ANAK-ANAK BANDUNG DI TENGAH PENGGUSURAN #1: Bermain (Lagi) di atas Puing Anyer Dalam
Dalam setiap penggusuran, anak-anak menderita trauma yang tidak enteng. Di Anyer Dalam, mereka memperoleh kesempatan dan pendampingan untuk bisa bermain lagi.
Penulis Emi La Palau10 Februari 2022
BandungBergerak.id - “Cicak-cicak di dinding / Diam diam merayap / Datang seekor nyamuk / Hap! Lalu ditangkap.”
Dengan pengucapan kata per kata yang tak sempurna, tapi tanpa kehilangan semangat, Farel Aprizal Nugara (8) atau yang akrab disapa Aye, menyanyi di depan kawan-kawan sebayanya. Beberapa kali ia naik turun panggung. Entah menyanyi atau sekadar memegangi mikrofon lalu meneriakkan namanya dengan lantang.
Kawan-kawannya menyahut dan menimpalinya dengan tepuk tangan meriah. Juga warga yang lain.
Minggu (30/1/2022) malam itu, di atas reruntuhan bangunan milik keluarga Aye dan warga lainnya di Anyer Dalam, Kelurahan Kebon Waru, Kota Bandung, dibangun panggung yang dihiasi dengan lampu kerlap-kerlip. Juga awan buatan yang menghiasi langit-langitnya. Inilah puncak rangkaian pagelaran seni “Bintang di Anyer: Bermain dalam Serpihan” yang digagas oleh komunitas Rumah Bintang (Rubin) yang secara konsisten memberikan pendampingan bagi anak-anak Anyer Dalam.
Aye merupakan satu dari sekitar 26 anak korban penggusuran rumah di Anyer Dalam oleh PT. KAI dua bulan lalu, tepatnya Kamis, 18 November 2021 pagi. Saat ini sebagian besar warga masih terus bertahan di sekitar lokasi penggusuran dengan mengontrak rumah tak jauh dari puing-puing bangunan rumah mereka.
Sejak lahir, Aye tampak seperti anak-anak normal pada umumnya. Perbedaan itu mulai tampak ketika usianya menginjak 2,5 tahun. Aye masih belum dapat berbicara seperti anak-anak kebanyakan. Selain itu ia juga lambat dalam proses merangkak, duduk, dan berjalan.
Setelah diperiksa ke psikolog, Aye diketahui mengalami sindrom down, tunagrahita, yang menyebabkan pertumbuhannya berbeda dibandingkan anak kebanyakan. Orang tua Aye pun mulai membawanya untuk mengikuti terapi.
“Dari lahir awalnya (saya) nggak tahu kenapa (Aye) nggak bisa jalan, nggak bisa ngomong. Saya bawa ke psikolog, katanya dia bukan nakal tapi hiperaktif, mengalami sindrom down grahita,” ungkap Melly Indriani (52), ibu Aye.
Melihat anaknya yang sedari dulu susah untuk bersosialisasi, bahkan cenderung pemalu, Melly bangga melihat keberanian Aye untuk mau naik ke atas panggung dan bernyanyi di malam pentas seni itu. Kondisi dan perkembangan Aye selama ini membuat ibu tiga anak itu sering dilanda khawatir.
Melly menceritakan bagaimana kacaunya situasi di hari penggusuran. Pagi-pagi sekali, ketika matahari belum terlalu tinggi, kawasan Anyer Dalam RT 05 dan RT 06 sudah dipenuhi alat-alat berat. Tak hanya itu, aparat kemanan berjaga. Barang-barang warga dikeluarkan paksa, lalu bangunan rumah mereka dibuat rata dengan tanah.
Anak-anak menyaksikan bagaimana brutalnya penggusuran ketika itu. Melly mengungkapkan, Aye juga menyaksikan ketika bangunan rumah mereka mulai diruntuhkan. Dia lantas menyuruh sang anak pergi dari lokasi kejadian.
Berjalan ratusan meter dari kawasan pembongkaran, Aye yang tak mengerti apa-apa dan dalam kondisi menyandang disabilitas itu terpaksa bermain seorang diri di tengah rerumputan. Hingga larut malam, ia tak bisa pulang ke rumah karena jalanan yang biasanya dilintasi tertutup oleh tumpukan puing-puing bangunan.
