Cerita Orang Bandung (12): Seorang Sopir Ambulans di Puncak Gelombang Covid-19
Acep Teguh (35), sopir ambulans RSKIA Kota Bandung, berjibaku mengantarkan jenazah Covid-19 dengan segala risikonya. Oleh sang anak di rumah, ia dianggap pahlawan.
Penulis Bani Hakiki26 Juni 2021
BandungBergerak.id - Enam tahun sudah Acep Teguh (35) mengemban tugas sebagai sopir ambulans di Rumah Sakit Khusus Ibu dan Anak (RSKIA) Kota Bandung. Tidak pernah terpikirkan sebelumnya ia akan menghadapi masa-masa sulit pandemi Covid-19. Acep merasakan tekanan yang amat berat selama bekerja: membawa jenazah korban virus infeksius dalam frekuensi yang terus meningkat.
Pagebluk sejak Maret 2020 lalu menyita banyak waktu Acep bersama keluarga. Tidak jarang ia mesti bekerja dan siaga nyaris 24 jam tanpa henti dalam satu pekan. RSKIA Kota Bandung telah membagi waktu kerja para sopir ambulans ke dalam tiga sif sehari. Namun seringkali Acep tetap bekerja pada hari libur karena banyak sopir ambulans lain yang tumbang digenjot intensitas kerja selama pandemi.
“Kadang kami (para sopir ambulans) pulang melebihi jam kerja. Waktu libur, semua dibabat. Kadang-kadang teman-teman udah capek semua, kelelahan. Paling kami suka gantian sif dalam sehari,” tutur Acep, ditemui BandungBergerak.id ketika sedang beristirahat di TPU Cikadut, Bandung, Jumat (25/6/2021).
Dalam dua pekan terakhir Bandung mengalami lonjakan jumlah kasus penularan Covid-19 tertinggi selama pandemi. Acep bisa mengantarkan lebih dari 10 jenazah ke TPU Cikadut dalam satu hari. Jadwal kerjanya semakin tidak menentu. Tidak jarang ia menerima panggilan selepas tengah malam. Hitungan waktu jadi begitu kabur.
“Dua minggu ke belakang kesibukannya ‘gila’, full banget. Kita gak bisa menangani (jenazah Covid-19) kayak jenazah biasa. APD harus lengkap, pakai masker double. Mobilitas tinggi sampai kadang sesak (napas),” ujar pria asal Banjaran, Kabupaten Bandung itu.
Acep tidak hanya menjemput jenazah dari rumah sakit tempatnya bekerja. Sejumlah panggilan dari puskesmas di kecamatan jadi langganannya. Belum lagi panggilan dari beberapa tempat isolasi mandiri (isoman).
Acep digaji sebesar 3,2 juta rupiah dengan uang bonus jasa medis sekitar 700 ribu rupiah setiap bulan.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (11): Gairah Hidup Seorang Penjual Buku
Cerita Orang Bandung (10): Liku Hidup Perempuan Penjual Batagor
Data Pemanfaatan Lahan Permakaman Jenazah Covid-19 TPU Cikadut per 24 Juni 2021
Menyaksikan Kesedihan
Beban kerja yang kian berat, berikut risikonya yang tidak kecil, membuat Acep Teguh makin menyadari pentingnya menjaga kondisi tubuh dalam keadaan sehat. Merawat sisi psikologis pun tak kalah penting.
Setiap kali menjemput dan mengantar jenazah, Acep menyaksikan isak tangis dan suasana berkabung keluarga jenazah. Kesedihan yang turut ia rasakan berbeda dengan peristiwa kematian biasanya karena dalam kasus Covid-19 para keluarga dan kerabat tidak bisa melepas orang terkasih dari dekat saat permakaman.
“Biasanya kalau badan udah kerasa drop, saya langsung nenggak obat. Gak pakai kompromi supaya badan tetap fit. Saya juga harus tetap berpikir positif setiap kerja, kalau enggak saya bisa ikut tumbang,” katanya.
Selama dua pekan terakhir Acep dan para sopir ambulans lain mendapat pekerjaan tambahan yang ditunaikan secara sukarela. Karena semakin banyak jenazah yang harus mengantre di TPU Cikadut, sementara jumlah petugas pemangku jenazah terbatas, ia turut memikul peti dari ambulans ke liang lahat. Tindakan cekatan ini dibutuhkan agar jenazah tidak telantar sehingga memperbesar risiko.
Sampai saat ini sudah banyak nakes dan sopir ambulans yang tumbang karena intensitas kerja yang sangat tinggi. Beberapa di antaranya terpapar Covid-19 dan sedang menjalani pemulihan di beberapa tempat isoman. Acep mengaku belum pernah tertular virus.
Pahlawan bagi Sang Anak
Acep Teguh, bersama istri dan satu orang anak mereka, tinggal di Banjaran. Istrinya adalah seorang bidan yang bekerja di Rumah Sakit Santoso Kopo yang tentu juga harus bekerja lebih keras selama pandemi. Toh dia sering mempertanyakan jadwal kerja Acep yang semakin tidak menentu dalam satu bulan ke belakang.
Acep, sama seperti semua orang, tentu ingin agar pagebluk segera berlalu, agar kehidupan kembali berjalan normal. Namun untuk saat ini, ia merasa harus terus bekerja sebaik mungkin. Ia ingin membantu.
Ketika ada waktu luang di sela kesibukannya, Acep selalu menyempatkan diri untuk pulang meskipun tidak lama. Pertemuan dengan keluarga seperti inilah yang memompa semangatnya untuk terus berjibaku mengantar dan menjemput jenazah.
Si anak tunggal menjadi sumber movitasi Acep. Hubungan keduanya sangat dekat. Acep merasa beruntung mempunyai anak yang mengidolainya, menganggap pekerjaan sang ayah seperti pahlawan.
“Saya sering diomelin sama istri karena sering pulang malam. Kadang malah (saya) gak pulang. Tapi anak saya justru paling ngerti. Dia sangat suka ambulans,” tutur Acep sambil tertawa lepas.