Pameran Foto Kisah Senyap, dari Penggusuran Tamansari hingga Kerusakan Sungai di Papua
Pameran di Aula Pascasarjana Unpar, Jalan Merdeka, Kota Bandung, ini berlangsung hingga 13 Februari 2022, gratis dan terbuka untuk umum.
Penulis Emi La Palau5 Februari 2022
BandungBergerak.id - “Saya hanya ingin menyampaikan manusia sama di mata hukum,” demikian kalimat penutup Arif Hidayah, ketika mengakhiri diskusi dalam "Pameran Foto Kisah Senyap", di Aula Pascasarjana Unpar, Jalan Merdeka, Bandung, Sabtu (4/2/2022).
Kalimat itu sekaligus menjadi gambaran dari karya visual yang ditampilkan dalam Pameran Foto Kisah Senyap yang dipersembahkan oleh PannaFoto Institute bersama Kurawal Foundation serta Universitas Katolik Parahyangan.
“Pameran Foto Kisah Senyap” merangkum sedikit dari sekian banyaknya kisah komunitas yang sedang memperjuangkan hak dasar mereka, baik secara kolektif maupun individu. Ketika kita sering kali mendengar slogan “dunia yang lebih baik” digaungkan, pada perjalanannya ada banyak manusia yang dipaksa menanggung harga tak ternilai untuk menuju kehidupan dan dunia yang lebih baik itu. Peristiwa-peristiwa nestapa mereka hanya menjadi perbincangan sesaat, kemudian terlupakan. Senyap.
Dalam pamerannya, pria yang akrab disapa Danun itu menghadirkan narasi visual yang diberi judul “Kenangan akan Rumah”, menampilkan potret warga korban penggsuruan di Tamansari RW 11, Kota Bandung. Mereka yang berjuang keras untuk mempertahankan ruang hidup atas tanah dan tempat tinggal, yang telah direnggut oleh pemerintah yang sejatinya wajib menjamin hak-hak warganya.
Sepanjang diskusi yang dipandu oleh Theo Frids M. Hutabarat, Danun menjelaskan bahwa cerita foto yang ditampilkan pada pameran ini tentang warga Kota Bandung, yang berpuluh-puluh tahun tinggal di tempat tinggal, tumbuh dan besar di sana, akhirnya harus hilang digusur.
Penggusuran Tamansari terjadi pada 2017 lalu, dan puncaknya terjadi pada 12 Desember 2019, bersamaan dengan penobatan Kota Bandung sebagai Kota Ramah HAM. Namun gelar itu berbanding terbalik dengan nasib warga Tamansari. Rumah mereka dihancurkan paksa di bawah pengawalan ribuan aparat. Ironisnya, di saat penggusuran terjadi, warga Tamansari sedang melakukan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Dari puluhan warga, hingga kini menyisakan satu warga yang masih bertahan.
Secara keseluruhan dampak penggusuran ini menurut Danun tak hanya berimbas pada hilangnya tempat tinggal, tetapi juga menggoncang pendidikan dan ekonomi warga yang tergusur.
“Tapi larinya juga ke akses pendidikan yang dulu sekolahnya dekat dari sana (rumah) mereka harus mengungsi, artinya untuk mengakses pendidikan saja ada gangguan, perjuangan ke sekolah,” ungkap Danun.
Penerima Permata Photojournalist Grant 2017 itu menambahkan, ekonomi warga jelas ikut tergusur karena penggusuran itu. Sebagai contoh ibu Eva yang sebelum penggusuran memiliki perusahaan konveksi dan karyawan. Kini rumahnya telah hilang, begitu juga ekonominya.
Ia berharap hadirnya potret masyarakat Tamansari ini dapat membuka ruang-ruang dialektika baru. Siapa pun yang melihat pameran ini diharapkan ikut memperbincangan persoalan yang disajikan foto tersebut, yaitu penggusuran yang mencerabut kehidupan. “Ada hal yang perlu ditekankan, ini harus diceritakan, ada dialektika baru yang terus didorong,” ungkapnya.
