• Opini
  • Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu

Tentang Rumah Deret yang Vertikal Itu

Rumah deret Tamansari, yang ternyata dibangun vertikal, menuai protes dan gugatan di sepanjang proses pembangunannya. Inilah wajah brutal kota kita.

Frans Ari Prasetyo

Peneliti independen, pemerhati tata kota

Rumah deret menjulang tinggi di lahan bekas kampung RW 11 Tamansari, Kota Bandung, Januari 2022. Di sepanjang pembangunannya, proyek ini tidak pernah sepi dari protes dan gugatan. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

13 April 2022


BandungBergerak.id - Ramadan tahun 2017 menjadi momen yang tidak akan pernah terlupakan oleh warga RW 11 Tamansari, Kota Bandung. Bagaimana tidak, warga kampung kota mendapat undangan buka puasa bersama dari walikotanya, tapi acara ini di kemudian hari malah jadi awal petaka. Kedatangan warga ke ke pendopo dianggap sebagai persetujuan warga untuk proyek pembangunan rumah deret yang implikasi selanjutnya adalah penggusuran.

Pembangunan terus berjalan hingga menjelang empat tahun ini dengan PT. Sartonia Agung sebagai pemenang tendernya, padahal perusahaan ini sedang dalam lelang aset karena bangkrut serta masuk daftar hitam di LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah). Mengapa kontraktor hitam dan terancam bangkrut bisa mendapatkan proyek ini?

Rumah deret adalah proyek ambisius pemerintah kota Bandung untuk menyediakan rumah bagi warga kota. Wali kota Bandung waktu itu Ridwan Kamil, dengan mengajak arsitek Yu Sing, menginisiasinya. Keduanya merupakan arsitek bereputasi global, sehingga pantaslah publik berharap bakal disajikan sebuah kecakapan arsitektural desain rumah deret yang mumpuni secara konsep, fungsi, dan estetika.

Namun yang kemudian terjadi di lapangan jauh panggang dari api, Meskipun menyandang nama “rumah deret”, bangunan ini malah didesain menjulang ke atas, sejajar dengan mal yang berada di sampingnya. Proyek ini mengingatkan kita pada gaya arsitektur brutalis (brutalist architecture).

Arsitektur brutalis merupakan gaya arsitektur yang muncul pada 1950-an di Inggris, di antara proyek-proyek rekonstruksi era pascaperang. Bangunan brutalis dicirikan oleh konstruksi minimalis yang menampilkan bahan bangunan telanjang dan elemen struktural desain dekoratif. Rumah deret Tamansari ini bergaya arsitektur brutalis sebagai proyek rekonstruksi pascaperang dengan warga Tamansari melalui taktik perampasan tanah, penggusuran brutal, dan skema pembangunan brutal.

Jika ingin meniru rumah deret, contohlah permukiman yang terletak Alexandra Road di Camden, London Utara. Bangunan rumah huian berderet panjang horisontal itu dirancang tahun 1968 oleh arsitek Neave Brown, lalu dibangun tahun 1978 dengan gaya ziggurat untuk menggantikan skema perumahan bertingkat seperti menara. Permukiman di Camden ini terdiri dari tiga baris paralel sebagai tempat tinggal dengan dua di antaranya sejajar di sepanjang rel kereta api dan satu lagi berada di sebelah koridor jalan. Ini baru namanya rumah deret, bukan yang menjulang ke atas !

Bandingkan dengan desain Rumah Deret Tamansari Bandung yang digagas Wali Kota Ridwan Kamil itu. Ketika kota London di tahun 1960-an sudah berupaya menghindari bangunan menara, Bandung malah menciptakan hunian brutal berwujud menara dengan cara penggusuran brutal kampung yang telah ada sejak tahun 1960-an.

Kini kampung kota itu kadung rata dengan tanah dan bangunan brutal itu telah berdiri.

Baca Juga: ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari
Eva Eryani di Tamansari: Masih Satu, Masih Melawan
Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari

Intimidatif dan Brutal di Sepanjang Jalan

Jika menelusuri kebelakang, kita akan tahu proses pembangunan rumah deret yang vertical itu disertai dengan intimidasi yang berlangsung intensif sejak 2017 hingga penggusuran brutal pada 12 Desesember 2019 lalu, atau berselang dua hari saja dari peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia.  Itulah yang terjadi di Bandung, kota yang menklaim dirinya sebagai kota ramah HAM.

Ingat juga bahwa peraturan daerah (perda) terkait rumah deret dan penataan kawasan kumuh baru terbit pada 31 Desember 2019. Juga izin lingkungan yang baru terbit pada 19 Desember 2019. Semua serbajanggal, mendadak, dan seperti dipas-paskan.

Dalam rentang waktu itu, warga mengajukan gugatan hukum ke PTUN terhadap SK DPKP3/2017 dan Amdal proyek rumah deret, namun kalah karena hakim hanya melihatnya sebagai persoalan ganti rugi semata. Bukan persoalan lahan dan urusan cacat administrasi pembangunan. Warga lalu mengajukan banding dan kalah lagi dengan putusan yang serupa.

