Kekerasan Seksual Menimpa 12 Santriwati Anak di Bandung, Saatnya Lebih Serius Menangani Masalah Kekerasan terhadap Anak
Kasus ini disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung. Terdakwa HW, guru di pesantren yang dipimpinnya, terancam hukuman 20 tahun penjara.
Penulis Emi La Palau8 Desember 2021
BandungBergerak.id - Ketika isu kekerasan seksual tengah kencang-kencangnya berembus, Kota Bandung digegerkan dengan kasus pemerkosaan yang dilakukan guru pesantren, HW (36). Sebanyak 12 murid yang masih di bawah umur menjadi korban dengan beberapa di antaranya hamil dan melahirkan.
Kasus ini menambah panjang daftar kasus kekerasan terhadap anak di Kota Bandung, sekaligus mengingatkan semua pemangku kepentingan untuk lebih serius menanganinya. Tercatat di sepanjang tahun 2020 ada 431 kasus kekerasan terhadap anak yang ditangani oleh Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak (DP3A) Kota Bandung. Terjadi penambahan 181 kasus dari jumlah total kasus di tahun sebelumnya yang tercatat sebanyak 250 kasus. Ke-431 kasus kekerasan terhadap anak di sepanjang 2020 itu di antaranya terdiri dari 155 kasus kekerasan psikis, 69 kasus pelecehan sosial, dan 55 kasus kekerasan fisik.
HW merupakan pimpinan sekaligus guru di Yayasan Pondok Pesantren Tahfidz Madani yang beralamat di Kecamatan Ciburu, Bandung. Kini kasusnya disidangkan di Pengadilan Negeri Bandung, dengan nomor perkara REG. PERK: PDM-833/Bdg/09/2021.
Berdasarkan salinan surat dakwaan jaksa penuntut umum yang diterima BadungBergerak.id, Rabu (8/12/2012), pelaku mulai ditahan oleh penyidik sejak 1 Juni 2021, lalu oleh Jaksa Penuntut Umum sejak 28 September. Kasusnya dilimpahkan ke Pengadilan Negeri Bandung pada 18 Oktober 2021.
Plt Asisten Pidana Umum Kejasaan Tinggi Jabar, Riyono mengungkapkan perkara ini awalnya ditangani oleh Polda Jabar. Berkas perkara dinyatakan lengkap (P21), sebelum akhirnya pada bulan September dan November dilimpahkan ke PN Bandung.
Perbuatan bejat pelaku diketahui berlangsung sudah cukup lama, sejak 2016 dan masih berlangsung hinggal awal tahun 2021. Saat kejadian, sebanyak 12 korban masih usia anak-anak. Mereka merupakan para murid di pondok pesantren yang dipimpin HW.
“Korbannya notabenenya adalah murid-muridnya. Waktu kejadian semua masih anak, walaupun sekarang sebagian ada yang sudah menginjak usia dewasa,” terang Riyono, di Bandung, Rabu (8/12/2021).
HW didakwa dengan Pasal 81 UU Perlindungan Anak dengan ancaman 15 tahun penjara dengan pemberatan. Sementara itu, hukuman kebiri masih dalam kajian tim penuntutan. Hal ini tergantung pada hasil persidangan dan masuk dalam hukuman pemberatan.
“Perlu digarisbawahi di sini, ada pemberatan karena dia sebagai tenaga pendidik, sehingga ancaman hukumannya menjadi 20 tahun,” ungkap Riyono.
Para korban predator anak di Bandung ini dalam kondisi mengandung atau telah melahirkan. Bahkan ada korban yang melahirkan sampai dua kali. Kelahiran selama proses prapenuntutan ada 8 bayi, kemudian ketika persidangan bertambah satu bayi. Tiga orang korban saat ini sedang mengandung.
Laporan Orang Tua
Kasus ini pertama kali mencuat ke publik melalui media sosial dalam unggahan politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Nong Andah Darol, Selasa (7/12/2021), usai sidang HW.
Ketika dikonfirmasi, Ketua PSI Kota Bandung, sekaligus anggota DPRD Kota Bandung, Yoel Yosaphat menjelaskan awalnya pihaknya menerima laporan dari warga yang merupakan salah satu santriwati pesantren, pada September 2021. Pada Oktober, tim kemudian mulai menggali informasi.
Diketahui beberapa korban tersebar di berbagai daerah, di antaranya dari Garut, Tasikmalaya, dan Kota Bandung. Yoel menuturkan, ketika pihaknya mendatangi salah satu korban di Garut, ditemukan 4 hingga 5 korban sekaligus. Tim kemudian mengobrol dengan korban didampingi orang tua.
Yang menjadi ironi, kata Yoel, salah seorang korban yang masih berusia 12 tahun sedang mengandung, sementara sang ibu korban yang berprofesi sebagai buruh pabrik juga sedang mengandung.
“Yang bikin saya sedih pertama anak-anak korban itu kondisinya bukan orang yang mampu. Terus ada orang tua yang kerjanya sebagai buruh, mamanya jadi pegawai pabrik sedang hamil, anaknya umur 12 tahun hamil juga,” ungkapnya kepada BandungBergerak.id, melalui sambungan telepon.
Rata-rata usia korban berada pada rentang 12 tahun, 15 tahun, dan 16 tahun, beberapa di antaranya ada yang baru akan masuk sekolah menengah atas. “Terus ada juga yang sudah ngelahirin dua kali,” tambah Yoel.
