SURAT DARI TAIWAN #1: Puasa Pertama di Negeri Formosa
Di Taiwan, jangan bayangkan ada azan Magrib yang lantang terdengar memenuhi langit, atau sirine panjang tanda imsak pada subuh hari.
Irfan Muhammad
Penulis buku Bandung Pop Darlings, sedang belajar di National Yang Ming Chiao Tung University, Taiwan, IG: @irfanpopish.1990
8 April 2022
BandungBergerak.id - Saat menulis ini, saya sedang berada di Taiwan. Bagaimana saya bisa sampai di sini dan memutuskan Taiwan sebagai tempat melanjutkan pendidikan? Itu mungkin akan saya ceritakan di lain kesempatan. Sekarang, akan lebih klop rasanya kalau saya berbagi kisah soal pengalaman Ramadan di Taiwan.
Ini tentu bukan puasa pertama saya di perantauan. Sejak bertugas sebagai wartawan di Pikiran Rakyat circa 2014, praktis saya menghabiskan hampir seluruh Ramadan saya di tempat di mana saya bertugas. Kadang-kadang sampai Lebaran tak sempat pulang. Di Cianjur, di Pangandaran, dan bahkan pada 2018, saya habiskan Ramadan di perjalanan dari kota A ke kota B karena diutus untuk meliput rangkaian kampanye salah satu kandidat yang berlaga di Pilkada Jawa Barat. Ditambah dengan profesi saya dan istri yang sebelumnya sama-sama wartawan, kekhusyukan Ramadan seringkali kami nikmati bukan dengan tradisi berbuka dan sahur bersama di rumah, tetapi berkhidmat lewat profesi yang kami berdua jalani.
Namun, puasa tahun ini tentu amat berbeda. Meski Ramadan kali ini bukanlah Ramadan pertama di perantauan, tetapi Ramadan tahun ini adalah Ramadan pertama saya sebagai minoritas. Jangan bayangkan ada azan Magrib yang lantang terdengar memenuhi langit ibarat tanda untuk berbuka, atau sirine panjang dini hari yang menjadi penanda untuk bersiap memulai puasa. Tak ada pula penganan khas Ramadan seperti kolak, sirup, atau kawanan gorengan macam bala-bala dan gehu.
Hari-hari berjalan seperti biasa. Kuliah tetap berlangsung, begitu juga dengan kerja yang tak dikurangi jamnya. Restoran dan kantin sekitar kampus juga tidak membedakan jam buka. Mereka beroperasi sejak sekitar pukul 10.00 dan akan ramai dua jam kemudian oleh mahasiswa yang makan siang. Kendati demikian, hari-hari puasa yang “biasa” ini yang justru terasa luar biasa. Meski mungkin pengalaman-pengalaman kecil, hidup sebagai muslim di negara yang mayoritas penduduknya bukan muslim, punya kesannya tersendiri. Setidaknya bagi saya yang baru genap enam bulan berpindah mukim ke Formosa.
Baca Juga: RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #1: Menjahit Harapan di Pinggiran Kosambi
RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #2: Dengan Bedug dan Gamelan Sunda, Ajang Merentang Harapan
Tak Ada Air Bersih di Ciwalengke
“Batal” Puasa
Karena ketiadaan penanda seperti azan Maghrib untuk waktu berbuka, dan sirine, seperti di beberapa daerah di Indonesia, untuk menunjukkan waktu imsak, gawai tentunya jadi andalan. Selain ada aplikasi yang lazim digunakan sebagai pengingat waktu salat, kami, muslim yang ada di Taiwan pun terhubung satu sama lain lewat grup-grup percakapan daring. Biasanya grup-grup ini berbasis pada kota tempat tinggal, kampus, atau masjid/musala.
Di Hsinchu, kota tempat saya tinggal setidaknya ada tiga lokasi yang kerap digunakan untuk kegiatan ke-Islam-an. Satu, Hsinchu Islamic Center (HIC) di Hsinchu downtown; dua, Muslim Student Club (MSC) di dalam lingkungan kampus saya, National Yang Ming Chiao Tung University; dan satu musala di lantai tiga TINHA, sebuah toko dan warung Indonesia yang menjual ragam produk halal. Meski saling berhubungan dan punya kegiatan yang sama, tiga tempat ini memiliki saluran percakapan bincang daringnya masing-masing. Grup musala Hsinchu di WhatsApp untuk HIC, MSC dengan grup LINE-nya, dan grup LINE Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan (Formmit) yang di Hsinchu sering berkegiatan di Musala TINHA. Meski terbilang pasif, kebetulan saya ada di ketiga grup ini.
Pada hari-hari yang memerlukan waktu pasti seperti Ramadan ini, kehadiran grup-grup tersebut tentunya menjadi sangat penting. Tidak hanya untuk memastikan kapan waktu buka dan imsak yang tepat, atau berbagi info soal pelaksanaan terawih, tetapi juga informasi tentang penentuan awal Ramadan dan tentunya juga Idul Fitri nanti.
