UU TPKS Disahkan, Kemenangan Kecil Menuju Jalan Panjang Menghapus Kekerasan Seksual
Setelah bertahun-tahun dalam tarik ulur, UU TPKS akhirnya disahkan DPR RI, tanpa memasukkan pasal perkosaan.
Penulis Emi La Palau12 April 2022
BandungBergerak.id - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) akhirnya mensahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang, Selasa (12/4/2022). Pengasahan ini disambut haru dan bahagia dari berbagai aktivis yang telah memperjuangkan RUU TPKS ini.
Sejak mulai dibahas pada 2016 lalu, berkali-kali RUU TPKS gagal menjadi pembahasan prioritas di DPR, ketika data kasus terus meningkat di berbagai kota di Indonesia. Butuh waktu bertahun-tahun hingga akhirnya undang-undang ini diundangkan.
Salah satu lembaga pendamping yang berjibaku denga para korban antara lain Samahita Bandung. Riska Carolina dari Divis Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Samahita merasa sangat haru dan bahagia atas diundangkan RUU TPKS. Terlebih ia termasuk bagian dari tim penulis untuk substansi RUU TPKS.
“Jujur saya bahagia sekali hari ini karena RUU-nya sudah menjadi UU TPKS, perjalanan panjang dari 2016 sampai dengan saat ini. Kebetulan saya juga bagian dari tim penulis untuk substansi dari RUU TPKS, sangat bangga bisa ikut menjadi salah satu bagian dari advokasi,” ungkap Carolina, kepada BandungBergerak.id melalui sambungan telepon, Selasa (12/4/2022).
Menurutnya, ke depan yang masih menjadi pekerjaan rumah (PR) yakni peraturan turunan yang akan tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini nantinya menjadi substansi dalam implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Riska mengatakan setidaknya ada lima PP yang menjadi turunan UU TPKS, di antaranya tentang pemanfaatan dana, tentang Kekerasan Berbasis Gender Elektronik (KBGE), tentang Penanganan Perlindunga dan Pemulihan, tentang pencegahan tindak pidana, dan mengenai koordinasi dan pemantauan.
PP mengenai peraturan lembaga pendamping nantinya akan masuk di Penanganan Perlindungan dan Pemulihan. Samahita berharap masih bisa terlibat dalam perenanaan PP turunan dari UU TPKS, juga menjadi lembaga pendamping yang dapat dilatih untuk pemulihan korban dalam kaitannya dengan penerapan UU TPKS.
“Kami masih senang dengan disahkannya RUU TPKS ini, apalagi seperti pemaksaan perkawinan masuk, lalu juga Kekerasan Berbasis Gender Elektronik juga masuk, yang pada titik-titik terakhir itu sempat keluar, tapi sempat masuk. Itu kemenangan yang luar biasa,” ungkapnya.
Meski masih ada PR lainnya, yakni delik tindak pidana perkosaan yang tak masuk dalam UU TPKS. Ke depan pihaknya masih akan terus berjuang agar peraturan yang melingkupi tindak pidana perkosaan dapat benar-benar tertuang dengan baik di RUKHP, sebagaimana janji Kementrian Hukum dan HAM.
Pasal Perkosaan
Disahkannya RUU TPKS menjadi undang-undang ditanggapi baik oleh Direktur Eksekutif Pasundan Durebang Women Crisis Center, Ira Imelda. Menurut Ira, momen ini telah lama dinantikan oleh masyarakat. Yang mana sejak pendokumentasian kasus sampai pada penyusunan draft telah melalui dinamika panjang.
RUU TPKS beberapa kali mengalami perubahan, lalu sempat keluar dari Prolegnas, kemudian akhirnya disahkan. Sekarang Ira mengaku lega dengan kabar baik bagi lembaga pendamping dan para korban kekerasan seksual yang saat ini menunggu keadilan.
Ira menegaskan, UU TPKS menjadi undang-undang pertama yang benar-benar memperhatikan hak dari korban. Keluarga korban, saksi ahli, bahkan pendamping korban juga diakomodir di dalam UU ini.
