Musik Kota Bandung masih Kalah dengan Kota Lain, Benarkah?
Dosen Unpas Budi Dalton pernah menyoroti redupnya tradisi musik Kota Bandung. Kini Pemkot Bandung mencanangkan Bandung sebagai Kota Musisi.
Penulis Iman Herdiana9 April 2022
BandungBergerak.id - Pecinta musik nasional kemungkinan besar akan sepakat bahwa Bandung merupakan salah satu kiblat musik Indonesia. Atau setidaknya kota ini pernah menyandang predikat itu.
Banyak musikus maupun band berbagai genre yang berkiprah di Bandung kemudian menyandang nama besar, baik di masa lalu maupun di era kekinian. Sebut saja The Rollies, band yang dibentuk tahun 60-an, hingga Piterpen atau Noah yang meledak di era 2000-an.
Dan sederet nama grup band atau tokoh musik Bandung bisa terus disebut satu persatu hingga menghasilkan tabel panjang.
Itu baru di jalur musik arus utama, belum lagi di ranah-ranah subkultur di mana Kota Kembang ini melahirkan band-band underground yang namanya masih terus berkibar hingga kini. Sebut saja Puppen hingga Burgerkill. Dan jika disebut semua, daftar nama mereka yang tak kalah melegendanya pun sangat panjang.
Menurut penelitian Hamid Shirvani, Yessica Geovani Basoeki, Nova Chandra Aditya dari Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik dan Ilmu Komputer Unikom, pada tahun 2015 UNESCO mengumumkan bahwa Kota Bandung masuk ke dalam kategori kota kreatif dari 47 kota di seluruh belahan dunia.
Namun dewasa ini kultur musik Kota Bandung seakan meredup. Seniman yang juga dosen Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (FISS Unpas), Budi Setiawan atau akrab disapa Budi Dalton pernah menyoroti redupnya tradisi musik Kota Bandung.
Budi Dalton mengatakan Bandung belakangan ini tidak memiliki ekosistem musik yang kuat. Padahal Bandung sudah sangat inklusif untuk disebut Kota Musik, mulai dari adanya sekolah musik, pegiat musik, studio rekaman, toko alat musik, produsen alat musik. Tetapi dari ekosistem ini ada yang kurang, yaitu tempat mengekspresikannya, panggungnya.
“Tempat mengekspresikannya tidak ada. Semua ini harus dijadikan ekosistem di Bandung, sehingga musik bisa jadi pendapatan daerah dan Bandung bisa diklaim sebagai Kota Musik,” jelas Budi Dalton, dikutip dari laman resmi Unpas, Sabtu (9/4/2022).
Bandung Kota Musisi
Bicara Bandung sebagai Kota Musik, baru-baru ini muncul wacana Bandung Kota Musisi dari Pemkot Bandung. Sebagai langkah mewujudkan jargon ini, Pemkot Bandung telah menggandeng para pelaku musik kreatif, yakni Yayasan Bandung Musik Abadi (BMA).
Plt Wali Kota Bandung, Yana Mulyana menjelaskan, Kota Bandung merupakan kota yang kreatif dalam berbagai hal, terutama bidang musik. Tetapi saat ini industri musik Bandung masih kalah dibandingkan kota lain.
"Kota Bandung masih kalah dengan kota lain, maka dari itu harus kita dukung penuh agar musisi di Kota Bandung menjadi industri musik," ucap Yana saat mendatangi Bandung Music Award di Bandoengsche Melk Centrale (BMC), dalam siaran pers Kamis (7/4/2022).
Yana mengatakan, Pemkot Bandung bersama BMA akan berkolaborasi untuk menggelar acara penghargaan bagi para musisi. Nantinya yang diapresiasi dalam Bandung Music Award ini bukan orang yang sudah populer, melainkan kepada musisi pendatang baru.
Ketua Yayasan Bandung Musik Award, Dudi Sunardi yang akrab dipanggil kang Nay juga melihat ada persoalan pada ekosistem musik di Kota Bandung. Maka dari itu Yayasan Bandung Musik Award ingin mencari jalan keluar dari permasalahan yang ada terkait perkembangan musik Kota Bandung.
