RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #2: Dengan Bedug dan Gamelan Sunda, Ajang Merentang Harapan
Pandemi Covid-19 pernah memaksa Ajang (36) dan keluarganya makan nasi berlauk garam. Ia kini melihat harapan lewat bedug dan gamelan Sunda yang ia buat.
Penulis Emi La Palau6 April 2022
BandungBergerak.id - Percikan semburan dari alat pemotong besi menyeruak, bagai percikan kembang api. Tanpa menggunakan alat pelindung mata, jemari tangan Ajang (36) sibuk memotong pelat besi dari drum yang telah digambari pola. Nantinya bahan tersebut akan digunakan untuk membuat bonang, salah satu alat musik gamelan Sunda.
Sudah hari kedua Ramadan, namun belum juga tampak pembeli yang meminang bedug ataupun alat-alat musik lain. Berjajar di toko, tiga buah bedug berwarna hijau yang terbuat dari drum dan kulit sapi. Bedug itu dibuat oleh Ajang sehari sebelum bulan puasa.
“Kemarin sampai sekarang belum (ada yang pembeli). Pokoknya minggu kemarin ada satu, ada yang pesan. Pas Ramadan belum. Nggak ada yang pesan apa-apa, cuman kalau yang nanya-nanyain mah ada,” ungkap Ajang kepada BandungBergerak.id, Senin (4/4/2022).
Hampir 10 tahun sudah Ajang mengikuti Pepen Supendi (59), pemilik toko alat musik Sundanese Music Instrument yang terletak pinggiran Jalan Soekarno Hatta, tak jauh dari simpang Kiaracondong, Kota Bandung. Awalnya, Ajang dipekerjakan sebagai sopir pengantar alat-alat musik kepada pelanggan. Namun, sudah sekitar empat tahun terakhir, ketika Pepen membutuhkan tambahan pekerja, Ajang turut membuat alat musik. Termasuk bedug.
Ajang dengan cepat menyesuaikan diri dengan pekerjaan barunya sebagai perajin alat musik. Ia sudah terbiasa dengan alat-alat mesin kendaraan ketika bekerja sebagai sopir bus di salah satu perusahaan garmen di seputaran Buah Batu yang tutup karena bangkrut di tahun 2002. Dengan bimbingan sang bos Pepen, mudah baginya untuk belajar membuat alat musik kendang dan gamelan Sunda.
Sesekali, melihat musim dan peminat, Ajang juga membuat bedug. Alat-alat dan bahan kulit sapi bahan pembuat bedug dikirimkan dari daerah Cianjur, sementara untuk bahan alat musik lain diambil dari berbagai daerah.
Sejak pagebluk mulai menghantam pada Maret 2020 lalu, kondisi penjualan di toko tempat Ajang bekerja benar-benar hancur. Ia menceritakan betapa menyedihkannya penjualan di dua tahun belakang. Di sepanjang tahun 2020, tokonya berkali-kali harus tutup karena peraturan pemerintah yang membatasi kegiatan warga. Setahun kemudian, meski toko mulai diizinkan untuk beroperasi, penjualan sama sekali tak ada.
“Justru selama pandemi, aduh memprihatinkan, sakit. Nggak ada yang beli. Jangankan yang beli, nanya juga nggak ada. Baru-baru sekarang mulai jalan lagi, habis korona kedua (di tahun kedua),” ungkapnya.
Memasuki tahun 2022, perlahan penjualan alat musik di toko tempat Ajang bekerja mulai membaik. Sudah mulai ada pemesan meski satu dua orang saja. Hal ini, sudah sangat disyukuri oleh Ajang.
“Sampai sekarang baru tiga bulan, baru jalan lagi. Itu juga belum normal, belum normal. Masih ada satu dua (pembeli) yang kecil-kecil, yang beli kendang. Ya Alhamdulillah,” katanya.
Baca Juga: RAMADAN (MASIH) DI TAHUN PAGEBLUK #1: Menjahit Harapan di Pinggiran Kosambi
Ramadan di Tahun Pagebluk (15): Kisah Ida dari balik Kostum Pooh
Ramadan di Tahun Pagebluk (3): 30 Tahun Wahidin Menggenjot Becak
Berbuka dengan Nasi dan Garam
Dengan berat dan sesak, Ajang menceritakan betapa pahit dan sakit kondisinya di awal pandemi tahun 2020, lalu berlanjut di tahun 2021. Ia benar-benar harus putar otak untuk setidaknya memperoleh pemasukan untuk membeli isi dapur keluarganya. Di rumah ia memiliki istri, juga satu orang anak dan satu menantu yang ikut tinggal bersama. Dia harus menghidupi paling tidak empat kepala.
