atas kebangsaan, hak atas makanan, hak atas rekreasi, hak atas kesamaan, dan hak peran dalam pembangunan. Sementara 4 Hak Dasar Anak antara lain: hak hidup, hak tumbuh kembang, hak partisipasi, dan hak perlindungan.
Di Indonesia, Konvensi Hak Anak telah diratifikasi ke dalam Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Dengan meratifikasi Konvensi Hak Anak, artinya Indonesia telah menyepakati bahwa seluruh hak anak yang tadi disinggung adalah hak asasi manusia seorang anak yang mesti diwujudkan. Ini juga merupakan bentuk komitmen Indonesia untuk memastikan seluruh hak tersebut dihormati, dilindungi, dan dipenuhi.
Setelah Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, Indonesia membuat beberapa regulasi lain dengan tujuan menyejahterakan anak-anak. Salah satu regulasi yang baru dan dapat disoroti adalah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 2021 tentang Kebijakan Kabupaten/Kota Layak Anak. Dalam regulasi tersebut dijelaskan bahwa Kabupaten/Kota Layak Anak bertujuan untuk mewujudkan sistem pembangunan yang menjamin pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak yang dilakukan secara terencana, menyeluruh, dan berkelanjutan.
Baca Juga: Pemkot Mengangankan Energi Terbarukan di Tengah Tingginya Kebutuhan Listrik Kota Bandung
SURAT DARI TAIWAN #1: Puasa Pertama di Negeri Formosa
NGULIK BANDUNG: Mata Air Cikendi, Dulu Berjasa kini Dilupakan
Ruang Terbuka untuk Anak
Fasilitas anak di negara bergekembang berbeda dengan di negara maju, terutama dari sisi definisi. Fasilitas tersebut mencakup item seperti kolam renang, gymnasia, dan lapangan olahraga. Fasilitas seperti ini jarang ditemukan di negara berkembang, dan jika memang ada, fasilitas tersebut tidak terjangkau bagi kebanyakan anak.
Taman bermain terbuka atau ruang terbuka untuk anak adalah fasilitas yang lebih khas untuk aktivitas anak di luar ruangan. Nyatanya fasilitas-fasilitas tersebut di Bandung masih sangat jauh dari ideal.
Di kota-kota pada penduduk seperti Bandung, ruang terbuka bagi anak merupakan pengganti bagi fasilitas-fasilitas berharga seperti pusat rekreasi dan kolam renang. Kenyataannya, marak anak-anak menggunakan jalan buntu dan jalan-jalan pinggiran kota sebagai area bermain mereka.
Sehingga diperlukan kebijakan dari Pemerintah Kota Bandung untuk menyusun tata letak pembangunan yang mempertimbangkan kebutuhan anak, seperti penyediaan ruang terbuka yang terdistribusi di dekat tempat-tempat tinggal warga. Kebijakan ini penting untuk memenuhi hak-hak anak, apalagi Kota Bandung ingin menyandang label Kota Layak Anak.
Kota Layak Anak sendiri menurut Bahan Advokasi Kebijakan KLA (Kementerian PPPA, 2016), didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang mempunyai sistem pembangunan berbasis hak anak melalui pengintegrasian komitmen dan sumber daya pemerintah, masyarakat dan dunia usaha, yang terencana secara menyeluruh dan berkelanjutan dalam kebijakan, program dan kegiatan untuk menjamin terpenuhinya hak dan perlindungan anak.
Melihat definisi itu, muncul pertanyaan apakah Bandung layak sebagai Kota Layak Anak? Atau asa tersebut hanya ilusi karena kenyataannya banyak anak-anak di Bandung yang sudah bekerja atau berjualan di jalan, serta tidak meratanya akses pendidikan bagi anak usia 0-6 tahun.
*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung