Wolff Schoemaker Perias Wajah Kota Bandung
Ketika sampai di jembatan Cikapundung, Herman Willem Daendels menancapkan tongkat seraya berkata: usahakan, bila aku datang lagi ke sini, sebuah kota sudah dibangun.
Rifkia Ali
Alumnus Sastra Sunda Universitas Padjadjaran dan Co Founder Bandoeng Waktoe Itoe.
14 April 2022
BandungBergerak.id - Bandung, siapa yang tak kenal sebuah kota besar yang tersohor dengan aneka ragam kuliner dan tempat wisatanya. Namun jauh sebelumnya Bandung hanyalah sebuah kabupaten kecil hanya dihuni oleh sekitar dua ribu jiwa yang terletak di Karapyak (sekarang Dayeuhkolot). Bandung sebagai sebuah wilayah kabupaten sudah ada sejak tahun 1641. Bersamaan dengan Bandung berdiri pula Kabupaten Parakanmuncang dan Sukapura.
Saat peresmian jembatan Cikapundung kala itu Gebernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels berjalan bersama Bupati Bandung Wiranatakusumah II. Ketika sampai di depan (Kantor Bina Marga sekarang), Daendels menancapkan tongkat yang ia bawa seraya berkata: “Zorg, dat als ik terug kom hier een stad is gebouwd!” (Usahakan, bila aku datang lagi ke sini, sebuah kota sudah dibangun).
Setelah kejadian itu, dan mendapat “wangsit” setelah beristirahat di sekitaran Sumur PLN sekarang, berangsur-angsur Ibu Kota Kabupaten Bandung berpindah dari Dayeuhkolot ke Jalan Raya Pos. Wiranatakusumah II Memilih lokasi yang sekarang menjadi Alun-Alun Kota Bandung untuk dijadikan pusat pemerintahan kala itu.
Wolff Schoemaker Sang Perias Bandung
Waktu terus berjalan bersamaan dengan masa kolonial Belanda yang menjadikan Bandung sebagai kota yang dikenal estetik. Tentu itu semua adalah hasil perjalanan panjang yang tak lepas dari sosok Charles Prosper Wolff Schoemaker yang “merias” wajah Kota Bandung dengan mahakaryanya yang masih berdiri kokoh sampai saat ini.
Siapa Wolff Shoemaker? Mungkin belum banyak yang mengenal pria kelahiran Banyubiru tahun 1882 ini. Lahir dan besar di Hindia Belanda, ia mengawali karier di dunia militer sebagai insinyur. Kemudian bergabung dengan Algemeen Ingenieur Architectenbureau dan bertugas di Bandung.
Wolff Shoemaker merupakan arsitek terkenal pada zaman itu. Karyanya memadukan gaya arsitektur barat dan timur. Hal ini terlihat dari beberapa karyanya yang beratap miring dan tinggi seperti rumah-rumah tradisional di Indonesia. Ciri khas dari karyanya ada pada ornamen Batara Kala. Wolff Shoemaker berusaha membuat bangunan yang ia buat menjadi “sakral” dan memiliki “jiwa” bukan hanya sekedar bangunan dengan ornamen hiasan semata.
Tak heran mengapa karya Shoemaker turut menjadi saksi bisu sejarah di Indonesia. Sebut saja Sociëteit Concordia dibangun tahun 1921 (sekarang Gedung Merdeka). Tempat berlangsungnya konferensi dengan anggota orang-orang kulit berwarna pertama di dunia yang diinisiasi oleh Indonesia (KAA). Tak jauh dari Gedung Merdeka terlihat Bioskop Majestic yang dibangun tahun 1922 (sekarang De Majestic). Selain itu, Gedung NV Becker & Co (Gedung Gas Negara Sekarang) yang terletak di Jalan Braga. Adapula Volla Isola yang terletak di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) yang menjadi ikon bagi kampus itu sendiri. Dan masih banyak lagi bangunan yang diciptakan Wolff Schoemaker.
Selain menjadi Arsitek, Schoemaker merupakan seorang pengajar di Technische Hogeschool Bandoeng (disingkat TH, sekarang menjadi ITB). Ia menjadi dosen bagi Sukarno muda yang kuliah di ITB. Wolff Schoemaker dan Sukarno pernah terlibat kerjasama dalam perancangan desain Hotel Preanger Bandung. Shoemaker diangkat menjadi rektor ITB dengan masa jabatan satu tahun (16 Juni 1934 – 2 Agustus 1935).
Baca Juga: Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu
Mahasiswa Bandung Bergerak, Terus Mengawal Tuntutan pada Presiden Joko Widodo
Cucu Raja Koran Berkunjung ke Villa Isola UPI
Adakah Pengaruh Belanda terhadap Bangunan Wolff Schoemaker?
Sebuah pertanyaan yang menarik, mengingat rancangan dari Schoemaker hadir di tengah masa kolonial Belanda di negeri Hindia. Mari ambil contoh dari gedung Sociëteit Concordia yang merupakan tempat berkumpulnya kalangan elite Eropa untuk sekadar bersenang-senang dengan bermain billiard hingga berdansa. Lantai dari Sociëteit Concordia dirancang diagonal menyesuaikan dengan pola dansa.
Tentu itu merupakan sebuah proyek yang tak mungkin diberikan begitu saja kepada kalangan pribumi. Belanda dikenal sangat rasis terhadap pribumi. Sama seperti De Majestic yang di depan gerbangnya tertulis “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk!”. Dalam tulisan itu dilihat dari penempatan kalimatnya menunjukan bahwa pribumi lebih rendah daripada anjing.
Schoemaker juga banyak mendapat proyek dari pemerintahan kolonial Belanda. Entah ada kedekatan dengan para pejabat Hindia Belanda masa itu atau karena gaya art deco dengan sentuhan khas ketimuran dengan Batara Kala-nya telah membuat orang Eropa di Hindia Belanda terpesona. Mengingat saat itu orang Eropa sedang tergila-gila dengan budaya nusantara.
Pada masa penjajahan, Belanda sudah terkenal unggul dalam bidang arsitektur dan tata kota. Contohnya adanya Viaduct adalah dua buah jembatan yang dipisahkan oleh dua buah sungai yang dibuat agar adanya kereta api double track. Dengan adanya Viaduct lalu lintas kereta api menjadi lebih lancar serta efisien.
Bandung Dipersiapkan Menjadi Kota Modern?
Jangan bayangkan Bandung waktu itu kota yang ramai seperti sekarang. Dahulu Bandung hanya sebuah “desa” kecil yang jalannya pun masih tanah! Berkat tancapan tongkat “ajaib” Daendels-lah menjadikan cikal bakal Bandung yang kita pijak sekarang.
Ketika dibangun Alun-alun pun Wiranatakusumah II harus membabat habis hutan belantara dibantu oleh warga sekitar. Bahkan saking sepinya Bandung saat itu suara bedug dari Masjid Agung terdengar sampai area Pasar Baru. Tak Cuma itu, Braga yang dahulu bernama Pedatiweg disebut oleh para ibu-ibu “Jalan Culik” untuk menakut-nakuti anaknya yang hendak bermain ke luar rumah.
Sejak adanya rencana perpindahan Ibu Kota Hindia Belanda ke Bandung, mulailah pembangunan Kota Bandung dikebut dengan membangun gedung-gedung penting seperti markas militer dan lain sebagainya. Selain itu juga dibangun bank untuk menyimpan harta kekayaan orang Eropa di Bandung. Mengingat pada tahun 1925 – 1930-an para orang Eropa di Hindia Belanda sedang bergelimang harta.
Bandung oleh Belanda dipersiapkan untuk menjadi kota para orang elite yang pasti lebih modern dibanding kota lain masa itu karena untuk memenuhi kebutuhan orang Eropa itu sendiri. Tak heran mengapa “wajah” Bandung menjadi indah dan bernuansa vintage dengan peninggalan gedung era kolonial yang tersisa.
Semua tak lepas dari jasa Wolff Shoemaker melalui karyanya yang sekarang sudah menjadi cagar budaya Kota Bandung. Ia tutup Usia pada 22 Mei 1949 diusia 66 tahun. Dikebumikan di Ereveld Pandu Bandung. Ia layak disebut sebagai “perias” wajah Kota Bandung. Karena berkat tangannyalah lahir karya yang sangat legendaris dan ikonik bagi Kota Bandung yang modern seperti sekarang. Namun karyanya masih berdiri kokoh di antara gegap gempita kesibukan hidup metropolitan hingga sekarang.