• Foto
  • Anak-anak Anyer Dalam

Anak-anak Anyer Dalam

Penggusuran di Jalan Anyer Dalam, Kota Bandung, bukan melulu urusan pertengkaran orang dewasa. Ada puluhan anak-anak yang menjadi korban dan menyimpan trauma.

Fotografer Prima Mulia27 November 2021

BandungBergerak.id - Naizar, bocah kelas 4 Sekolah Dasar Negeri Kacapiring, Kota Bandung, akan mengingat selamanya hari itu, Kamis, 18 November 2021. Pagi-pagi seperti biasa ia pergi ke sekolah bersama kawan-kawannya. Namun pulang ke rumah dua jam kemudian, ia terguncang melihat rumahnya sudah rata dengan tanah.

“Ini bekas rumah saya,” ujar Naizar pelan, ketika ditemui sedang termangu di atas reruntuhan rumahnya itu tiga hari kemudian.  

Naizar adalah satu dari puluhan anak yang kehilangan rumah mereka di Jalan Anyer Dalam, Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung. Pada hari nahas itu, PT. Kereta Api Indonesia (KAI), yang mengklaim kepemilikan lahan, mengerahkan ekskavator dan ratusan petugas untuk menggusur paksa permukiman yang dicap ilegal. Konon di lahan itu akan dibangun akses jalan kawasan komersial.

Penggusuran di Jalan Anyer Dalam, yang menghancurkan 25 rumah yang dtinggali lebih dari 100 jiwa termasuk anak-anak, diwarnai konflik berkepanjangan. PT. KAI memastikan lahan tersebut merupakan bagian dari aset mereka, sementara warga bersikukuh penggusuran tidak bisa dibenarkan karena mereka sedang mengajukan gugatan ke pengadilan dengan sidang dijadwalkan pada 2 Desember 2021 nanti.

PT KAI menyatakan rencana eksekusi hari itu sudah dibewarakan jauh-jauh hari. Namun, warga membantahnya. Surat eksekusi baru mereka terima malam hari sebelum eksekusi.

Penggusuran bukan melulu urusan pertarungan orang dewasa. Dalam catatan warga, di Anyer Dalam terdapat 6 orang remaja pelajar SMP dan SMA, 3 orang balita, serta 17 orang anak-anak pelajar tingkat TK dan SD. Anak-anak Anyer Dalam ini turut menjadi korban. Tindakan penggusuran paksa dengan bumbu-bumbu kekerasan dan intimidasi yang mereka saksikan di depan mereka, akan terekam dalam jangka lama. Tragedi yang menjadi trauma.

Mereka kehilangan rumah. Kehilangan ruang belajar. Mungkin juga kehilangan kenangan-kenangan menyenangkan.

Sebagai gantinya, bersama orangtua mereka, anak-anak Anyer berlindung sementara di tenda pengungsian, musala, atau rumah kerabat. Sebagian yang lain menyewa kamar di kawasan itu.

Di hari pertama dan kedua pascapenggusuran, sebagian besar anak tidak masuk sekolah. Selain secara mental masih terguncang, mereka kehilangan semua peralatan sekolah. Buku pelajaran, catatan-catatan, perlengkapan sekolah, semuanya tercecer akibat eksekusi paksa.

Solidaritas dan bantuan berdatangan. Selain kebutuhan pokok untuk bertahan hidup, hadir juga hiburan. Kelompok Badut Necis menghadirkan lagi keceriaan di wajah anak-anak Anyer Dalam korban penggusuran. Aksi-aksi sulap mereka, yang ditanggapi dengan sangat antusias, adalah bagian dari upaya penyembuhan trauma.

Yang justru janggal adalah minimnya perhatian pemerintah di tingkat kewilayahan sejah hari pertama penggusuran. Mereka tidak hadir bahkan untuk sekadar memberikan dukungan moral. Entah kenapa. Apakah karena warga korban penggusuran ini adalah kelompok yang tidak diharapkan?

Saat ini anak-anak Anyer Dalam korban sudah berani kembali bersekolah. Lembaga pendidikan itu jadi sandaran harapan. Dengan belajar, mungkin kelak anak-anak itu akan punya semakin banyak pilihan hidup yang dulu barangkali tidak pernah dimiliki orangtua mereka ketika menentukan tempat tinggal.

Debu berhamburan di atas gundukan reruntuhan rumah warga saat saya melangkah pergi. Alunan lagu paling anyar milik Megadeth mengiringi siang yang kering di musim penghujan.

Demoralized and overmastered people think

The quickest way to end a war is lose

Dictatorship ends starting with tyrannicide

You must destroy the cancer at its root

Dystopia.

Foto dan teks: Prima mulia 

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//