Jalan Panjang Pemulihan Trauma Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam
Bentrok antara warga dan pihak penggusur di Jalan Anyer Dalam menimbulkan ingatan buruk hingga trauma pada anak-anak.
Penulis Bani Hakiki25 November 2021
BandungBergerak.id - Penggusuran dan kekerasan yang terjadi di Jalan Anyer Dalam, Bandung, menimbulkan pengalaman trauma bagi anak-anak. Mayoritas orang tua yang menjadi korban penggusuran mengkhawatirkan masa depan anak-anaknya.
Banyak yang mengaku bahwa sejumlah anak menyaksikan adegan kekerasan yang terjadi pada saat penggusuran yang berlangsung 19 November 2021 itu. Belakangan, anak-anak mengeluh takut setiap melihat kerumunan orang berseragam dan saat mendengar berbagai bentuk suara benturan benda mati.
Kondisi ini mendorong komunitas Badut Necis untuk mementaskan hiburan badut sebagai bagian dari program pemulihan trauma. Salah satu pendiri dan inisator Badut Necis, Hendayana mengutarakan bahwa trauma healing merupakan proses yang penting untuk menjaga kestabilan psikologis anak yang mengalami tekanan.
“Setelah saya pelajari beberapa kegiatan trauma healing, mereka lebih senang, nerima ketika badut hadir. Karena ketika kita hibur di lokasi bencana, mereka akan sejenak lupa dengan musibah-musibah yang menimpa. Contohnya, seperti tadi,” tutur Hendayana saat dijumpai Bandungbergerak.id, Rabu (24/11/2021).
Program pemulihan trauma Badut Necis dimulai sekitar pukul 10 pagi setelah jam sekolah usai. Durasi penampilannya hanya sekitar satu jam, tapi menarik antusias banyak warga sekitar. Terpantau sekitar 30 penonton mulai dari usia taman kanak-kanak hingga orang dewasa tertawa selama hiburan ditampilkan.
Hendaya bersama tiga rekan lainnya, Ato, Apik, Agus mementaskan beragam trik hiburan seperti sulap, dongeng, dan beberapa permainan tradisional. Mereka juga memberikan bermacam cinderamata atau hadiah mulai dari permen sampai mainan sederhana. Tujuannya sebagai pelepas stres akibat ingatan soal kekerasan yang kemungkinan membayangi anak-anak hingga dewasa.
Selain menampilkan sederet hiburan, Badut Necis juga menyempatkan banyak waktu untuk mendengar cerita dan pengalaman keseharian anak-anak sebelum, ketika, dan setelah penggusuran. Pada bagian ini, mereka berperan sebagai wadah keluh kesah sekaligus memberikan beragam motivasi.
“Setelah mereka cerita, di situ tugas saya untuk memberikan motivasi agar melupakan masalah ini dan bangkit. Semua dibuat happy, tidak hanya untuk anak-anak, orang tua pun ikut happy,” ujar Hendayana.
Banyak warga mengaku membutuhkan program-program serupa untuk menghilangkan dampak penggusuran dan trauma. Belum ada langkah yang dapat diambil oleh warga terkait sengketa tanah yang mereka hadapi, kesehatan fisik dan mental jadi mitigasi utama untuk saat ini.
Tercatat di kawasan sengketa tersebut terdapat lebih dari 100 jiwa termasuk 17 orang anak-anak, 3 balita, dan 6 orang pelajar remaja SMP dan SMA.
Baca Juga: Mendengarkan Suara Anak dan Perempuan Korban Penggusuran Jalan Anyer Dalam
Penggusuran di Jalan Anyer Dalam Mencederai Hukum
Anak-Anak Menolak Takut Digusur
Setelah penampilan badut selesai, Bandungbergerak.id melanjutkan observasi di sekitar lahan tergusur di Jalan Anyer Dalam RT 02 dan RT 05. Terlihat 6 orang anak seusia sekolah dasar sedang bermain di atas tumpukan puing reruntuhan.
Medan yang dijajaki anak-anak itu cukup berbahaya, banyak titik reruntuhan bangunan yang rapuh dan sebagian besar tidak lagi kokoh. Akan tetapi, mereka bermain dan nongkrong dengan santai. Mereka mengaku bukan termasuk keluarga yang tergusur.
Di sisi lain, mereka telah mendengar kabar kalau wilayah rumahnya akan segera menyusul digusur oleh pihak yang sama, seperti diceritakan, Iyan (11). “Gak kegusur kita mah dari sebelah. Kita mah nanti digusurnya tahun depan,” katanya.
Salah seorang warga, Rohani mengungkapkan masih banyak anak-anak di wilayahnya yang siap melawan para penggusur di garis depan jika terjadi lagi penggusuran di kemudian hari. Salah satu anak Rohani, Ira yang duduk di bangku SD mengatakan bersedia menolong ibunya jika terjadi lagi penggusuran.
Kendati demikian, Rohani mengingatkan mereka anaknya melupakan segala peristiwa kekerasan yang sempat mereka saksikan.
“Anak-anak di sini kan ngeliat waktu penggusuran yang tua-tua pada gontok-gontokan, mereka gak kabur kayak anak saya. Tapi, selalu ingat ingatkan lagi supaya lupa sama yang kemarin-kemarin,” ungkapnya ketiak disambangi di salah satu dapur umum, (Rabu (24/11/2021).
Begitu juga penuturan warga lainnya, Meli, yang mengaku salah satu anak perempuannya yang sedang menjalani pendidikan di SMK menjadi korban bentrok. Anaknya berada di barisan paling depan berhadapan dengan aparat saat penggusuran berlangsung.
“Anak saya ini sampai ikutan, dia marah rumahnya diruntuhin,” ujar Meli.
Kehidupan di Dapur Umum
Rumah dan permukiman yang telah dibangun sejak awal 1950-an di sekitar Jalan Anyer Dalam tinggal kenangan. Para korban tergusur kini lebih banyak menghabiskan kehidupan sehari-harinya di dampur umum yang mereka bentuk di mana mereka bisa berkumpul bersama.
Kebersamaan diakui sebagai cara paling mudah untuk mengobati rasa kecewa mereka setelah rumahnya disulap jadi puing bangunan tak bernilai. Mereka berharap besar kepada janji-janji yang pernah ditawarkan oleh pihak penggusur seperti uang ganti rugi dan tempat tinggal baru.
“Sekarang mah udah digusur, mau apa lagi? Kita sekarang menunggu saja dulu gantinya. Kita gak muluk-muluk minta rumah mewah,” kata Rohani.
Sampai saat ini, warga masih mengandalkan uang patungan dan sumbangan untuk mengakomodasi kebutuhan makan dan seragam serta alat tulis anak-anaknya untuk bersekolah. Rohani dan teman-temannya harus mengatur alirana dana sebaik mungkin karena belum ada kepastian sampai kapan mereka bisa bertahan di posko pengungsian.
“Kalau uang sumbangan dikoordinasiin sama posko utama yang di depan. Kita belanja sendiri bahan-bahan makanannya. Diatur sebaik mungkin,” imbuhnya.