Mahasiswa Bandung Bergerak, Terus Mengawal Tuntutan pada Presiden Joko Widodo
Saat ini mahasiswa Bandung sedang melakukan evaluasi dan memperkuat peran-peran di tiap kampus. Pengamat politik menyatakan wacana 3 periode tak relevan.
Penulis Emi La Palau12 April 2022
BandungBergerak.id - Gabungan mahasiswa se-Bandung Raya yang tergabung dalam Poros Revolusi Mahasiswa Bandung (PRMB) menyatakan tidak akan mengendurkan perjuangan mereka. Mahasiswa akan terus mengawal tuntutan yang mereka usung pada demonstrasi besar kemarin, Senin (11/4/2022), supaya terealisasi.
Korlap aksi PRMB, Ilyasa Ali Husni, mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan evaluasi dan memperkuat peran-peran mahasiswa di tiap kampus se-Bandung Raya. Dalam waktu dekat, aksi serupa juga akan dilakukan dengan tuntutan yang sama.
“Kita akan evaluasi, dan memperkuat dulu peran-peran tiap kampusnyaa, terus membahas eskalasi terdekat (rencana aksi), bakal dan terus (mengawal tuntutan),” kata Ilyasa Ali Husni, kepada BandungBergerak.id, Selasa (12/4/2022).
Mahasiswa Bandung bergerak karena sejumlah alasan. Saat ini rakyat Indonesia baru akan bangkit setelah terpuruk dalam dua tahun pagebluk berkepanjangan. Di saat yang sama, rakyat menghadapi naiknya harga-harga kebutuhan pokok, terutama minyak goreng. Belum lagi dengan kenaikan BBM dan penerapan pajak.
Namun alih-alih berupaya memajukkan ekonomi rakyat, di tataran elite politik sibuk melontarkan wacana memperpanjang kekuasaan, yakni ingin menunda pemilu 2024 dam memperpanjang masa jabatan presiden menjadi periode. Padahal konstitusi jelas membatasi masa jabatan presiden hanya dua periode.
PRMB menuntut agar Presiden Joko Widodo menjatuhkan sanksi kepada jajaran kabiet yang terbukti mendukung penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Kedua, mendesak lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif untuk menyatakan sikap menolak penundaan pemilu dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, juga menjalankan konstitusi yang berlaku saat ini.
Ketiga, menuntut pemerintah untuk menstabilkan harga bahan pokok sehari-hari dan mengatasi kelangkaan sektor pangan dan bahan bakar untuk menjaga amanah Pancasila dan UUD 1945 dalam hal kesejahteraan rakyat.
Mahasiswa juga menyoroti eksploitasi lahan dan konflik agraria di Jawa Barat yang diturunkan dalam tuntutan keempat; mendesak pemerintah untuk menghentikan segala macam tindakan serta menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM termasuk konflik agraria dan pergusuran lahan di Jawa Barat.
Kelima, mendesak pemerintah agar meninjau kembali UU KPK, UU Minerba, UU Cipta Kerja, UU Ibu Kota Negara dan undang undang bermasalah lainnya.
Baca Juga: Cucu Raja Koran Berkunjung ke Villa Isola UPI
UU TPKS Disahkan, Kemenangan Kecil Menuju Jalan Panjang Menghapus Kekerasan Seksual
Memaknai Jati Diri Melalui Arsip Bandung dan Leiden
Bukan Soal 3 Periode, tapi Minyak Goreng
Presiden Joko Widodo telah melarang para menterinya berbicara tentang penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden. Arahan itu, ia sampaikan secara langsung kepada para menteri sekaligus meminta mereka lebih sensitif pada kesulitan yang dihadapi rakyat.
Pengamat komunikasi politik UGM, Nyarwi Ahmad, menilai larangan tersebut dinilai tepat untuk situasi saat ini. Apalagi rakyat tengah dihadapkan dengan kelangkaan dan tingginya harga minyak goreng, serta kebutuhan-kebutuhan pokok lainnya.
