• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (17): Dari Gemerlap Panggung Musik ke Keras Jalanan

Cerita Orang Bandung (17): Dari Gemerlap Panggung Musik ke Keras Jalanan

Lilian Rumapea (43), seorang penata musik dan penulis lagu dengan impian besar. Pagebluk memaksanya kembali turun ke jalanan demi menghidupi diri dan keluarganya.

Lilian Rumapea (43), ditemui di Taman Cikapayang, Bandung, Jumat (9/7/2021). Pagebluk membuat Lian, seorang penata musik dan pembuat lagu, harus kembali turun ke jalanan untuk mengamen. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Penulis Boy Firmansyah Fadzri13 Juli 2021


BandungBergerak.idLilian Rumapea (43) tiba di Bali awal tahun lalu.  Ia bertahan hidup dengan bernyanyi dan memetik gitar di kafe, restoran, dan hotel. Di Pulau Dewata itu juga Lian, demikian ia akrab disapa, menerima permintaan pembuatan lagu sembari terus menggarap proyek solonya.

Sial, wabah Covid-19 membuat roda ekonominya mandek. Kafe, restoran, dan hotel yang menyediakan panggung bagi Lian, membatasi akses atau bahkan tutup. Prrmintaan membuat musik pun makin hari makin sedikit. Lian mengambil keputusan besar: kembali ke Bandung.  

“Sampai di sini (Bandung) ternyata sedang PPKM (pelaksanaan pembatasan kegiatan masyarakat). Akhirnya saya memutuskan untuk ngamen,” kata pria beranak tiga tersebut, ditemui BandungBergerak.id di Taman Cikapayang, Dago, Jumat (9/7/21) siang.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (16): Kerelaan Rajan sebagai Pengawal Ambulans
Cerita Orang Bandung (15): Endang dan Nasib Selebar Jalan Parakan Saat
Cerita Orang Bandung (14): Seorang Tukang Jahit di Trotoar Jalan Dewi Sartika

Persaudaraan di Jalanan

Bagi Lilian Rumapea, menjadi seorang pengamen seperti de javu. Bukan barang baru. Ia masih ingat betul hari-hari yang terasa panjang sebagai seorang musisi jalanan dua dekade lalu. Lian berjalan menyusuri warung makan di kawasan Punclut.

Bila situasi aman dari tibum (ketertiban umum) oleh petugas Satuan Polisi Pamong Praja(Satpol PP), sesekali Lian mangkal di seberang Taman Cikapayang, Dago. Dalam satu hari ia bisa mengantongi uang 50–100 ribu rupiah.

Segala kesulitan hidup selama pagebluk memaksa Lian kembali ke jalan. Ini adalah pilihan terakhir, tapi ia harus melakukannya agar bisa bertahan hidup. Ia sangat bersyukur, di masa sulit seperti sekarang ia masih diberikan ruang untuk ikut mengamen oleh teman-teman lamanya.

Dunia jalanan di mana pun adalah dunia yang keras. Namun rasa senasib sepenanggungan membuat ikatan persaudaraan tumbuh kuat di komunitas musisi jalanan. Lian tidak sepakat dengan segala stigma buruk dari masyarakat yang dilekatkan ke anak jalanan, pengaman, dan mereka yang hidup di jalan.

“Sebenernya, Kang, saya banyak belajar dari orang-orang yang hidup di jalanan. Kebaikannya luar biasa, sumpah Demi Allah! Di antara mereka juga akhirnya banyak yang maju. Ada yang menjadi saudagar sparepart BMX, ada juga yang menjadi musisi dan bintang film. Macem-macemlah, Kang,” kata Lian.

Lian merasakan betul kebaikan hati mereka yang hidup di jalanan. Ia mengaku, setiap kali mengalami kesulitan seperti sekarang ini, teman-temannya silih berganti memberikan bantuan. Selain sembako, beberapa kali ia menerima pemberian berupa uang dari kawan yang dulu pernah mengamen bersamanya.

“Sedih sih sedih, gengsi sih gengsi. Tapi mau bagaimana lagi? Saya dan keluarga bersyukur masih bisa memenuhi kebutuhan hidup. Sekarang cuma bisa berjuang, berusaha semoga ke depannya ada keajaiban,” tuturnya.

Lilian Rumapea dan kawan-kawannya biasa menghibur pengguna jalan di persimpangan Jalan Surapati dan Ir. Djuanda, Bandung. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)
Lilian Rumapea dan kawan-kawannya biasa menghibur pengguna jalan di persimpangan Jalan Surapati dan Ir. Djuanda, Bandung. (Foto: Boy Firmansyah Fadzri)

Masih Menyimpan Harapan

Lilian Rumapea sudah tertarik pada musik sejak duduk di bangku sekolah dasar. Asam-garam kehidupan bermusik telah ia rasakan, mulai dari keras jalanan, gelap panggung bawah tanah, hingga kemilau pentas pencarian bakat tingkat nasional.

Sejak tahun 2005, setelah cukup lama bertualang di jalanan, Lian memulai kariernya sebagai seorang penata musik atau arranger. Ia mengaku, salah satu kliennya adalah Ebith Beat A, seorang musisi rap asal Rancaekek, Kabupaten Bandung.

Lian juga mulai menerima beragam permintaan jasa produksi musik dan lirik. Untuk menambah pemasukan, ia secara rutin tampil di kafe, restoran, dan hotel di Bandung.

Setelah menikah dan dikaruniai seorang anak, Lian dan keluarganya memutuskan untuk hijrah ke Banten. Di sana, ia merintis usaha penjualan ayam dan sembako bersama istri dan mertuanya.

Jiwa musik dalam diri Lian tidak pernah kering. Tawaran yang datang dari sebuah label rekaman musik independen di Bandung tak sanggup ia tolak. Lian pun meninggalkan kemapanan hidup di Banten, mengikuti impiannya.

Sayangnya, tidak semua cerita berujung bahagia. Pengelolaan yang buruk membuat label rekaman itu gagal berkembang. Karier bermusik Lian, bersama pencapaian-pencapaian yang selalu ia impikan, layu di tengah jalan.

Namun, Lian menolak patah harapan. Pelantun lagu bertajuk Jangar itu percaya betul bahwa bermusik, hobi yang sudah puluhan tahun ia geluti, merupakan jalan hidupnya. Dalam situasi sesulit apa pun, ia tak pernah sekali saja berpikir untuk berhenti bermusik.

Lian masih menyimpan harapan, kelak karya-karyanya akan diterima dan diapresiasi oleh banyak orang. Bukan hanya di Bandung dan Jawa Barat, tapi juga di seluruh Indonesia.

“Masih ada rasa kapanasaran (penasaran),” tutur Lian. “Saya ingin karya saya bisa dikenal dan dinikmati banyak orang.” 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//