• Cerita
  • Cerita Orang Bandung (7): Perjuangan Juru Parkir di balik Eloknya Jalan Braga

Cerita Orang Bandung (7): Perjuangan Juru Parkir di balik Eloknya Jalan Braga

Maman Sulaeman (57), seorang juru parkir di Jalan Braga, Bandung. Ia harus berjuang keras agar anak-anaknya bisa memperoleh layanan pendidikan setinggi mungkin.

Maman Sulaeman (57), yang bekerja sebagai juru parkir di Jalan Braga, Bandung sejak 2016 lalu, sedang mempraktikkan cara membayar tagihan menggunakan mesin parkir, Sabtu (12/6/2021) siang. (Foto: Bani Hakiki)

Penulis Bani Hakiki13 Juni 2021


BandungBergerak.id - Jalan Braga, yang terlihat elok berkat deretan bangunan cagar budayanya, sudah sejak lama menjadi destinasi favorit bagi para pelancong. Nuansa Bandung tempo dulu yang masih kental dengan mudah memikat siapa saja yang datang.

Namun kisah tentang Braga bukan melulu kisah tentang pemandangan elok. Ada kisah tentang orang-orang biasa yang bejuang di sepanjang jalan legendaris di pusat kota itu agar bisa bertahan hidup. Maman Sulaeman (57), seorang juru parker, salah satunya.

Maman pertama kali datang ke Bandung pada tahun 1995 dengan niat mencari pekerjaan yang lebih layak. Sebelumnya ia bekerja sebagai petani kebun panggilan dari desa ke desa di kampung halamannya di Parakan Muncang, Sumedang. Ketika itu Maman percaya bahwa Bandung bisa memberinya penghidupan lebih baik.

Sesampainya di Kota Kembang, Maman melamar sebagai petugas satuan pengamanan (satpam) di salah satu hotel bintang lima pertama di kota ini. Ia mengaku pernah menjadi ketua keamanan. Pekerjaan yang ia lakoni selama 13 tahun ini adalah salah satu keberuntungan terbesar dalam hidup Maman.

“Gaji mah sebenarnya gak gede-gede teuing (tidak terlalu besar), tapi saya emang dari kecil lumayan rajin nabung. Kepakelah hobi itu di sampai sekarang,” tutur Maman sambil menghitung jumlah karcis parkir yang nanti harus ia setor ke Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung, Sabtu (12/6/2021) siang.

Dari hotel bintang lima itu, Maman pernah pindah ke dua hotel lain untuk pekerjaan yagn sama: petugas satpam. Pada tahun 2016 ia memutuskan utnuk berhenti. Tubuhnya ia rasakan sudah tidak muda lagi. Sejak itulah Maman memulai pekerjaan sebagai salah satu juru parkir di kawasan Jalan Braga.

Baca Juga: Cerita Orang Bandung (6): Kebijaksanaan Hidup Penjual Soto Ayam
Cerita Orang Bandung (5): Perjalanan Udin bersama Gerobak Pikul Bakso Cuankinya
Cerita Orang Bandung (4): Japrem bagi Seorang Penjual Ayam Goreng Tepung

Sekadar Terdaftar

Di sepanjang Jalan Braga, ada delapan juru parkir yang terbagi ke dalam tiga sif secara bergantian. Maman Sulaeman biasa bekerja sejak pukul 8 pagi hingga pukul 12 siang. Pendapatan bersih hariannya tidak menentu, sekitar 70 ribu sampai 100 ribu rupiah setelah setoran ke Dinas Perhubungan (Dishub) Kota Bandung.

Sertifikasi dan kartu anggota resmi sebagai juru parkir diperoleh Maman secara gratis. Hal ini dilakukan untuk menghindari pungutan liar (pungli) yang sebelumnya sering dilakukan oleh preman dan oknum organisasi masyarakat (ormas). Namun, sertifikasi tidak serta-merta disertai jaminan kesejahteraan dan keselamatan kerja bagi masing-masing juru parkir.