Diskursus soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode yang muncul dari para elite partai dinilai tidak relevan. Meski demikian, diskursus ini wajar-wajar saja dalam sebuah negara demokrasi. Hanya saja ada persoalan-persoalan publik lain yang lebih penting dan memerlukan penyelesaian. Bahwa rakyat membutuhkan solusi yang menyangkut kehidupan ekonomi mereka.
“Ya sah-sah saja sebenarnya wacana semacam itu, tapi ada yang jauh lebih penting adalah menyangkut kehidupan publik yang harus segera diatasi, bukan soal presiden 3 periode tapi bagaimana mengantisipasi soal minyak goreng atau kenaikan tarif tol, BBM dan lain-lain,” ucap Direktur Eksekutif Indonesian Presidential Studies (IPS) itu.
Terhadap berbagai usulan menyangkut perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode, ia menilai usulan semacam itu menandakan jika sebagian elite masih merindukan bayang-bayang memiliki sosok pemimpin yang kuat seperti di zaman Orde Baru. Dengan keinginan semacam itu memperlihatkan soal ketaatan pada konstitusi dan prinsip-prinsip demokrasi belum tertanam sepenuhnya dalam kesadaran para elite.
Nyarwi sangat menyayangkan usulan tersebut mengingat Indonesia sudah mengalami fase kelembagaan demokrasi yang relatif cukup matang. Hal tersebut terbukti dengan keberhasilan pelaksanaan pemilu secara langsung selama 4 kali.
Kondisi ini memperlihatkan prosedural demokrasi di Indonesia sudah melembaga cukup baik dengan penyelenggaraan Pemilu secara reguler 5 tahunan untuk pemilihan legislatif dan pemilihan presiden. Terlepas dari tingkat pendidikan dan pengetahuan politik yang belum merata tetapi pada intinya prinsip dasar demokrasi secara prosedural sudah berjalan dan masyarakat sudah terbiasa menggunakan hak pilihnya.
“Karenanya tepat cara untuk menghentikan polemik ini. Bisa berhenti tentu sejauh elite tidak meneriakkan atau menyuarakan agenda presiden 3 periode, dan saya kira wacana itu akan teredam dengan sendirinya,“ ungkapnya.
Meski begitu, elite di sini jangan diartikan mereka yang berada di lingkaran presiden atau para petinggi partai, tetapi termasuk pula para perangkat desa di Indonesia. Karena Asosiasi Perangkat Desa Indonesia (APDESI) akhir-akhir ini turut menyuarakan soal perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden 3 periode.
Jika prosedur demokrasi sudah berjalan dengan baik saat ini, kata Nyarwi, langkah berikutnya sebenarnya tinggal mengarahkan pada hal-hal yang substansial dari demokrasi berupa hal-hal yang menyangkut soal transparansi dan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang lebih mudah.
Nyarwi meyakini berbagai pernyataan Presiden Jokowi soal ketaatannya pada konstitusi di berbagai kesempatan sebagai pernyataan yang dibangun dengan kesadaran penuh sebagai seorang presiden dan publik figur. Sebab, inkonsistensi akan menjadi risiko yang mahal bagi seorang politisi apalagi sekelas presiden.
Bisa-bisa hal tersebut membahayakan demokrasi yang pernah dibangun. Meski begitu, ia sekali lagi meyakini bahwa di fase-fase terakhir kepemimpinan sebagai presiden tidak akan mengambil risiko dengan merusak reputasi yang sudah banyak dikerjakan.
”Tentu presiden tetap komitmen terhadap demokrasi yang sudah berjalan sebagaimana yang diamanatkan konstutusi. Taat terhadap fondasi-fondasi kehidupan bertata negara yang tertuang dalam konstitusi kita, dan semua pernyataan pejabat publik saat ini kan tidak bisa ditarik, semua terekam dan dicatat. Media dan publik di era digital ini tentu akan mudah sekali menemukan jejak digital, termasuk pejabat publik,“ imbuhnya.