• Kolom
  • SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?

SUARA SETARA: RUU TPKS Pascaratifikasi, Apa Langkah Selanjutnya?

Masih adanya penolakan terhadap UU TPKS membuat negara harus segera melakukan sosialisasi gencar tentang pentingnya mencegah kekerasan seksual.

Anggun Kurnia Likawati

Mahasiswi UPI dan aktivis Great UPI. Instagram: @anggunkurniaa.

Sejumlah aktivis memperingati International Women's Day di Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Masa yang tergabung dalam Persatuan Rakyat untuk Pembebasan Perempuan menyatakan sejumlah tuntutan, salah satunya penegakan hukum atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id )

19 April 2022


BandungBergerak.idSetelah melalui perjalanan panjang selama 10 tahun, DPR RI (12/4/2022) akhirnya meratifikasi Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal tersebut tentu menjadi angin segar, utamanya bagi para perempuan dan anak yang selama ini rawan menjadi korban.

Bukan hanya itu, masyarakat sipil, akademisi, hingga aktivis juga menyambut hangat kehadiran regulasi tersebut dan menganggapnya sebagai bentuk perhatian negara terhadap berbagai kasus kekerasan seksual yang selama ini menjadi problematika di Indonesia.

Dilansir dari data laporan kasus kekerasan seksual oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), pada tahun 2021 terdapat 10.247 total kasus kekerasan terhadap perempuan dan sebesar 15,2 persen berbentuk kekerasan seksual. Sedangkan laporan kekerasan terhadap anak, terdapat 14.517 total kasus yang mana 45,1 persen di dalamnya berbentuk kekerasan seksual.

Melalui data laporan tersebut, dapat disimpulkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sangatlah penting untuk mendapat perhatian lebih oleh negara. Maka, dengan hadirnya UU TPKS ini, diharapkan dapat memberikan kepastian hukum serta menjamin perlindungan pada korban kekerasan seksual.

"Dengan adanya UU TPKS ini diharapkan upaya penanganan, perlindungan, dan pemulihan korban akan makin optimal," kata Tri Wuryaningsih, sosiolog Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) (2022).

Baca Juga: Nestapa Warga Korban Pembongkaran Rumah Bantaran Sungai Cibodas di Rusunawa Rancacili
NGULIK BANDUNG: Ramadan di Zaman Kolonial
Wolff Schoemaker Perias Wajah Kota BandungWolff Schoemaker Perias Wajah Kota Bandung

Perseteruan “Abadi” dalam Proses Ratifikasi UU TPKS

Walau begitu, masih terdapat beberapa masyarakat sipil dan bahkan fraksi partai di Indonesia yang menolak hadirnya UU TPKS di tengah-tengah masyarakat dengan alasan yang serupa. Salah satu alasannya adalah bahwa UU TPKS ini abai pada prinsip moral dan keagamaan, sebut saja Fraksi PKS DPR RI yang terang-terangan menolak UU TPKS. Bagi mereka, peraturan ini berpotensi meramaikan aksi perzinaan dan perilaku penyimpangan seksual karena hadirnya frasa sexual consent. Hal tersebut, selanjutnya membuat Fraksi PKS menambahkan usulan agar UU TPKS juga mengatur norma larangan perzinaan, larangan terhadap perilaku seks menyimpang, serta segala bentuk kampanyenya. Padahal jika dipahami lebih lanjut, UU TPKS ini eksklusif mengatur tentang tindakan kekerasan seksual yang dapat merugikan korban, bukan tentang perzinaan yang jelas-jelas sudah diatur dalam KUHP.

Serupa dengan tanggapan yang diberikan oleh Fraksi PKS, terdapat beberapa komunitas masyarakat sipil yang turut mengampanyekan ketidaksetujuannya terhadap UU TPKS ini, seperti salah satunya adalah Aliansi Cerahkan Negeri (ACN). Melalui postingan Instagramnya, yaitu @aliansicerahkannegeri, pada Kamis (14/4/2022), mereka secara langsung menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap DPR yang berhasil meratifikasi UU TPKS. Alasannya, karena UU TPKS ini berperspektif sexual consent yang hanya berfokus pada masalah seksualitas dari pandangan kemanusiaan saja, tanpa memikirkan prinsip keagamaan dan moralitas. Selain itu, mereka juga menambahkan bahwa dalam beberapa pasal UU TPKS, yaitu Pasal 5, 6, 12, dan 14 memiliki potensi memberikan perlindungan bagi perbuatan seks menyimpang seperti seks bebas dan LGBTQ+ berdasarkan frasa sexual consent atau asas suka sama suka.