Baca Juga: Pameran Arsip Virtual UGM, Zaman Pelonco Dokter sampai Demonstrasi Reformasi 1998
Perspektif Lintasdisiplin dalam Pameran Perdana Mahasiswa Integrated Arts Unpar
Pameran Haus Buku 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Menjual Buku Lawas dan Baru
Memotret Persoalan Poligami
Poligami menjadi tema lain yang diangkat fotografer di Pameran Foto Kisah Senyap, seperti lewat foto yang disajikan Malahayati berjudul “Dengan Syarat”. Malahayati yang merupakan bagian dari Chapter Leader Women Photograph Indonesia mengaku mengusung fotonya yang berangkat dari pengalaman pribadi, sekaligus ingin menyodorkan persoalan poligami yang tidak banyak diperbincangkan oleh masyarakat kebanyakan.
Perdebatan terkait poligami di masyarakat sejauh ini hanya sebatas boleh atau tidaknya. Padahal menurut Mala, persoalan poligami bermakna lebih dalam lagi, berkaitan pada bagaimana persoalan di ranah privat seperti nasib perempuan maupun anak.
“Awalnya berangkat dari konflik batin, dari pengalaman keluarga sendiri, cuma karena pengalaman pahit, jadi saya juga bertanya-tanya kok ada sih orang yang propoligami, ada orang yang menyetujui poligami, bahkan sekarang ada kelompok yang menggembar-gemborkan poligami. Itu sih berangkatnya,” ungkapnya, ketika ditemui BandungBergerak.id, usai diskusi.
“Sebenarnya kan orang memperdebatkan poligami boleh atau tidak, tapikan mereka tiak pernah memikirkan hal-hal lain, anak gimana, si istri gimana. Jadi saya berharap jangan menggampangkan poligami,” lanjut Mala.
Potret dari Papua
Pameran Foto Kisah Senyap juga menghadirkan karya fotografer Albertus Vembrianto lewat karya berjudul “Sungai yang Hilang”. Ia memotret Suku Kamoro, warga asli pemilik hak ulayat yang bermukin di kawasan sungai Otomona. Vembri menuturkan, pertambangan yang membuang limbahnya ke sungai menimbulkan perubahan negatif pada sungai di Kabupaten Mimika, Papua, itu.
Perusahan tambang yang sudah beroperasi sejak 1967 itu telah memodifikasi sungai Otomona untuk mengalirkan limbah ke laut dengan membangun tanggul di tiap sisi sungai. Tanggul tersebut juga mengubah lanskap dan kehidupan Suku Kamoro. Sungai yang menjadi sumber pangan, lanskap budaya dan kehidupan, mati karena ditutup tanggul.
Limbah tailing yang mengandung zat berbahaya itu juga mengakibatkan ekosistem di kawasan tersebut berubah, pohon-pohon perlahan mongering dan mati, beragam fauna juga berkuang drastis.
Rosa Panggabean yang mewakili fotografer Albertus Vembrianto, mengungkapkan bahwa melalui foto “Sungai yang Hilang”, sang fotografer ingin menyampaikan perubahan sosial warga, setelah mereka hidup bertahun-tahun dengan difasilitas perusahaan tambang.
“Bagaimana warga itu jadi tergantung dengan fasilitas perushaan. Kemudian hutan-hutan mereka yang hilang, lalu lanskap yang kemudian berubah, sungai yang menjadi limbah tailing. Jadi kisah senyap justru perubahan sosial dari waga aslinya,” ungkap Rosa yang juga kurator pameran.
Pertambangan telah “memodernisasi” kehidupan warga asli Suku Kamoro. Misalnya, perusahaan memfasilitasi bus sebagai sarana transportasi warga untuk ke hutan.
“Sementara kan aslinya orang ke hutan masa naik bus, mereka mencari nafkah di hutan menggunakan transportasi, kan biasa kita jalan kaki, warga asli biasanya jalan kaki sebagaimana layaknya. Ini kan kayak kita ngantor ya, cuman ngantornya di hutan,” ungkapnya.
