Pameran Haus Buku 2 di Perpustakaan Ajip Rosidi, Menjual Buku Lawas dan Baru
Lewat pameran tatap muka ini para pelapak buku berusaha menghidupkan kembali budaya literasi yang diterjang pagebluk.
Penulis Awla Rajul30 Oktober 2021
BandungBergerak.id - Hujan deras membasahi kota Bandung. Namun, hujan bukan halangan bagi tiga orang pengunjung yang datang ke pameran buku bertajuk Haus Buku 2, di Perpustakaan Ajip Rosidi, Jl. Garut no. 2. Pameran buku ini dilaksanakan sejak 28 Oktober hingga 2 November mendatang.
Pengunjung pun melihat-lihat buku yang ditata rapi di meja. Setiap pelapak memiliki satu meja. Di atasnya, hadir beragam buku, ada buku-buku lawas, majalah dan tabloid lawas, buku-buku bekas, buku-buku baru pun tak luput dihadirkan di salah satu meja pelapak. Pameran buku Haus Buku 2 juga dimeriahkan acara diskusi dan musik akustik dari musikus Kota Bandung.
Inisiator Pameran Haus Buku 2, Indra Prayana menyampaikan bahwa pameran dilaksanakan untuk menggairahkan kembali budaya membeli buku, membaca buku, diskusi dan semua hal yang berkaitan dengan buku. Sebab, pandemi turut menghantam budaya ini.
Perpustakaan Ajip Rosidi dipilih sebagai lokasi pameran, karena, selain proses birokrasinya terbilang tidak berbelit, lokasi ini dipilih untuk meramaikan perpustakaan yang jarang diadakannya aktifitas publik.
“Akhirnya kita cari ruang publik yang tidak ada birokrasi. Ketemu di perpus Ajip Rosidi. Yang kedua perpusatakaan Ajip ini jarang ada aktifitas, jarang ada kegiatan-kegiatan yang melibatkan massa. Nah kita mencetuskan untuk meramaikan di sepuratan buku dan literasi. Apalagi kan nama Ajip Rosidi akrab dengan buku dan literasi bangetlah ya, sebagi budayawan. Sehingga dipilihlah perpus Ajip Rosidi,” ungkap Indra saat ditemui BandungBergerak.id, di lokasi pameran.
Selain untuk menumbuhkan kembali budaya literasi, pameran buku ini dilakukan untuk menyambung dampak pandemi yang dirasakan oleh pelapak buku. Tidak adanya acara pameran besar selama pandemi membuat tidak adanya interaksi langsung antara pelapak dan konsumen. Kebanyakan pelapak buku pun beralih online.
Indra menyebutkan bahwa dalam penjualan online ada kendala. Di antaranya standar genre atau buku-buku yang terkenal yang relatif laku.
“Kalau misalnya ketemuan, kita seperti ini, pameran-pameran gini memungkinkan buku-buku yang kita stok itu bisa keluar. Karena pameran harga kan bisa diobral, bisa nego, bisa tawar-menawar, diskon atau apa pun. Tapi kalau di online kan tidak sepenuhnya seperti ini. Kita pedagang2 merasakan seperti itu,” ungkapnya.
Baca Juga: Buku-buku Bandung Paling Antik, Langka, dan Unik
MEMORABILIA BUKU (2): Menyaksikan Akhir Perjalanan Penerbit Pustaka
Ramadan di Tahun Pagebluk (7): Menunggu Godot di Pasar Buku Palasari
Survival Menghadapi Pandemi
Seorang pelapak buku dari Lawang Buku, Deni Rachman menjajakan buku-buku secondhand, buku-buku lawas dan buku-buku antik. Kalaupun ia menjajakan buku-buku terbitan baru, adalah 10 persen dari keseluruhan buku yang ia pamerkan.
Alasan Deni fokus menjajakan buku-buku lawas dan buku second sebab segmentasi yang lebih dicari. Selain itu, keuntungannya juga lebih menguntungkan dibandingkan dengan buku-buku baru.
“Karena dari segi segmentasi, buku langka ini lebih dicari. Terus dari harga keuntungannya lebih tinggi. Buku-buku lama itu kan gak ada di katalog juga kan. Kalau buku baru kepatok. Buku baru harus beli sekian, diskonnya kecil. Kalau buku langka lakunya satu, kalau jalannya lancar, insya Allah lancar,” cerita Deni Lawang.
Di hari pertama pameran, Deni mengaku belum mendapatkan omzet. Namun di hari kedua, ia sudah laku delapan buku. Sebenarnya, Deni tidak muluk-muluk menargetkan keuntungan di pameran ini. Ia ingin mengadaptasikan kebiasaan baru dalaa literasi setelah dua tahun tidak bertemu fisik dengan konsumen.
“Kan perlu ketemu gitu, ngobrol. Kesehatan kan gak cuma fisik, mental juga. Kalau dari segi penjualan saat ini saya menargetkan yang penting ada margin laba yang bisa menutup biaya meja dan operasional makan. Yang penting ada untung,” ceritanya.
Deni cerita, selama pandemi buku-buku menumpuk di gudang. Sebelum pandemi, ketika ada pameran besar ia bisa mengeluarkan buku hingga satu truk.
“Ini kebayang udah dua tahun gak pameran, buku numpuk banget. Makanya saluran penjualan buku itu ya pameran kecil seperti ini, tapi sering,” katanya.
Selain buku yang menumpuk, selama pandemi ia mengalihkan penjualan secara online di marketplace dan media sosial. Deni juga beralih ke penerbitan dan menulis. Saat penerbitan kurang bagus, ia menulis, maupun sebaliknya.
“Penerbitan lesu, saya off-in dulu, saya nulis. Jadi intinya strateginya bertahan, selama pandemi itu survival, bertahan. Baik secara fisik maupun mental, biar gak kena (Covid-19) gitu,” ungkapnya sambil terkekeh.
Perpusatakaan Ajip Rosidi
Perpustakaan Ajip Rosidi kini sudah buka normal dari pukul 10 sampai 4 sore, setiap hari Senin hingga Jumat. Sebelumnya selama pandemi, Perpustakaan Ajip Rosidi tutup. Namun, jika ada permintaan kegiatan, pihak perpustakaan akan mengizinkan dengan jumlah peserta terbatas.
Pengunjung perpustakaan kabanyakan dari mahasiswa yang sedang menyelesaikan skripsi, peneliti seperti soden, maupun pencari referensi buku-buku budaya sunda maupun sejarah.
Perwakilan Pengelola Gedung dan Perpustakaan, Roni menyampaikan bahwa koleksi buku-buku di perpustakaan mencapai 12.000 lebih. Namun ia tidak bisa memastikan, sebab pihaknya sedang melakukan pendataan ulang
Buku-buku yang tersedia kebanyakan referensi budaya Sunda dan sejarah, Namun buku-buku lain seperti agama juga tersedia.