“Jadi sangat kuat evidence base-nya. Jadi memang ini UU yang dinanti oleh semua orang, karena selain memberikan perlindungan tapi juga di dalamnya ada pencegahan dan lain sebagainya,” papar Ira.
Ira tak menampik ada beberapa catatan yang digarisbawahi, yakni hilangnya pasal yang mengatur tentang tindak pidana perkosaan. Meski pasal ini direncenakan akan masuk pada RKUHP, namun ia sangat menyayangkan kasus perkosaan harus terpisah. Padahal tindak pidana perkosaan merupakan salah satu yang paling krusial dan paling banyak terjadi di masyarakat.
“UU TPKS ini Lex Spesialis yang disayangkan (perkosaan) tidak bisa masuk. Tapi kita tetap mengapresiasi muda-mudahan di RKUHP bisa memasukkan unsur-unsur tersebut,” katanya.
Tidak masuk pasal perkosaan menjadi PR bersama bagi semua pihak agar pasal tersebut bisa masuk ke RKUHP. Menurutnya, dalam pasal yang telah ada, delik perkosaan baru hanya menggunakan alat-alat penetrasi saja. Hal-hal berkaitan dengan modus relasi kuasa dan lainnya belum masuk. Sehingga korban perkosaan karena tipu muslihat tidak bisa mendapatkan keadilan.
“Jadi memang selain mengawal implementasi UU TPKS supaya bisa implemtatif, juga terkait RKUHP karena memang perkosaan itu salah satu bentuk kekerasan seksual yang korbannya itu bisa ditemukan dari seluruh Indonesia dan paling banyak dengan modus,” ungkapnya.
Baca Juga: Cucu Raja Koran Berkunjung ke Villa Isola UPI
Aksi Mahasiswa Bergerak di Bandung, Massa Menolak Kehadiran Anggota DPRD Jabar
Amanat Konstitusi tentang Tanah untuk Rakyat di Reruntuhan Anyer Dalam
Kemenangan Bersama
Ketua Gender Reseach Center (Great) UPI Bandung, Sheila Rotsati Jasmine mengungkapkan hadirnya UU TPKS menjadikan Indoneia memiliki satu payung hukum yang mapan mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berpihak pada korban kekerasan seksual.
“Kami juga menganggap bahwa ini adalah satu poin kemenangan dari perjuangan,” ungkap Sheila.
Tetapi Sheila mengingatkan bahwa penghapusan kekerasan seksual sendiri masih sangat panjang perjalanannya setelah hadirnya UU TPKS ini. Hal ini yang memerlukan pengawalan bersama, mulai dari mengawal penegak hukum yang menangani kasus kejahatan seksual, bagaimana pemahaman mereka, juga edukasi mengenai konsep kekerasan seksual ke masyarakat.
Kehadiran regulasi baru dipastikan akan menimbulkan gejolak baru, misalnya mengenai sejauh mana aparat penegak hukum memahami undang-undang ini, bagaimana cara meningkatkan kesadaran mereka, juga bagaimana memberikan pemahaman masyarakat mengenai UU TPKS, menjelaskan konsep dari kekersan seksual, dan seterusnya.
“Perjuangan sih masih sangat panjang ya untuk penghapusan kekerasan seksual, tapi apa yang ada hari ini pengesahan RUU TPKS adalah satu kemenangan kecil yang patut kita rayakan,” katanya.
Di samping itu, sebagai mahasiswa yang berkecimpung di lembaga yang juga mendampingi korban, Sheila mengatakan hadirnya UU TPKS akan semakin membantu proses advokasi terhadap korban kekerasan seksual di kampus, khususnya untuk kasus-kasus yang tak bisa ditangani di dalam kampus.
“Jadi ketika nanti harus dibawa keranah hukum, itu sudah ada hukum yang menaunginya. UU TPKS sejalan dengan permasalahan yang selama ini dihadapi (di kampus),” katanya.