“Saya tanya: Aye kenapa nggak pulang, jawabnya: Mama, gak ada jalan. ‘Gak ada alan’,” kata Melly menirukan cara bicara anak kesayangannya.
Pascakejadian penggusuran, Melly menceritakan ada banyak perubahan yang dialami oleh Aye. Tiap subuh, sekitar pukul empat, Aye mulai bangun, lalu membuka pintu rumah sendiri dan bermain ke reruntuhan seorang diri. Di tengah kondisi masih gelap!
Trauma Anak
Trauma tak hanya dirasakan Aye. Semua anak Anyer Dalam mengalaminya. Hal paling tampak terjadi pada anak ketiga Desi Merliani (30) yang baru berusia tiga tahun, namanya Pradipta. Desi menceritakan semenjak penggusuran, Pradipta menjadi lebih agresif dan mudah marah. Pada saat bersamaan, anak-anaknya jadi lebih gampang sakit. Tiap kali selesai bermain dari reruntuhan, pasti sakit. Badan panas, dan batuk pilek.
“Ini kalau main di sana (reruntuhan), mungkin (kena) angina, jadi gampang sakit. Tapi kalau seharian gak ke sana aja sehat. Mungkin capai, jadi kalau malamnya suka panas. Batuk juga,” ungkapnya, ditemui di kontrakannya, beberapa meter dari serpihan reruntuhan di malam yang sama.
Di hari-hari pertama pascapenggusuran, Desi dan anak-anak harus mengungsi sementara di masjid. Ketika itu ketiga anaknya sering sakit-sakitan. Desi memiliki empat orang anak, si sulung Panji berusia 13 tahun, sedang duduk di bangku kelas tujuh sekolah menengah pertama (SMP). Lalu, anak keduanya Pandu (6), baru sekolah di TK, ketiga ada Pradipta, dan si bungsu Prasetya yang baru berusia 6 bulan.
Sejak awal Desember 2021, Desi dan warga lainnya memutuskan untuk mencari kontrakan yang tak jauh dari lokasi reruntuhan. Mereka tak enak hati pada warga lain yang akan menggunakan masjid yang dijadikan pengungsian. Di kontrakan dengan harga sewa 800 ribu rupiah per bulan, Desi berbagi ruang dengan satu keluarga lain yang juga korban penggusuran. Di sana tinggal kurang lebih 11 orang.
“Kalau ini, kalau perubahan, iya sekarang tambah jadi ngontrak. Kan waktu itu cuman bayar listrik aja sama air, jadi sekarang uang sedikit harus dibagi-bagi. Lebih enak di rumah sendiri,” ungkap Desi.
Bukan hanya beban ekonomi Desi yang bertambah. Dia juga harus menghadapi perubahan perilaku anak-anaknya pascapenggusuran. Pradipta, anak yang sejak kecil memang cukup aktif itu, menjadi lebih mudah marah. Di rumah kontrakannya, ia kerap kali memukul pintu rumah atau melepaskan tripleks pintu. Terkadang juga jika ada palu, ia sering memukulkannya ke tembok.
“Jadi lebih nakal ya ini, jadi lebih gak mau diem. Itu pintu pertama ke sini bagus, sekarang acak-acakan. Kalau ada palu digini-gini (dipukulin) ke tembok. Dede ngapain? Biarin. Rumah aku kan dirusakin, cenah gitu,” tutur Desi.
Pandu, anak kedua Desi, sejak dulu gemar naik kereta api. Sesekali ketika ayahnya libur, ia sangat senang diajak naik kereta ke sekitaran Bandung. Ketika besar nanti Pandu ingin menjadi masinis pembawa kereta. Namun, cita-cita itu runtuh. Penggusuran oleh PT. KAI membuatnya membenci kereta. Ia kini tak ingin lagi menjadi masinis, tapi koki.
“Mau jadi polisi, eh tapi kata Ibu jangan. Mau jadi koki aja,” ungkap Pandu. “Udah nggak suka (kereta api).”
Baca Juga: Anak-anak Anyer Dalam
Jalan Panjang Pemulihan Trauma Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam
Warga Anyer Dalam Merawat Ingatan Satu Bulan Penggusuran
Pemulihan Trauma dalam Solidaritas
Penggusuran selalu menyisakan trauma. Tak hanya kepada orang dewasa, tapi terlebih trauma itu juga didierita oleh anak-anak. Pradipta (3), misalnya, menyimpan rasa trauma tentang rumahnya.