Warga Suku Kamoro akan dijemput setiap pukul 09.00, kemudian saat sore mereka juga dijemput dari hutan. “Perubah-perubahan sosial itu yang sebetulnya menarik minat Vembri untuk dicertakan,” terang Rosa.
Sementara melalui keterangan tertulis yang diterima Bandungbergerak.id, Vembri menyatakan bahwa karya “Sungai yang Hilang” ingin mengingatkan kepada semua orang bahwa manusia hidup bersama, menumpang pada kerelaan alam, serta mengiangatkan tentang tanggung jawab kolektif terhadap apa yang telah dirusak.
Pameran Kisah Senyap
Pameran Foto Kisah Senyap menghadirkan karya-karya fotografer yang terpilih dalam program Photo-Demos Challenge, yaitu Albertus Vembrianto, Malahayati, dan Arif Hidayah. Pameran di Aula Unpar itu menjadi bagian rangkaian pameran keliling “Kisah Senyap”.
Acara pameran lebih dulu dilakukan di Jakarta International Photo Festival pada November 2021 lalu. Bandung menjadi lokasi kedua, sementara lokasi ketiga akan berlangsung di Makassar, dan terakhir di Jayapura, Papua.
Direktur Pelaksana PannaFoto Institute, Ng Swan Ti mengungkapkan pihaknya menggunakan foto dan visual story telling untuk menceritakan atau mendukung para fotografer yang mengungkapkan isu-isu yang menjadi kepedulian mereka.
“Jadi kami berusaha menampilkan foto-foto ini dalam rangkaian cerita sehingga mendukung gagasan mereka (fotografer), keberpihakan mereka kepada ceritanya dan komunitas di sekitar mereka,” ungkap Ng Swan Ti, kepada Bandungbergerak.id.
Narasi visual dihasilkan melalui proses diskusi bersama para mentor PannaFoto Institute dipimpin oleh Edy Purnomo, dengan kurator Yoppy Pieter dan Rosa Panggabean.
Pameran juga menyajikan karya multimedia berbasis fotografi. Melalui pameran ini, pengunjung diajak memaknai peristiwa yang menimpa warga, mengenai hak-hak dasar mereka. Dengan kata lain, pameran ini menyajikan kisah-kisah yang sudah sering diungkap tanpa ada yang menengarkan. Cerita-cerita mereka selalu berulang namun tidak pernah ada yang mengerti.
PannaFoto Institute
Pameran Foto Kisah Senyap diinisiasi PannaFoto Institute yang bekerja sama dengan Kurawal Foundation, sebuah lembaga yang mempromosikan nilai, institusi dan praktik demokrasi melalui jurnalisme, seni, dan budaya.
Sebelumnya, Pameran Foto Kisah Senyap dibuka oleh Dekan Fakultas Filsafat Unpar, Leonardus Samosir, yang berharap pameran ini bisa mempertajam rasa terhadap hal-hal yang menggugat kehidupan.
Menurutnya, ada demikian banyak peristiwa yang lalu lalang dan kemudian ditangkap oleh para fotografer. Sayangnya, tidak semua orang bisa melihat karya-karya mereka. Maka melalui pameran ini, karya-karya tersebut disajikan.
“Kolaborasi antara PannaFoto Institute, Kurawal Foundation dengan Program Integrated Art Fakultas Filsafat Unpar nampaknya akan menjadi kesempatan baru. Kolaborasi ini tidak hanya menampilkan hasil fotografi yang didandani secara virtual dan artifisial, tetapi juga hendak mengarahkan, mengolah, menggarisbawahi ketajaman budi dan hati, rasio dan rasa dalam membaca ini,” ungkap Leonardus Samosir.
Pameran Foto Kisah Senyap dapat disaksikan oleh publik mulai 4 hingga 13 Februari 2022 mulai pukul 10:00 hingga 17:00 WIB. Pameran ini terbuka untuk umum dan gratis, register dapat dilakukan pada tautan: Bit.ly/PAMERANKISAHSENYAPUNPAR.