“Kartu ini cuma berarti kita (para juru parkir) terdaftar di Dishub. Jadi, nanti mereka nagih setorannya ke kita yang sudah terdaftar resmi di kantor,” jelas Maman sambil menunjukkan kartu keanggotaannya.

Ada beberapa mesin parkir yang dipasang di Jalan Braga. Namun belum semua orang menggunakannya. Maman harus bersiasat agar tidak kecolongan ketika harus menyetor tagihan parkir ke Dishub. Ia buat kartu parkir untuk menyetor tagihan kendaraan yang ia tarik biaya retribusinya secara manual.

Di awal pandemi, pendapatan Maman sempat anjlok akibat pemberlakuan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Bandung. Bahkan pernah ia tidak berpenghasilan sama sekali selama sekitar satu bulan. Meski masuk kelompok ekonomi menengah ke bawah, belum sekalipun ia mendapatkan bantuan dari pemerintah.

Kondisi lingkungan rumah Maman pascapenggusuran yang terjadi pada tahun 2019 lalu. Salah satu dari bangunan yang diruntuhkan adalah bekas rumah kakak kandungnya. (Foto: Bani Hakiki)
Kondisi lingkungan rumah Maman pascapenggusuran yang terjadi pada tahun 2019 lalu. Salah satu dari bangunan yang diruntuhkan adalah bekas rumah kakak kandungnya. (Foto: Bani Hakiki)

Demi Pendidikan Anak

Maman Sulaeman memiliki tiga orang anak perempuan. Istrinya telah meninggal dunia akibat suatu penyakit yang diidapnya sekitar 10 tahun lalu. Maman tak pernah begitu mengerti apa penyakit yang diidap oleh istri tercintanya tersebut. Yang jelas, ketika itu kondisi keuangan mereka sedang tidak stabil sehingga kesulitan menyisihkan uang untuk berobat.

Maman mengaku sempat terpikir untuk menambah penghasilan membuka warung dan berjualan. Namun setelah memikirkannya sungguh-sungguh, ia akhirnya memilih menggunakan sedikit uang tabungan untuk mencukupi biaya pendidikan anak-anaknya. Ia bersyukur anak keduanya bisa sampai ke jenjang kuliah.

“Dipikir-pikir daripada nabung buka warung, saya kan udah gak punya gaji tetap, mending uangnya ditabung untuk biaya kuliah anak saya. Sugan (siapa tahu) mereka bisa hidup lebih enak,” ujar pria berkulit sawo matang kelahiran 1954 ini.

Pernikahannya dikarunia oleh kelahiran tiga orang anak peremepuan yang takpernah mengeluh dengan keadaan ekonomi keluarganya. Maman selalu mengingatkan anak-anaknya agar bersekolah setinggi-tingginya supaya bisa hidup mandiri dan mendapatkan lahan pekerjaan yang layak.

Dahulu Maman dan anak-anaknya tinggal berdampingan di sebuah kawasan di belakang mal Braga City Walk. Sebagian tinggal di rumahnya, sebagian lagi tinggal bersama kakaknya yang rumahnya hanya berjarak beberapa langkah saja.

Pada 2019, rumah kakaknya itu terdampak penggusuran. Sang pemilik terpaksa pulang dan tinggal ke Sumedang setelah rumah baru yang dijanjikan pemerintah tak pernah terwujud. Anak kedua Maman menyusul ke Sumedang setelah menyelesaikan kuliahnya di Universitas Pasundan sejak awal tahun 2021 ini.

Maman memilih tetap tinggal di kawasan tersebut bersama anak sulung dan bungsunya. Si sulung bekerja di bagian keamanan di sebuah hotel di Jalan Braga, sementara si bungsu baru saja menyelesaikan pendidikan di sekolah menengah kejuruan.

“Saya gak ngerti ya sebenarnya rumah itu digusur untuk apa. Soalnya sampai sekarang rumah kakak saya cuma diratain aja, belum dibangun apa-apa,” tutur Maman.

Saat ini Maman sedang mencari-cari lowongan kerja di bidang manajemen untuk anak keduanya. Ia berharap anaknya itu bisa kerja secepatnya sehingga bisa membatu kelanjutan pendidikan si bungsu. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//