ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #2: Di bawah Lindungan Masjid Al Islam Tamansari
Kehilangan rumah, Putri Dirga Agustina (4) dan kakaknya, Satria (15), sampai saat ini tinggal bersama nenek mereka di lantai dua Masjid Al Islam RW 11 Tamansari.
Penulis Emi La Palau11 Februari 2022
BandungBergerak.id - Sekitar 5,7 kilometer jaraknya dari Anyer Dalam, di tengah kota yang gemerlap, Putri Dirga Agustina (4) mengangkat kedua tangan, sembari membaca dengan lantang doa makan. Kepadanya disodorkan semangkuk mie instan dan sepiring nasi. Tanpa mengeluh, Irga, sapaan akrabnya, dengan lahap menyantap makan malam yang disiapkan oleh Ade Sumaryati (55), neneknya itu.
Sudah dua tahun lebih, tepatnya sejak 12 Desember 2019, dinginnya lantai dua Masjid Al Islam Tamansari menjadi satu-satunya tempat berlindung Ade Sumaryati (55) dan kedua cucunya, Irga dan Satria Rizky Ramadhan (15). Di hari nahas itu, penggusuran besar meluluhlantakkan semua bangunan rumah warga yang tersisa di RW 11 Tamansari demi memuluskan proyek pembangunan rumah deret oleh Pemerintah Kota Bandung.
Irga tumbuh dan besar di Masji Al Islam Tamansari. Ketika penggusuran terjadi, umurnya baru dua tahun. Ia tampak sebagai anak yang cukup aktif dan cepat tanggap. Ketika ditanya cita-cita, dengan cepat ia menjawab.
“(Saya) Ingin jadi dokter, soalnya pinter. Nanti kalau orang mau sakit, nanti disuntik, biar sembuh,” ungkapnya kepada BandungBergerak, ditemui di masjid, Rabu (27/1/2022) malam.
Ade dan kedua cucunya saat ini sendiran bertahan di masjid. Dia, bersama Yeni Ruliati (58), tidak memperoleh bantuan dana dari pemerintah untuk mengontrak rumah selama pembangunan rumah deret belum tuntas. Alasanya, rumah mereka yang digusur itu dibangun di atas tanah yang telah mendapat kompensasi dari pembangunan Jalan Layang Pasupati.
Menurut Ade, jika dicek lebih teliti, tidak sedikit warga lain yang sebenarnya juga telah mendapat kompensasi dalam proyek jalan layang itu, namun tetap memperoleh bantuan uang sewa rumah. Pemerintah Kota Bandung dirasainya tebang pilih.
“Kata Bu Yeni, (kami tidak mendapat uang bantuan kontrakan) mungkin karena tadinya kita melawan (menolak rumah deret),” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.
Bertahan Hidup secara Mandiri
Membesarkan dua orang cucu dalam kondisi tak biasa, di tempat pengungsian, tentu bukan hal mudah bagi Ade. Beruntung, ketika Irga masih membutuhkan popok dan susu, masih ada bantuan dari aliansi masyarakat sipil yang bersolidaritas. Namun kini sudah setahun lebih tak ada lagi bantuan. Ade harus benar-benar putar otak agar memiliki sedikit penghasilan untuk membeli kebutuhan makan kedua cucunya secara mandiri.
“Kalau dulu kan waktu ada rumah, saya jualan, buat biayain anak sekolah. Jualan rokok di Taman Film. Waktu itu kan mamahnya Irga sekolah, jadi saya jualan kopi dan rokok. Kemarin-kemarin juga sempat jualan. Kalau sekarang pengin jualan juga nggak ada tempat, nggak ada modal,” ungkap Ade.
Sesekali Ade mendapat panggilan untuk membantu mencuci dan membersihkan kos-kosan milik temannya. Dengan penghasilan itu, dia bertahan hidup. Meski tak menentu, Ade selalu yakin, tiap kali dia sangat kesulitan, pasti selalu ada saja jalan untuk menutupi kebutuhannya dan kebutuhan kedua cucunya.
“Alhamdulillah rezekinya selalu ada kalau kita yakin. Emang benar kerasa. Memang sih kalau dipikir aduh gimana ini nanti. Kaya Irga jajannya, terus Satria juga kan kita harus mikir makannya, harus bekal sekolahnya. Tapi Alhamdulillah ada aja. Nggak usah takut. Tuhan juga tahu ya, asal kitanya yakin,” kata Ade.
Ade menceritakan, ketika mulai tak ada donasi, Irga sudah mulai lepas popol dan tidak menyusu lagi. Ini sedikit memberikan keringanan baginya. Saat ini Ade hanya bisa menyiapkan teh manis atau susu coklat sasetan. Itu pun ketika sedang ada gula dan bahan-bahan the. Meski di awal sempat sering menangis,
Saat ini Irga sudah memiliki kegiatan rutin, yakni ikut mengaji di masjid lain, karena kini tak ada lagi yang membantu mengajarkan mengaji di masjid tempatnya berlindung. Biaya pendaftarannya 50 ribu rupiah, sementara iuran bulanannya 25 ribu rupiah. Semua Ade lakukan semampunya demi pendidikan sang cucu.