"Semangat serta dukungan dari para musisi dan masyarakat secara luas sangat diperlukan untuk menegakkan kembali Bandung Raya untuk menjadi pusat perkembangan musik," katanya.
Baca Juga: Dari Gemerlap Panggung Musik ke Keras Jalanan
Tragedi AACC 14 Tahun Lalu, masihkah Bandung Takut pada Musik Underground?
BANDUNG HARI INI: 14 Tahun Sabtu Kelabu atau Tragedi AACC, Luka Besar Jagat Musik Bandung
Minimnya Panggung
Sudah lama Bandung menyandang julukan kota musik atau barometer musik, dan kini dicanangkan sebagai Kota Musisi. Tetapi apa pun julukannya, musik Bandung akan sulit bergema kembali jika tidak ditopang dengan kebutuhan mendasarnya, yaitu panggung alias ruang petunjukkan, seperti yang dikatakan Budi Dalton.
Bandung sebenarnya diuntungkan dengan kondisi alamnya yang nyaman untuk berkarya. Kondisi geografisnya sudah layak dan mendukung. Ini diakui sejak zaman kolonial Belanda.
“Kita tahu bahwa untuk belajar atau menciptakan sebuah karya, harus didukung atmosfer yang tenang,” kata Budi.
Dari situ, Bandung terbentuk sebagai tempat berkarya, membuat produk apa pun, berdiskusi, hingga melakukan pergerakan. Bahkan, drummer Jelly Tobing yang notabene bukan orang Bandung, bangga menjadi produk Bandung.
Budi menyoroti peran pemangku kebijakan yang tidak konsisten dalam mendukung industri musik.
“Setiap pergantian pemimpin, saya kira tidak perlu terlalu menunjukkan kelebihannya, karena sebenarnya Bandung tinggal dirawat. Bandung punya fashion, bola, dan musik, kenapa tidak dimaksimalkan? Itu saja digarap dulu, jangan terburu-buru menambah embel-embel kota kuliner dan lain sebagainya, supaya Bandung memiliki brandmark,” tegasnya.
Elemen yang mendukung Bandung sebagai barometer musik terlihat dari banyaknya kegiatan musik setiap pekannya. Tapi, musisi daerah justru memilih untuk ‘hijrah’ dan mencari peruntungan di Jakarta ketika ingin menjadi musisi top, bukan malah di Bandung yang digadang-gadang sebagai Kota Musik.
“Harusnya orang kalau mau rekaman perginya ke Bandung, bukan ke Jakarta. Hal itu pernah dilakukan oleh Jelly Tobing, dia begitu bangga menjadi produknya Bandung, dan tentunya banyak juga yang lain. Kenapa sekarang mengikis? Ini yang menurut saya berubah,” tutupnya.
Kebutuhan panggung atau ruang-ruang pertunjukan musik di Kota Bandung juga disinggung dalam penelitian Hamid Shirvani, Yessica Geovani Basoeki, Nova Chandra Aditya.
Mereka menyatakan Kota Bandung belum memiliki wadah yang tepat untuk menampilkan karya musisi dan komunitasnya. “Infrastruktur untuk mewadahi pertunjukan musik sangat penting untuk menunjukan eksistensi Kota Bandung dalam bermusik di mata dunia,” kata Hamid dkk.
Salah satu gedung yang biasa dijadikan tempat diselenggarakannya pertunjukan musik di Kota Bandung yaitu Sasana Budaya Ganesa (Sabuga Convention Center). Tetapi gedung dengan kapasitas 2.500 kursi itu dinilai belum tepat untuk menjembatani kebutuhan masyarakat dalam bermusik. Sebab umumnya konser musik diselenggarakan secara outdoor.
Kebutuhan panggung ini tentunya harus dipandang secara menyeluruh, mulai dari akses yang terjangkau semua kalangan, kapasitas pengunjung, jumlah parkir, termasuk bagaimana meminimalkan atau menghilangkan pungli yang sudah menjadi rahasia umum bagi penyelenggaraan acara besar sekelas konser musik.