“Di sana udah diluntu tama KAI. Sama beko diluntuin. Marah, nangis,” katanya.
Namun toh Pradipta masih menyimpan harapan akan sebuah rumah. Ia ingin bisa kembali memilikinya.
“Bisa, bisa bikin lagi (rumahnya),” katanya dengan pengucapan kata yang cukup jelas.
Komunitas Rumah Bintang (Rubin) sejak Desember 2021 hadir di Anyer Dalam untuk mengembalikan lagi sedikitnya tawa anak-anak yang menjadi korban penggusuran. Tiap pekan, ada dua hari kegiatan pemulihan trauma (trauma healing), yakni Kamis dan Sabtu sore. Kegiatannya menggambar, bernyanyi bersama, atau lainnya.
Rangkaian pameran dan pementasan seni “Bintang di Anyer: Bermain dalam Serpihan”, yang berlangsung selama tiga 28-30 Januari 2022, merupakan bentuk apresiasi terhadap karya yang dihasilkan oleh anak-anak selama kegiatan pemulihan trauma itu. Turut ditampilkan juga di sana kolase dari majalah dan barang-barang limbah serta patung dari tanah. Kesemarakan pentas seni di atas puing Anyer Dalam bertambah dengan penampilan dongeng dan musik oleh para pegiat solidaritas Bandung.
“Dan setidaknya kita, kalau menghilangkan (trauma) ya sulit ya, tapi minimal (memenuhi) hak untuk mereka tetap bisa kembali punya ruang untuk bermain yang memang layak. Itu yang kita coba berikan alternatifnya dengan kondisi yang ada sekarang,” ungkap Niki Suryaman, koordinator Rubin Bandung.
Menurut Niki, kegiatan pemulihan trauma amatlah penting karena anak-anak Anyer Dalam menyaksikan langsung momen penggusuran, yang kemudian membekas menjadi trauma mendalam. Beberapa anak mudah marah ketika mendengar kata PT. KAI, atau juga dengan lantang mengeluarkan kata-kata alat berat seperti beko. Yang lain menjadi dengan enteng mengucapkan kata-kata yang menghina atau menghujat aparat.
“Dampak dari si penggusuran ini (kepada anak) sudah jelas. Kenapa kita penting bikin aktivis di sini, (karena) sebagai bagian dari kita coba memberikan lagi ruang-ruang bermain mereka selayaknya mereka anak-anak yang memang punya ruang untuk hidup dan bermain,” ungkap Niki
Menurut Niki, anak-anak senantiasa identik dengan waktu bermain. Akibat penggusuran rumah dan kampung, hak itu terenggut. Ada kepingan sejarah yang hilang, yaitu kenangan akan rumah dan juga akan kawan untuk bermain.
Salah seorang sukarelawan Rumah Bintang, Lutfi Nursabrina Arifin, mengungkapkan bahwa di pekan-pekan awal pascapenggusuran, banyak anak-anak Anyer Dalam yang jadi pendiam. Butuh waktu bagi mereka untuk bisa ceria kembali.
“Ada juga yang jadinya marah-marah, terus sempat saya ajakin bikin gambar rumah yuk atau apa, ternyata ada beberapa yang bilang ‘ah rumah aku juga nggak ada’. Jadinya selama kita bikin karya uring-uringan, sampai seperti itu,” ungkapnya.
Begitulah gemerlap lampu-lampu hias, juga keseruan acara malam pentas seni, membuat anak-anak Anyer Dalam melupakan sejenak tragedi penggusuran yang mereka saksikan dengan mata kepala sendiri. Alat-alat berat masuk ke kampung, lalu meruntuhkan bangunan-bangunan yang seumur hidup menjadi tempat mereka berlindung.
Panji (13), Fildan (11), dan Fabian (10), duduk di atas reruntuhan yang dilapisi spanduk. Mereka turut bersorak dan bertepuk tangan setiap kali Aye dengan berani maju ke atas panggung. Meski hanya menghapal penggalan lagu “Cicak-Cicak di Dinding”, dan juga penggalan beberapa lagu lain, aksi lucu bocah itu membuat mereka bisa tertawa lepas.