Ade sudah 16 tahun menjadi orangtua tunggal akibat sang suami meninggal dunia. Dia memiliki dua orang anak. Yang sulung, Rene Agustin, merupakan ibu dari Satria. Dia dan dan adik Satria sekarang ikut sang suami ke Palembang. Ade tak bisa berharap banyak sokongan dari mereka karena dia tahu kondisi mereka juga sulit.
Anak kedua Ade, Yuliana Anggaraini, merupakan ibu dari Irga. Bersama adik Irga yang baru berusia satu tahun, Yuliana mengikuti suaminya tinggal di daerah Sadang Serang, tempatnya bekerja. Irga dan Satria memang sejak awal ikut tinggal dengan Ade.
Cita-cita Satria
Satria bersekolah di kelas 3 SMP Pertiwi. Ia biasa berangkat ke sekolah pukul 12 siang dengan berjalan kaki selama sekitar 10 menit. Pada pukul setengah 4 sore, Satria tiba lagi di Masjid Al Islam Tamansari.
“Tadi di sekolah pelajaran IPA Biologi, tentang fermentasi, kayak buat tape, buat tahu. Kalau prakarya, karena gurunya nggak ada, jadi cuman dibiarin. Dua pelajaran (kalau guru nggak masuk) paling diem aja, ngerjain tugas. Yang dikerjain kayak IPS, disuruh ngerangkum. Lalu IPA Fisika. Kebanyakan sih main,” ungkapnya.
Satria lalu menceritakan apa yang terjadi di hari penggusuran kampungnya. Pagi itu ia siap-siap berangkat ke sekolah. Namun, aparat dan alat berat sudah mengepung rumah yang ia tinggali bersama sang nenek. Ketika petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) hendak menggusur rumahnya, ia sempat menghadang. Namun, justru tangannya ditarik dan dipukul. Tangan kirinya keseleo dan butuh hampir seminggu pemulihannya.
“Yang aku ingat, kayak pusing campur aduk. Kayak mikirin mama, keluarga, sama diri sendiri. Sama sekolah, (karena) kan posisinya mau berangkat sekolah. Akhirnya nggak jadi pergi sekolah. Sampai berapa hari nggak sekolah,” tuturnya.
Satria sempat bersekolah tanpa menggunakan seragam. Barang-barang pribadinya tak sempat diselamatkan karena telanjur sudah dibawa pergi oleh aparat. Buku-buku hilang, seragam hilang. Karena kondisi sekolah mengetahui Satria menjadi korban penggusuran, akhirnya ia diberi kebebasan untuk ke sekolah tanpa mengenakan seragam.
“Sedih, kayak tempat tinggal dari kecil, dihancurin. Tempat main dari kecil, yang biasa pulang, lihat kondisi sudah hancur. Kondisinya kacau banget,” ucapnya.
Ketika pandemi Covid-19 datang, persoalan baru muncul. Belajar jarak jauh membutuhkan kuota internet. Di bulan-bulan awal, masih ada internet gratis bagi warga Tamansari korban penggusuran yang disumbangkan oleh jejaring solidaritas. Namun saat tinggal ia dan neneknya sendiri yang bertahan di masjid, bersekolah secara daring menjadi kian sulit bagi Satria. Kartu internet gratis subsidi dari pemerintah pusat tak bisa digunakan.
Alhasil, Ade terkadang harus berutang untuk sekadar memenuhi kebutuhan internet bagi sekolah Satria. Nanti sesekali ketika ibunya Irga sudah gajian, barulah utang dibayarkan. Saat ini uang sekolah Satria juga masih ada tunggakan, sekitar satu juta rupiah.
Dalam segala keterbatasan hidup di pengungsian, Satria masih membubung harapan. Ia bercita-cita menjadi pemain futsal profesional atau pembalap. Ia cukup mahir dan gemar bermain futsal.
“Ya kadang sedih, kadang senang. Kayak suka lihat teman pulang ke rumah, aku pulang ke masjid. Sedih (kalau) ingat lagi,” ungkap Satria.
Baca Juga: ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #1: Bermain (Lagi) di atas Puing Anyer Dalam
Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari
Pameran Foto Kisah Senyap, dari Penggusuran Tamansari hingga Kerusakan Sungai di Papua
Trauma Kayla
Di sebuah warung kecil di bawah kolong jembatan layang Pasupati, beberapa meter dari Masjid Al Islam Tamansari, tinggal Yeni Ruliati (58) bersama suami dan satu orang cucunya, Kayla Nadisa Ariska (5). Di bulan-bulan pertama pascapenggusuran, keluarga Yeni sempat berdiam diri di masjid. Namun karena harus memiliki warung, dia terpaksa pindah dan secara perlahan mulai kembali berjualan untuk mengganjal kebutuhan hidup sehari-hari. Yeni menjual beragam kopi sasetan, susu, dan barang kebutuhan sehari-hari lain.
