Tiga Kampus Membedah Kekerasan Seksual di Ranah Pendidikan
Komnas Perempua mengungkap terdapat 955 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah rumah tangga, personal, maupun ranah publik, termasuk di ranah pendidikan.
Penulis Iman Herdiana28 Januari 2022
BandungBergerak.id - Universitas menempati urutan pertama dalam hal persentasi kekerasan seksual di Indonesia. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Perempuan dan Anak (Komnas PA), dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015 sampai 2020, bentuk kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual sebesar 45 kasus. Dari jumlah kasus tersebut, 27 persen kasus kekerasan seksual terjadi di universitas atau kampus.
Umumnya, kekerasan seksual di universitas terjadi melalui relasi kuasa, kata dosen Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Niken Savitri, pada Seminar Nasional yang diinisasi Fakultas Hukum (FH) Unpar bersama FH Universitas Suryakancana Cianjur (Unsur), dan FH Universitas Tujuh Belas Agustus 1945 (Untag 1945) yang bertajuk “Tindak Pidana Kekerasan Seksual Di Perguruan Tinggi”, Rabu (26/1/2022).
“Semua kekerasan seksual pasti menggunakan relasi kuasa,” kata Niken Savitri.
Laporan Komnas PA juga mengungkap terdapat 955 kasus kekerasan seksual yang terjadi di ranah rumah tangga, personal, maupun ranah publik, termasuk di ranah pendidikan.
Niken menyampaikan, diperlukan penanganan serius terhadap kasus kekerasan seksual yang melibatkan aturan, membentuk lembaga, menangani keluhan dan laporan serta melakukan pemulihan dan rehabilitasi. Ia juga mengidentifikasi terdapat hal penting yang dapat dilakukan dalam menciptakan perasaan aman kepada segenap sivitas akademika, yaitu:
Adanya kesadaran bahwa perbuatan kekerasan/pelecehan seksual adalah sesuatu yang salah, maka hindari menyalahkan korban.
Budayakan saling jaga dan membentuk komunitas terkait perlindungan terhadap korban, perkuat solidaritas dan kebersamaan.
Tingkatkan kesadaran menghargai orang lain, baik dengan kata-kata maupun perbuatan.
Perkuat Lembaga Bantuan Hukum atau pendamping di perguruan tinggi.
Narasumber seminar lainnya, Trini Handayani dari Unsur, menyampaikan bahwa pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan dengan cara pelatihan asertif, yaitu teknik konseling behavioral yang memberikan proses bantuan dalam situasi kelompok belajar untuk menyelesaikan masalah-masalah interpersonal, emosional, dan mengambil keputusan dalam mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mempelajari tingkah laku baru yang sesuai.
Terdapat lima tahapan dalam pelatihan asertif tersebut kata Trini, yaitu: Self awareness-self esteem; Komunikasi; Pengambilan keputusan (nilai, religi, tujuan, rencana); Life rainbow (masa depan); Design thinking-yes i can (appreciative inquiry)-dream-design-destiny-discovery.
Tujuan dari latihan asertif ini, kata Trini, agar seseorang belajar bagaimana mengganti respon yang tidak sesuai dengan respons baru yang sesuai.
Baca Juga: Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat
Mencegah Kekerasan Seksual dengan Film
Data Kekerasan terhadap Perempuan di Kota Bandung 2020
Makna Kekerasan Seksual Terus Berkembang
Seiring perjalanan waktu, makna kekerasan seksual pun terus mengalami perubahan. Bambang Joyo Supeno dari Untag 1945 mengatakan, kekerasan pada masa sekarang sudah berkembang bukan saja fisik, tetapi berupa nonfisik. Hal tersebut sesuai dengan peraturan yang tertuang pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021.
“Oleh karena itu maka perkembangan makna kekerasan seksual itu adalah perbuatan yang merendahkan, menghinakan, merugikan, melecehkan, menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang karena ketimpangan relasi kuasa dan atau gender yang berakibat atau dapat berakibat pada penderitaan fisik maupun penderitaan psikis,” tutur Bambang.
Dia menyebutkan terdapat beberapa bentuk kekerasan atau kejahatan seksual yang memiliki perkembangan. Hal tersebut dapat dilihat pada Pasal 5 Permen tersebut.
“Misalnya adalah menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan fisik, memperlihatkan alat kelamin, menatap korban dengan nuansa seksual dan atau tidak nyaman, mengirimkan pesan lelucon (gambar, foto, audio, video) yang bernuansa seksual, dan sebagainya,” kata Bambang.
Peraturan tersebut kata Bambang menjadi suatu perhatian, tidak hanya memberikan rasa perlindungan dan penghormatan kepada para korban, tetapi juga harus diperhatikan bagaimana memberikan perlindungan pula secara adil kepada lembaga perguruan tinggi.
Dia juga mengatakan, penggunaan kekuasaan sebagai penentu atau pemberi nilai dijadikan sebagai kuasa untuk melakukan ancaman dan/atau pemaksaan kekerasan seksual terhadap mahasiswa. Namun kekerasan seksual tidak menutup kemungkinan terjadi kekerasan seksual antar dosen, dosen dengan tenaga kependidikan, dosen dengan warga kampus atau dosen dengan masyarakat umum dimana kegiatan Tridharma perguruan tinggi terselenggara.
Kejahatan Seksual pada Anak Perempuan
Fakta lainnya, dewasa ini kasus kekerasan seksual kian marak. Termutakhir terjadi di Bandung pada kasus perkosaan santriwati oleh HW (36), pimpinan pondok pesantren. Menurut Komnas Perempuan, kekerasan seksual bisa terjadi di mana saja, bisa di ranah pendidikan maupun di ranah domestik atau keluarga.
Dalam kurun waktu enam belas tahun, Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap anak perempuan yang mengalami peningkatan. Melonjaknya angka kasus, pertama kali terjadi di tahun 2017, yakni sebanyak 2.227 orang korban. Angka tersebut merupakan akumulasi kekerasan seksual, kekerasan ekonomi, dan psikis.
Setelah tahun 2017, jumlah kekerasan terhadap anak perempuan bertambah hingga 2.341 orang di tahun 2019, tetapi menurun drastis di tahun 2020 menjadi 125 orang. Dari 125 orang ini, tercatat 15 kasus inses atau kekerasan seksual kepada anak perempuan yang dilakukan oleh ayah kandung, ayah tiri, paman, maupun relasi keluarga lainnya.
Turunnya jumlah kasus pada 2020 yang merupakan tahun pagebluk bukan berarti berkurangnya kasus kekerasan terhadap anak perempuan. Di tahun pandemi, banyak korban kekerasan dalam ranah domestik yang tidak berani bersuara karena terus berdekatan dengan pelaku semasa pandemi berlangsung. Faktor lainnya, banyak layanan pengaduan yang belum siap dengan kondisi pandemi, sehingga korban kesulitan untuk mengakses bantuan.