Seperti lazimnya penentuan awal Ramadan di seluruh dunia, muslim menggunakan dua metode yakni hisab dan rukyat. Ini sebetulnya digunakan juga untuk penentuan awal bulan lainnya dalam kalender Hijriah yang punya sistem lunar. Namun dalam laku ibadah yang memerlukan penanggalan pasti, penentuan tanggal awal bulan ini menjadi sangat signifikan. Dalam konteks Ramadan, singkatnya, sependek yang saya pahami, jika hilal belum tampak berdasarkan pemantauan dari berbagai wilayah di satu daerah, maka belum jatuh kewajiban puasa.
Jelang Ramadan beberapa hari lalu, saya dan kawan-kawan muslim di Hsinchu sebetulnya sudah cukup pede kalau Ramadan pertama akan jatuh pada hari Sabtu, yang artinya terawih pertama akan dilaksanakan pada Jumat malam. Meskipun bukan orang yang konsisten mengisi Ramadan dengan amalan-amalan khusus, bahkan sejak di Indonesia, saya pun sudah siap menyambut bulan suci ini. Tak ingin melewatkan terawih pertama bersama teman-teman muslim lainnya, saya mengambil libur dari pekerjaan paruh waktu saya. Sementara istri juga sudah mempersiapkan menu sahur pertama untuk Sabtu dini harinya.
Saya berpatokan pada penanggalan yang ada di aplikasi pengingat salat di gawai yang sering saya gunakan. Pada Kamis malam, musala Hsinchu juga sudah memberi kabar lewat grup kalau terawih akan digelar selepas Isya mulai Jumat malam. Media berbahasa Indonesia di Taiwan bahkan sudah mengunggah jadwal imsak yang dirilis Pimpinan Cabang Internasional Nahdlatul Ulama Taiwan. Pada jadwal itu, tanggal 1 Ramadan-nya juga jatuh pada hari Sabtu. Namun, saya baru paham, kalau otoritas muslim di Taiwan ternyata menggunakan metode rukyatul hilal untuk menentukan awal Ramadan.
"Nanti kita tunggu pengumuman dari Taipei Grand Mosque jam 8 malam," kata seorang kawan muslim India usai shalat Jumat siang harinya.
Saya yang memang sudah mengambil libur kerja, tetap tidak menyia-nyiakan waktu. Sehabis Maghrib, saya lekas berkemas. Pakai peci dan menenteng sajadah. Naik bus sekira 15 menit dari apartemen ke Downtown. Rencananya bertemu istri di Downtown, yang kebetulan baru selesai kuliah di Taoyuan, makan bersama, lalu menuju musala HIC untuk salat Isya kemudian terawih berjamaah. Usai salat Isya, saya dan beberapa saudara muslim dari Indonesia, India, dan Timur Tengah tetap duduk. Menunggu pengumuman dari Chinese Muslim Association (CMA) Taiwan yang berkantor di Taipei.
Jangan bayangkan kami menunggu pengumuman seperti saudara muslim di Indonesia yang dapat menonton hasil sidang isbat di TV secara langsung atau mendapat beritanya secepat kilat. Kalaupun memang informasi itu diberitakan, kebanyakan dari kami tidak mampu membaca dan berbahasa Mandarin. Alhasil, masing-masing dari kami kasak kusuk dengan gawai masing-masing. Yang kenal pengurus dari perwakilan organisasi muslim negaranya di Taiwan mungkin menghubungi pengurusnya, sementara saya bolak balik mengecek tiga grup komunitas muslim tadi.
"(Di) Indonesia sudah ditentukan (tanggal 1 Ramadan-nya jatuh pada) hari Minggu," kata seorang muslim Indonesia dengan aksen Jawa yang kental setelah membaca berita di gawainya. Padahal waktu Indonesia bagian barat lebih lama satu jam ketimbang kami yang di Taiwan.
Masih kasak kusuk, tidak lama muncul notifikasi dari grup LINE Formmit di ponsel pintar saya. Tidak lama dua grup lain juga memunculkan pesan yang sama. Sepucuk surat dalam format pdf dengan tiga bahasa: Mandarin, Arab, dan Inggris dari CMA yang menyatakan kalau tanggal 1 Ramadhan di Taiwan jatuh pada tanggal 3 April 2022 atau pada hari Minggu-nya. Masing-masing, yang sepertinya juga ada di grup yang sama, lantas tatap-tatapan. Berbagi senyum, sama-sama paham.
"Wah enggak jadi besok puasanya. Wis-wis kita ngobrol-ngobrol wae," kata seorang muslim Indonesia lainnya yang ditanggapi dengan tawa-tawa kecil dari yang lain. Kami lalu memecah shaf untuk membentuk lingkaran lalu bercengkrama. Ngobrol santai bersama.