Yeni bercerita, Kayla masih merasakan trauma akibat penggusuran. Ketika ada orang berkerumun, cucunya itu suka berteriak, lalu bersembunyi.
“Kayla itu sekarang juga masih trauma. Dulu itu pas penggusuran, traumanya lama. Kalau lihat orang-orang berkerumun, dia teriak, ngumpet. Kadang banyak anak-anak aliansi dulu, dilempar Kayla ‘Hei polisi jahat, sana pergi, jangan nyamperin aku’,” ungkap Yeni menirukan Kayla.
Kayla juga berulang kali melontarkan pertanyaan ke neneknya, kenapa rumah mereka hilang tergusur. Dia juga mengajak neneknya untuk pulang ke rumah.
Dalam segala keterbatasan, Yeni masih menyimpan harapan besar agar cucunya Kayla bisa sekolah. Dari hasil berjualan kopi yang tak seberapa besarnya, dia menyelipkan sedikit uang untuk ditabung. Saat ini Kayla seharusnya sudah duduk di bangku TK, namun tingginya biaya sekolah membuat Yeni belum mampu menyekolahkannya. Ada yang bilang kepadanya, biaya sekolah TK mencapai 5 juta rupiah.
“Kalau harapan saya, Kayla mudah-mudahan tahun ini bisa masuk sekolah, bisa sekolah, ada (uang) untuk menyekolahkannya sampai ya kalau mudah-mudahan Ibu panjang umur, cari biaya sama orang tuanya kita bantu-bantu,” tutur Yeni.
Dampak Psikologis dan Lepas Tangan Pemerintah
Dalam setiap penggusuran kampung, anak-anak merupakan kelompok warga paling rentan. Dosen dan psikolog anak remaja di Unit Layanan Psikologi Terpadu (ULPT) Universitas Islam Bandung (Unisba) Stephani Raihan Hamdan menggambarkan bahwa kondisi kebutuhan akan rumah dan tempat tinggal yang layak akan mempengaruhi pertumbuhan anak, baik dari sisi fisik maupun juga psikologis.
Secara fisik, orang membutuhkan tempat tinggal untuk beristirahat, sehingga bisa sehat dan bertumbuh dengan baik. Ketika anak, misalnya, harus berpindah tempat dan berada dalam kondisi konflik, secara fisik ia akan rentan. Lalu, secara psikis, dirinya juga akan terganggu.
“Jadi saya melihatnya dasar bahwa ketika seseorang tidak punya rumah yang layak saja sudah bermasalah. Ketika rumahnya tergusur dengan kondisi yang mungkin penuh konflik, situasi yang menyebabkan anak itu trauma, kayaknya double. Udah mah tidak bahagia, tidak punya tempat tinggal, ditambah dengan konflik yang membuat traumatik,” ungkap Stephani kepada Bandungbergerak.id melalui sambungan telepon, Senin (31/1/2022) malam.
Dalan kondisi penuh konflik seperti ini, anak-anak rentan mengalami dua trauma sekaligus, yakni jangka pendek dan jangka panjang. Sebagai ttrauma jangka pendek, anak-anak menjadi syok dengan perubahan yang mendadak. Dari yang tadinya ada rumah, menjadi tidak ada. Trauma jangka pendek akan menyebabkan anak-anak terganggu secara konsentrasi, terganggu dalam pendidikannya, serta memiliki perasaan tidak tenang.
Sementara untuk efek jangka panjangnya, pengaruh secara psikis membuat anak-anak merasa tidak aman. Kualitas hidup anak bisa menurun, karena seluruh aspek perkembangannya juga menurun.
“Otomatis secara mental (anak-anak) terganggu. Ruang-ruang kebahagiaan mereka itu juga terenggut, istilahnya begitu yah, dengan adanya penggusuran ini. Dan traumanya jangka panjang,” ujar Stephani.
Dalam situasi konflik yang menempatkan anak-anak sebagai korban, pemerintah seharusnya hadir dan mengambil tanggung jawabnya. Penanganan secara psikis tentu sangat diperlukan. Namun pada kenyataannya, hingga kini anak-anak korban penggusuran di Kota Bandung belum sekali pun mendapatkan sentuhan dari Pemerintah Kota. Bahkan, pemerintah terkesan lepas tangan dan menutup telinga akan nasib anak-anak tersebut.
Kepala Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Kota Bandung Rita Verita mengungkapkan bahwa memang betul PPA memiliki tugas membantu dan melindungi anak-anak yang menjadi korban secara psikis. Namun, tampaknya para petugas PPA sendiri belum pernah turun langsung untuk menangani anak-anak korban konflik penggusuran di beberapa titik di Kota Bandung, mulai dari Tamansari hingga Anyer Dalam.
“Orang tua yang merasa anaknya mengalami perubahan perilaku akibat dampak penggusuran tersebut dapat mendatangi UPTD PPA Kota Bandung,” tutur Rita Verita kepada Bandungbergerak.id melalui pesan secara tertulis.