Cerita Orang Bandung (10): Liku Hidup Perempuan Penjual Batagor
Enung (48), ibu tiga anak, sudah tujuh tahun berjualan batagor dan sosis bumbu di kompleks sekolah dasar. Pendapatannya anjlok akibat pagebluk, dua anaknya mengamen.
Penulis Sarah Ashilah17 Juni 2021
BandungBergerak.id - Guyuran hujan deras, Rabu (16/6/2021) siang, memaksa Enung (48) pulang lebih awal dari biasanya. Dia tergopoh mendorong gerobak dagang berisi batagor dan sosis bumbu melewati persimpangan lampu merah Jalan Terusan Pasirkoja, Bandung, lalu masuk ke gang sempit di permukiman padat di belakang jalan raya.
Rumah kontrakan Enung sangatlah sederhana. Hanya ada satu ruangan yang tersekat oleh tembok. Ada dua buah gerobak usang yang terparkir di depannya. Di rumah inilah Enung tinggal bersama suami dan ketiga orang anaknya.
Enung berjualan batagor dan sosis bumbu di SD Al-Futuhat, Cibuntu, dari pukul 7 pagi hingga 3 sore. Dari rumah kontrakannya, dia harus berjalana kaki mendorong gerobak selama 40 menit. Sudah tujuh tahun Enung malakoni rutinitas ini.
Pandemi Covid-19, yang memaksa para murid tidak pergi ke sekolah, membuat segalanya bertambah sulit bagi Enung. Pendapatan kotornya anjlok dari sebelumnya Rp 150 menjadi hanya Rp 50 ribu per hari.
“Sulit ya sekarang jualan. Habis gimana atuh kalau gak jualan, rumah gak kebayar. Nanti disuruh pergi,” kata Enung, perempuan asli Bandung, ketika berbincang dengan BandungBergerak.id. “Belum lagi bapak saya juga masih ada, saya yang harus tanggung biaya hidupnya.”
Sebelum berjualan bataor, Enung bekerja sebagai asisten rumah tangga panggilan dari rumah ke rumah. Karena menguras waktu dan tenaganya, sehingga sedikit saja yang tersisa untuk mengurus anak bungsunya, ia berhenti. Enung mengikuti jejak suaminya berjualan batagor.
Selain delapan jam berdagang, Enung juga mengurus rumah tangganya. Pulang dari jualan, dia langsung mencuci baju-baju kotor walau kerap kali kakinya sudah terasa sakit. Untuk mengusir rasa sakit itu, Enung hanya perlu membasuh kakinya dengan air garam.
Arti Keluarga
Hidup Enung mulai terasa sulit semenjak sang ibu meninggal dunia. Waktu itu dia masih duduk di kelas 3 SD Negeri Bandung Kulon. Enung terpaksa putus sekolah karena tidak ada lagi yang sanggup membiayai, dan menumpang tinggal di rumah bibinya. Ayahnya memilih untuk menikah lagi.
“Waktu tinggal di rumah bibi, saya teh harus cuci baju atau kerja apa dulu sebelum bisa dapat makan. Kalau gak gitu tidak bisa dapat makan,” tutur Enung sambil berulang kali mengusap air matanya.
Enung mengaku dirinya pernah malas untuk menikah, tetapi ibu tirinya terus mendesaknya menikah. Bertemulah dia dengan pria asal Garut yang sekarang menjadi suami. Mereka dikaruniai tiga orang anak. Si sulung sudah berumur 20 tahun, si tengah 16 tahun, dan si bungsu 10 tahun.
Si sulung, yang dipanggil Aa (kakak laki-laki) berhasil menamatkan jenjang pendidikannya hingga sekolah menengah atas berkat bantuan guru mengajinya. Ia bisa mengajari adik-adiknya, terutama si bungsu Rizki, untuk memahami pelajaran sekolah. Sementara itu, anak tengah Enung enggan melanjutkan sekolah dasar karena malu akan umurnya yang tidak sama dengan murid-murid lainnya.
“Kadang saya kesal dengan diri sendiri, tidak bisa ngajarin anak kalau anak nanya soal pelajaran, gara-gara saya tidak tamat sekolah. Untung ada si Aa,” tutur Enung.
Si sulung pernah bekerja sebagai petugas satuan keamanan (satpam). Pagebluk tahun lalu membuatnya kehilangan sumber pendapatan itu. Masih kesulitan menemukan pekerjaan, si Aa saat ini mencari uang dengan mengamen bersama si tengah di lampu merah. Tentu saja Enung sering khawatir melihat keduanya.
“Khawatir saya teh, tapi da keukeuh weh hayangeun ngamen budakna (tapi anaknya tetap bersikukuh untuk mengamen). Ya itu juga karena Ibu tidak bisa kasih uang, mereka ingin jajan,” katanya.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (9): Kisah dari Sebuah Kedai Sop Buah
Cerita Orang Bandung (8): Hidup Oneng, Perempuan Pemulung Sampah Keliling
Cerita Orang Bandung (7): Perjuangan Juru Parkir di balik Eloknya Jalan Braga
Tetap Bisa Tertawa
Meski hidup kian sulit, Enung tidak masih bisa menghibur dirinya dengan bercanda bersama teman-teman sesama pedagang bergerobak. Mereka biasanya saling ‘mengejek’ jualan masing-masing yang belum laku-laku.
“Suka saling kayak gini: ‘Ceu gimana? laku?’ Terus dijawab: ‘aaah susah! susah!’ sambil kita ketawa-ketawa. Itu saja sih hiburan saya,” tutur Enung memeragakan interaksinya dengan teman-temannya.
Percakapan-percakapan sederhana dengan mereka yang senasib sepenanggungan seperti inilah yang justru terus-menerus menguatkan Enung. Bukan bantuan pemerintah yang sekali datang lalu habis tak sampai sebulan kemudian.
“Ibu mah yang penting harus jualan, harus usaha,” ucap Enung penuh keyakinan. “Gak bisa mengandalkan pemberian orang.”