Sampai saat ini warga tetap melanjutkan gugatannya di tingkat kasasi, tapi di sisi lain pembangunan tetap berjalan meskipun Pemkot Bandung tidak pernah bisa menujukkan bahwa lahan tersebut merupakan aset kota dengan sertifikat yang dikeluarkan oleh BPN. Pemkot Bandung juga tidak pernah menghormati Komnas HAM, Ombusman, dan DPRD Kota Bandung yang telah memberikan rekomendasi untuk menunda proyek bermasalah ini.

Sampai saat ini, BPN kota atau provinsi tidak memiliki catatan resmi tentang lahan di Tamansari. Klaim Pemkot didasarkan pada skema pembelian tahun 1924-1941 di era kolonial ketika Indonesia belum merdeka, dan mereka sendiri baru melakukan sertifikasi lahan pada tahun 2017.

Padahal, setelah Indonesia merdeka, lahirlah Undang-undang Pokok Agraria pada 1960 yang membuat skema pembelian itu tidak berlaku lagi dan tanah tersebut menjadi tanah negara. Warga kemudian menempatinya sehingga memiliki data persil tahun 1963. Warga sempat akan mengurus sertifikasi lewat Pendaftaran Tanah Sistem Lengkap (PTSL) BPN, namun selalu dihambat. Padahal, warga terus membayar PBB hingga penggusuran itu terjadi.

Berdasarkan UU Pokok Agraria, lahan Tamansari seharusnya diberikan prioritas sertifikasinya kepada warga karena telah mengelola dan mendiaminya lebih dari 20 tahun. Selain membayar PBB, warga juga mendapatkan hak pilih politik berdasarkan domisili di kampung Tamansari tersebut. Artinya, mereka bukan warga ilegal seperti stigma yang dilekatkan oleh Pemkot dan warga kelas menengah kota kreatif ini, selain stigma kumuh tanpa parameter yang jelas.

Pembangunan rumah deret pada awalnya tanpa Amdal dan tidak ada dalam kebijakan tata ruang Kota Bandung (RTRW 2011-2031 dan RPJMD 2013-2018), walau tidak secara langsung ada dalam RDTR 2015-2035 yang menunjukkan langsung lokasi Tamansari yang diperuntukkan zona perubahan permukiman, tapi hanya sebagai bagian dari zona sempadan sungai.

Satu-satunya rencana kota yang menunjukkan perubahan Tamansari terkait permukiman tercantum dalam RIPP Kota 201. Di sana terdapat beberapa titik kampung, namun mengapa Tamansari yang dijadikan target? Jawabannya mudah saja. Lokasi ini strategis di pusat kota, persis di belakang mal dan bernilai kapital paling tinggi.

Akibat penggusuran brutal, warga mengungsi ke masjid yang anehnya tidak digusur meskipun berada dalam satu hamparan lahan. Tentu saja masjid tidak digusur. Apa kata dunia politik jika wali kota Ridwan Kamil menggusur masjid? Tentu itu tidak akan baik bagi karier politiknya, terutama menjelang pencalonan diri menjadi gubernur Jawa Barat 2018.

Hingga saat ini beberapa warga Tamansari yang tergusur meninggal dan rumah deret yang dijanjikan Ridwan Kamil belum selesai. Bahkan ada seorang sesepuh warga Tamansari yang wafat di masjid Al Islam di masa pengungsian akibat penggusuran.

Pembangunan rumah deret Tamansari masih terus berlangsung dan menunggu tuntas untuk bisa dihuni warga, per Januari 2022. Protes dan gugatan warga terhadap proyek ini pun terus berlangsung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Pembangunan rumah deret Tamansari masih terus berlangsung dan menunggu tuntas untuk bisa dihuni warga, per Januari 2022. Protes dan gugatan warga terhadap proyek ini pun terus berlangsung. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Wajah Brutal Kota

Perubahan kota seperti apa yang terjadi jika ia menjadi monumen tak bernyawa bagi diri mereka sendiri? Kota yang hidup harus mencapai semacam keseimbangan antara menghindari pencekikan, perampasan, depopulasi, dan gentrifikasi yang terjadi dengan membiarkan pengembang, termasuk pemerintah sendiri, untuk melakukan apa yang mereka suka.

Arsitektur modern garis keras sekarang menjadi semacam kultus dengan menstigma warga yang dianggap tidak modern dengan norma kumuh dan ilegal sehingga harus disingkirkan dari pusat kota. Rumah deret tamansari ini contoh konkretnya.

Jadi sesekali, mainlah ke playgroup atau ke kelas anak-anak TK atau SD, lalu minta mereka menggambar rumah yang berderet? Niscaya kita akan mendapatkan gambar rumah sederhana dengan atap segitiga sama sisi serta badan rumah berbentuk bujur sangkar dengan satu pintu dan satu jendela di dalamnya yang dibuat berderet ke samping. Atau kalaupun ditumpuk, itu maksudnya ke belakang. Agak mustahil kita mendapatkan gambar rumah yang menjulang tinggi seperti hotel, apartemen, atau mal.

Proyek rumah deret ini sudah brutal sejak awal, dengan pembangunan brutal yang menabrak banyak regulasi dan tidak tertib administrasi. Yang menyusul kemudian adalah penggusuran brutal yang melanggar HAM dan tidak menghormati proses persidangan serta masukan dari pihak-pihak terkait.

Rumah deret adalah wajah brutal Bandung yang mendaku kota pintar dan kota kreatif.  

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//