Jika melihat dua fenomena tersebut, dapat dinilai bahwa pemahaman terhadap frasa sexual consent ini, ternyata masih ramai diperdebatkan oleh masyarakat. Padahal, sexual consent merupakan faktor terbesar dalam menentukan atau mengidentifikasi kasus kekerasan seksual. Seperti yang diungkapkan oleh Veni Siregar, seorang aktivis perempuan dari Forum Pengada Layanan, bahwa sexual consent berarti suatu bentuk persetujuan atas tindakan seksual yang didapatkan atau diterima oleh seseorang. Dengan demikian, tanpa kehadiran sexual consent tersebut, maka dapat menjadi penentu bahwa seseorang telah mengalami kekerasan seksual. Jika frasa sexual consent dihapuskan, maka aturan yang mengkategorikan suatu tindakan sebagai kekerasan seksual akan rancu dan dapat membuat korban semakin rentan karena hilangnya frasa yang menegaskan batasan bahwa mereka merupakan korban kekerasan seksual.

“Consent itu dimaknai untuk melihat ketidakberdayaan korban dari ketidaksetujuannya atas (tindakan) kekerasan yang terjadi. Ini menunjukkan bahwa korban mengalami kekerasan,” ungkap Veni Siregar (2021).

Meminimalkan Kesalahpahaman dan Mengoptimalkan Impelementasi UU TPKS

Dilansir dari antaranews.com (14/4/2022), sosiolog Unsoed, Tri Wuryaningsih, mengungkapkan bahwa UU TPKS yang telah diratifikasi oleh DPR bersama pemerintah, perlu untuk disosialisasikan dengan massif agar dapat diketahui oleh seluruh elemen masyarakat di Indonesia. Menurutnya, dengan sosialisasi yang massif, maka aspek pencegahan, penyelenggaraan, dan pelayanan terpadu akan dapat terlaksana dengan optimal. Namun apa itu sosialisasi?

Pada Pasal 1 Ayat (1) Permenkumham 2007 tentang Pola Penyuluhan Hukum, menjelaskan bahwa sosialisasi hukum atau juga dikenal sebagai penyuluhan hukum, merupakan suatu kegiatan menyebarluaskan informasi dan pemahaman mengenai norma hukum dan peraturan perundang-undangan yang berperan dalam mewujudkan dan menciptakan kesadaran hukum masyarakat sehingga lahir budaya hukum yang tertib dan taat terhadap norma hukum yang berlaku demi menegakkan supremasi hukum. Lalu, harapannya dari proses sosialisasi hukum yang telah dilakukan adalah bagaimana masyarakat mencapai kesadaran hukum yang ditandai dengan hadirnya bentuk pemahaman utuh yang diikuti dengan kepatuhan masyarakat terhadap norma hukum yang berlaku, dalam hal ini adalah UU TPKS.

Sebagai produk hukum yang baru disahkan, UU TPKS tentu perlu melalui tahap sosialisasi hukum yang fungsinya tidak hanya agar dapat diketahui, tetapi dipahami dan dilaksanakan oleh masyarakat dengan sepenuh hati. Permasalahan yang dihadapi saat ini, seperti masih terdapatnya kontra UU TPKS pada sebagian masyarakat sipil dan bahkan perwakilan partai politik, merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam melakukan sosialisasi yang selanjutnya dapat berpotensi pada terhambatnya implementasi UU TPKS dalam mengurangi kasus kekerasan seksual dan menangani korban pada proses hukum.

Dengan demikian, diharapkan bahwa pascaratifikasi UU TPKS oleh DPR RI, penegak hukum atau pemerintah segera melakukan sosialisasi hukum secara massif pada seluruh elemen masyarakat. Terutama, pada masyarakat yang masih kontra terhadap UU TPKS dengan menciptakan suasana dialogis demi menumbuhkan partisipasi aktif dan membimbing mereka untuk memahami UU TPKS lebih dalam yang selanjutnya diharapkan dapat mendukung jalannya implementasi peraturan tersebut di masyarakat.

Namun, sebagai masyarakat yang telah memahami urgensi UU TPKS di Indonesia saat ini, seperti kasus kekerasan seksual yang tinggi setiap tahunnya, kita perlu terus mendukung dan mensosialisasikan UU TPKS sebagai payung hukum yang dapat menjamin hak korban kekerasan seksual, baik secara material, psikologis, ataupun keadilan dalam proses hukum.

*Tulisan kolom SUARA SETARA merupakan bagian dari kolaborasi antara BandungBergerak.id dan Gender Research Student Center Universitas Pendidikan Indonesia (GREAT UPI) Bandung 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//