• Berita
  • Amanat Konstitusi tentang Tanah untuk Rakyat di Reruntuhan Anyer Dalam 

Amanat Konstitusi tentang Tanah untuk Rakyat di Reruntuhan Anyer Dalam 

Rakyat yang sejatinya pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara, harus merelakan atau memperjuangkan hak atas tanahnya.

Diskusi tentang Hak atas Tanah di Anyer Dalam, Kota Bandung, Minggu (10/4/2022). Diskusi ini digelar oleh Aliansi Anyer Melawan, sebuah forum warga korban penggusuran PT. KAI. (Foto: Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Penulis Awla Rajul11 April 2022


BandungBergerak.idSengketa tanah antara rakyat dan negara atau perusahaan marak terjadi belakangan ini. Di Bandung, sengketa tanah antara lain terjadi di Anyer Dalam, Dago Elos, Tamansari. Di daerah lain salah satu sengketa paling mencolok terjadi di Wadas.

Dari rangkaian kasus tersebut, rakyat selalu berada pada posisi yang rentan. Sehingga rakyat yang sejatinya pemegang kekuasaan tertinggi suatu negara, harus merelakan atau memperjuangkan hak atas tanahnya. 

Upaya memperjuangkan kepemilikan tanah dibahas dalam diskusi tentang Hak Atas Tanah di Reruntuhan Anyer Melawan, Minggu (10/4/2022). Diskusi ini digelar oleh Aliansi Anyer Melawan, sebuah forum warga korban penggusuran PT. KAI.

Salah satu narasumber diskusi, Aland dari Aliansi Penghuni Rumah Tanah Negara (APRTN), membeberkan Undang-undang (UU) Pokok Agraria menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak yang sama untuk memiliki tanah. Pada pasal 22 ayat 1 disebutkan, hak milik atas tanah dapat ditetapkan melalui dua, yaitu penetapan pemerintah dan penetapan perundang-undangan. 

Pada kasus penggusuran di Anyer Dalam, penetapan pemerintah bisa dilihat dari Kepres Nomor 32 maupun UU Pokok Agraria. Bahwa tanah yang diduduki rakyat diprioritaskan kepada rakyat.

“Salah satunya termasuk hak pakai, apabila sudah diduduki rakyat maka diberikan kepada rakyat. Itu kata-katanya,” ungkap Aland. 

Bahkan di dalam KUH Perdata disebutkan, barang siapa yang telah menguasai fisik lebih dari 20 tahun, dia akan mempunyai hak kepemilikan. Sehingga, menurut Aland, hak atas tanah berdasarkan dua hal tersebut seharusnya dimiliki oleh rakyat.

Aland menehaskan, hukum tentang hak tanah tersebut perlu terus disosialisasikan kepada rakyat. Jika rakyat mengetahui hak-haknya atas tanah, maka mereka yang bersengketa akan melakukan perlawanan. Begitu juga dengan warga Anyer Dalam yang sudah tinggal di dareahnya sejak 1950. 

Baca Juga: Senyuman Anak-anak Korban Penggusuran Anyer Dalam saat Ngabuburit Bersama Rumah Bintang
NGALEUT BANDUNG: Bandung di Masa Bersiap
Musik Kota Bandung masih Kalah dengan Kota Lain, Benarkah?

Diskusi tentang Hak atas Tanah di Anyer Dalam, Kota Bandung, Minggu (10/4/2022). Diskusi ini digelar oleh Aliansi Anyer Melawan, sebuah forum warga korban penggusuran PT. KAI. (Awla Rajul/BandungBergerak.id)
Diskusi tentang Hak atas Tanah di Anyer Dalam, Kota Bandung, Minggu (10/4/2022). Diskusi ini digelar oleh Aliansi Anyer Melawan, sebuah forum warga korban penggusuran PT. KAI. (Awla Rajul/BandungBergerak.id)

Tanah untuk Rakyat

Pada masa kerajaan, tanah dipandang sebagai representasi kekuasaan. Namun, kini pandangan tersebut tidak lagi relevan. Tanah merupakan sumber penghidupan, termasuk sumber ekonomi. Riski Maulana Hakim dari Agrarian Resource Centre (ARC), mengatakan tanah juga sebagai unsur penting dalam proses mensejahterakan masyarakat.