Pada satu waktu di bulan-bulan pertama pandemi Covid-19, ketika toko tempatnya bekerja harus tutup selama 20 hari, Ajang pusing bukan main. Ia bekerja apa pun untuk sekadar mendapat uang 20 ribu rupiah per hari. Sesekali ia menjadi sopir angkutan kota (angkot) cadangan dengan meminjam kendaraan seorang kawan. Ajang satu dua kali menarik angkot jalur Gedebage – Stasiun Bandung.
Sialnya, di tengah pandemi, jumlah penumpang angkot juga anjlok. Untuk mendapat 20 ribu rupiah per hari saja sangat sulit. Dari pagi sampai jam 12 siang, sulit benar memperoleh uang 50 ribu rupiah yang akan digunakan untuk membeli bensin. Hanya ada dua atau tiga penumpang di dalam angkot yang membutuhkan BBM paling tidak 3 liter pertalite untuk bisa melaju dari Gedebage ke Stasiun Bandung.
Beruntung Ajang memiliki kemampuan mekanik. Ia mampu membenarkan kerusakan pada kendaraan. Kemampuan ini ia pelajari secara otodidak ketika masih menjadi sopir bus pengangkut pegawai garmen, pada awal tahun 2000-an. Ajang sedikit tertolong karena sesekali mendapat panggilan memperbaiki kendaraan.
Ajang seharunya menjadi salah satu penerima bantuan sembako, namun karena alasan ada salah seorang lansia yang tak dapat, lalu karena Ajang dianggap masih muda jadi sembako yang didapatnya diikhlaskan dan diberikan kepada lansia tersebut. Ia tak ambil pusing. Dalam hatinya, jika sampai saat itu ia masih hidup, berarti Tuhan memang telah menyiapkan rezeki untuknya.
“Saya kasiin aja (sembako), iklasin aja. Biarin, rejeki nggak bakal ketuker. Allah tetep kasih rejeki saya buat saya. Karena saya masih hidup, berarti saya masih dikasih rezeki sama Allah,” ungkapnya.
Hal pahit yang masih terus lekat dalam ingatan Ajang adalah ketika hanya ada beras dan garam di dapur. Ia dan keluarga terpaksa hanya bisa makan nasi lauk garam. Sama sekali tak ada uang di dompetnya. Meski tak berlangsung lama, kesengsaraan itu benar-benar melekat. Jika diingat, ia merinding dengan kondisi tersebut.
Hal itu terjadi beberapa kali, dan ketika itu di bulan Ramadan. Ia lupa tepatnya, tahun 2020 atau 2021. Benar-benar tak ada lauk-pauk, hanya ada garam.
“Parah, parah bener-bener. Makanya saya mah aduh, baru ngerasain sengsaranya. Biasanya makan pakai tahu tempe, saya ngalamin pakai garam. Bener (nasi dan garam saja) karena nggak ada uang,” kenangnya.
Ketika sekarang harga bahan-bahan pangan terus meroket, Ajang masih bisa bersyukur. Di Ramadan kali ini, Ramadan ketiga di tahun pagebluk, penjualan di tokonya mulai menggeliat. Hidangan sahur dengan menu tahu dan tempe menjadi hal istimewa bagi dia dan keluarga.
Pernah Menjadi Ketua RT
Ajang tumbuh dan besar di seputaran Babakan Jati, Binong, Kota Bandung. Ia pernah terpilih menjadi ketua RT, tepatnya di RT 03 RW09 Babakan Jati, Kelurahan Binong, Kecamatan Batununggal. Pada 2019, ia digantikan tetangganya sebagai ketua RT. Saat ini, sang istri yang dipercayai oleh warga tempatnya tinggal untuk menjadi ketua RT.
Secara keuangan, jabatan ketua RT tentu tak bisa diharapkan banyak. Dapur masih tetap saja kosong jika tak disokong dengan pekerjaan lainnya.
“Kalau RT justru nggak diberi (bantuan), karena pengurus. Kalau untuk warganya dikasih,” tuturnya.
Gaji sebagai ketua RT hanya 300 ribu rupiah per bulan, diterima setiap tiga bulan sekali. Jumlah ini tentu tak akan cukup untuk membiayai kehidupan seluruh keluarga. Untuk bertahan hidup selama pandemi, Ajang menguras seluruh tabungannya di ATM, sampai rekening ATM-nya itu telah terblokir karena nol saldo.
Masa-masa pahit di pandemi Covid-19 berhasil dilewati Ajang dan keluarganya, meski dengan segala luka dan kepahitan. Dari pinggiran Jalan Soekarno–Hatta, Bandung, ia kini menatap Ramadan di tahun yang penuh dengan harapan.