Cerita Orang Bandung (14): Seorang Tukang Jahit di Trotoar Jalan Dewi Sartika
Heri Jahit (60) menghidupi keluarga sebagai tukang jahit di trotoar Jalan Dewi Sartika, Bandung sejak 1997 lalu. Ia mewarisi keterampilan tersebut dari sang nenek.
Penulis Sarah Ashilah1 Juli 2021
BandungBergerak.id - Heri Jahit (60), begitulah ia ingin dipanggil. Mewarisi keterampilan menjahit dari neneknya, sejak 1997 ia membuka usaha jahit sebagai sumber pendapatan yang mencukupi kebutuhan keluarganya.
Akibat konflik hak waris antarsaudara di keluarga besarnya, Heri memilih menjadi tukang jahit pinggir jalan. Di trotoar Jalan Dewi Sartika, Kota Bandung, ia menyambung hidup.
Sebelum pandemi Covid-19 tahun lalu, Heri bisa membawa pulang uang Rp 200 ribu per hari. Selama pagebluk, karena pendapatan yang menyusut, ia terpaksa membuka lapak lebih lama. Mulai melayani sejak pukul 7 pagi, ia baru pulang ke rumahnya di kawasan Kautaman Istri sekitar pukul 3 sore.
Sebelum melakoni usaha jasa menjahit, di tahun 1980-an Heri pernah berjualan cincin batu. Karena popularitas bisnis ini terus meredup, ia berhenti.
Bertahun-tahun bekerja di trotoar jalan membuat Heri bersinggungan dengan bermacam-macam karakter orang di jalanan. Termasuk dengan mereka yang memiliki niat jahat. Heri memahami sisi keras hidup orang urban.
“Orang jahat sekarang itu keren-keren. Ada saja cara untuk mencelakakan,” katanya.
Kisah Keluarga
Heri Jahit tumbuh sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara. Masa kecilnya tergolong menyenangkan. Ia masih ingat betul bagaimana di umur belasan tahun ia begitu senang bermain sepakbola bersama teman-temannya di asrama tentara. Di sekolah, ia ikut kegiatan pramuka.
Ayah Heri yang berlatar belakang militer sangatlah keras dalam mendidik anak-anaknya. Suatu ketika Heri sudah tidak bisa menerima lagi sikap keras sang ayah dan memilih untuk tidak ingin berhubungan dengannya lagi. Ia pergi meninggalkan rumah.
Setelah hidup sendiri, Heri pernah sakit dan dirawat di Rumah Sakit Ranca Badak, sekarang Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS). Di rumah sakit inilah, ketika itu umurnya 19 tahun, ia bertemu dengan pujaan hati.
Heri bercerita kalau orang-orang yang sekamar dengannya kebanyakan sakit akibat minuman keras. Satu di antara mereka adalah seseorang yang dipanggil jawara. Dengan dialah Heri memperebutkan hati sang gadis. Si jawara bermodal ilmu pelet, ia permen.
“Saya tertarik. Ibu (istri) orangnya jujur luar biasa, baik hati. Waktu itu saya cuma punya permen. Saya kasih ke dia sambil mengajak berkenalan, sesudah itu kita berjalan. Berbekal 600.000 rupiah ku bapak dilamar. Tidak ada orang tua ngurus-ngurusnya, Ibu juga saat itu sudah tidak ada orang tua,” kenangnya.
Menjalani hidup yang berliku, Heri meyakini jika salah satu pondasi hidup berumah tanggah adalah hubungan yang seimbang antara suami dan istri. Landasan utamanya, sikap saling terbuka.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (13): Ahmad Zaelani dan Kerasnya Hidup di Kota Kembang
Cerita Orang Bandung (12): Seorang Sopir Ambulans di Puncak Gelombang Covid-19
Cerita Orang Bandung (11): Gairah Hidup Seorang Penjual Buku
Keluarga Heri dikaruniai tiga orang anak. Malangnya, si bungsu meninggal di umurnya yang masih sangat belia. Kejadiannya dua tahun lalu dan hingga kini Heri masih berduka. Untuk mengobati perasaan rindunya, setiap hari ia selalu mengenakan topi sekolah si bungsu.
Heri saat ini sudah memiliki cucu dari anak perempuannya. Di sela-sela pekerjaanya melayani pesanan pelanggan, ia menyiapkan sebuah hadiah bagi sang cucu: sebuah topi berbordir logo superman yang ia buat sendiri.