Maka dari itu, Riski menyatakan negara harus mengatur tanah dengan asas keadilan bagi seluruh rakyatnya dengan tujuan mensejahterakan rakyatnya. Demikian juga dengan mandat konstitusi bahwa tanah, air dan seluruh sumber daya alam dikelola negara untuk mensejahterakan rakyat. 

“Jadi kita punya tanah, tapi kita ngasih tanah untuk dikuasai pada negara untuk selanjutnya dikelola, diatur oleh negara untuk mensejahterakan hidup kita. Kita ini tuan. Kita nyuruh orang buat mengatur tanah kita, mengatur kita buat mensejahterakan kita sendiri. Logika dasarnya seperti itu,” jelas Riski. 

Dengan tujuan kesejahteraan rakyat itulah maka harus lahir kebijakan dan peraturan berdasarkan kehendak rakyat. Sehingga rakyat adalah struktur paling atas yang membawahi DPR, presiden, dan sebagainya. 

Namun pemikiran dasar tersebut pada praktiknya berbeda. Permasalahan yang terjadi adalah bagaimana negara menggunakan hak atas negara untuk menguasai tanah dan kemudian disalahgunakan.

Kepentingan Umum atau Perusahaan?

Suatu pengambilalihan atau perampasan tanah rakyat kerap dilakukan dengan dalih demi kepentingan umum. Namun, penentuan kepentingan umum ini pun ditentukan oleh pihak-pihak tertentu tanpa melibatkan rakyat.

Rizki melihat saat ini negara dan rakyat telah berpisah. Aspirasi dan kehendak rakyat tak lagi didengar. Ia bahkan menyebutkan pengelolaan negara saat ini mirip dengan perusahaan. Padahal mengelola negara berbeda dengan mengelola perusahaan.  

Pengelolaan dengan pendekatan perusahaan bertujuan untuk mendatangkan keuntungan. Padahal pengelolaan negara bertujuan mensejahterakan rakyat.

“Sekarang yang PT Indonesia. Mengelola negara tidak sesederhana atau tidak bisa disamakan dengan mengelola perusahaan. Itu bodohnya para politikus itu. Itulah kenapa aku bilang tadi pandangan ARC melihat persoalan agraria di Indonesia, ya karena mereka bodoh. Bodohnya adalah mengelola negara disamakan dengan mengelola perusahaan,” tegasnya. 

Riski menyebutkan, penguasa negara cenderung menggunakan kekuasaan, peraturan yang cocok dengan kepentingan dirinya dan mengabaikan aturan yang tidak cocok dengan kepentingannya.

“Maka tidak heran apabila di akhir-akhir ini kita lihat bagaimana perampasan tanah sering terjadi. Tidak hanya oleh negara. Bodohnya lagi, setelah tanah itu dirampas diberikan lagi ke perusahaan-perusahaan yang mana negara hanya mendapatkan pajak,” tegasnya. 

Riski pun mengajak agar rakyat bersatu dan mengetahui hak yang ia miliki. Senada dengan Riski, Hery Pramono dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengajak warga yang kehilangan hak atas tanah agar terus bertahan dan berjuang.

Meski demikian, kata Hery, perjuangan warga untuk mendapatkan haknya tidaklah mudah. Mereka juga akan menghadapi masalah hukum yang panjang. Contohnya kasus sengketa Dago Elos. Kasus yang sudah dimenangkan warga di Mahkamah Agung itu hingga kini masih menghadapi masalah sulitnya pengurusan legal kepemilikan.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//