Dikelurkan dari Sekolah
Sudah jatuh tertimpa tangga. Anak-anak korban kekerasan seksual HW tidak hanya mengalami trauma psikis, tetapi mereka juga mendapat perlakuan diskriminasi dari sekolah. Kata Yoel, pihaknya menemukan ada korban yang dikeluarkan dari sekolah.
“Nah, mereka hamil akhirnya melahirkan, terus mereka mau masuk sekolah. Sudah sekolah sudah 2 minggu ketahuan punya anak dikeluarin dengan alasan mungkin nama baik sekolah. Wah, ini udah punya anak ini hamil dan segala macam,” tutur Yoel.
Menurut Yoel, keluarga korban berharap pelaku dapat dihukum seberat-beratnya, jika perlu hukuman seumur hidup.
“Dan mereka bilang sama saya ini hukumannya minimal seumur hidup pak, kalau misalnya ini hukumnya cuma sebentar, kalau saya ketemu biar saya yang bunuh. Itu bapak korban yang bilang. Sampai seperti itu,” ungkap Yoel.
Yoel juga bercerita modus yang dilakukan pelaku dalam mencari mangsanya. Pelaku datang ke daerah di pedalaman lalu menawarkan untuk bersekolah kepada anak-anak, dengan jaminan sekolah gratis. Lantas, warga berbondong-bondong mendaftarkan anaknya untuk bersekolah.
“Jadi ceritanya ada yang datang tawarin mau gak sekolah gratis. Kan biasanya bayar tapi ini gratis, ya udah mau ajakin orang-orang sekitar datang tuh ke Bandung semua. Nah di sana, terjadilah pelecehan,” ungkapnya.
Yoel menyimpulkan bahwa Bandung belum aman dari predator anak. Menurutnya, kejahatan seksual pada anak harus mendapat hukuman berat, tidak cukup hanya 15 tahun penjara. Ia mengaku akan mendorong bahwa pelaku menerima hukuman tambahan berupa kebiri kimia, sehingga menimbulkan efek jera dan tak mengulangi kesalahannya.
Baca Juga: Pagebluk Covid-19, Semakin Banyak Anak dan Perempuan Bandung Alami Kekerasan
HopeHelps Unpar Menyediakan Tempat Aman bagi Korban Kekerasan Seksual
BandungBergerak.id mendatangi dua lokasi pesantren yang menjadi tempat pelaku melakukan aksi bejatnya. Salah satunya rumah belajar kitab suci yang disebut-sebut dalam dakwaan jaksa. Rumah tersebut beralamat di kawasan Antapani.
Rumah berwarna coklat dua lantai tersebut memiliki pagar hitam setinggi satu setengah meter. Di bagian depan terdapat beberapa papan nama. Rumah itu tampak sepi. Menurut penuturan salah satu warga, Elis (39), sudah hampir setahun rumah itu kosong.
Ia menuturkan, ketika masih beroperasi, di sana terdapat aktivitas sejumlah santriwati. Aktivitas mereka terdiri dari doa bersama. Sedangkan ibadah dilakukan di masjid sekitar komplek.
“Gak lihat lagi udah kosong, cukup lama, pas pandemi. Biasanya pagi pada berdoa bersama, sebelum salat duha, suka minta airnya dari sini kalau mereka gak ada air,” ungkapnya.
Salah seorang perangkat desa di sana menyebutkan pihaknnya tidak mengetahui duduk persoalan yang membelit lembaga pendidikan tersebut. Namun ia membenarkan bahwa di rumah tersebut terdapat aktivitas santriwati yang menghafal kitab suci. Kisaran usianya sepantaran siswa sekolah dasar.
Menurutnya, tidak ada aktivitas ganjil di rumah tersebut. Namun diakuinya bahwa pemilik rumah jarang bersosialisasi dengan warga sekitar. Setelah pandemi, para siswa sudah tidak lagi terdengar. Diperkirakan mereka dipindahkan ke pesantren di Cibiru.
Sementara, Ajid (28) salah penjual minuman dingin tak jauh dari lokasi rumah, mengaku memang sudah tidak lagi melihat ada aktivitas santriwati di sana. Ia pernah melihat rumah tersebut sempat menjadi tempat rapat dan pembongkaran barang.
Kondisi serupa juga terjadi di sebuah yayasan pendidikan di Cibiru, yang juga disebut di dalam dakwaan. Gedung berlantai dua berwarna biru muda itu sudah tertutup pagar. Tanaman di halamannya tampak tak terurus. Gedung itu diperkirakan memiliki 10 ruangan, satu halaman dengan gazebo dan satu tiang basket.
Salah seorang warga yang berjualan di sekitar sekolah mengakui tak ada yang ganjil dengan sekolah tersebut ketika masih beroperasi. Menurutnya, para santriwati sering berbelanja jajanan seblak atau minuman di tempatnya.
Usia para santriwati di sana diperkirakan sepantaran dengan siswi sekolah menengah pertama. Sementara keberadaan bangunan sekolah terbilang baru, berdiri sekitar tahun 2018. Ketika pengecoran lantai kedua gedung, anak-anak santriwati dilibatkan untuk mengecor dan juga mengaduk semen.
“Ya, seperti pekerjaan kuli. Kami tadinya mengira bahwa para siswa itu anak yatim, eh ternyata ada orang tua mereka,” kata warga yang enggan disebut namanya.
Mengetahui sekolah tersebut digerebek, orang tua para santri menjemput anak-anak mereka. Sebagian dari mereka terlihat sangat marah.