Cerita Orang Bandung (5): Perjalanan Udin bersama Gerobak Pikul Bakso Cuankinya
Berjualan bakso cuanki keliling bukan impian utama Udin Syahrudin, tapi ia bersyukur bisa menggapai impian masa kecilnya: pergi ke Bandung.
Penulis Bani Hakiki11 Juni 2021
BandungBergerak.id - Bandung adalah sebuah destinasi impian bagi Udin Syahrudin (66) sejak masih masa kanak-kanaknya dulu. Sebelum akhirnya bisa hijrah ke kota lima tahun lalu, ia hanya mendengar cerita tentangnya dari keluarganya di Garut. Kini impiannya bisa pergi ke Bandung telah tercapai, namun tak semua kenyataan seindah yang ia bayangkan.
Mulanya Udin memdambakan Bandung bakal jadi awal keberhasilan. Ia tak pernah menyangka sebelumnya kalau hidup di kota ini justru bakal penuh dengan tantangan. Terlintas di pikirannya, ia telat memulai perjalanan di kota ini karena usianya yang sudah senja.
Apa daya. Pria lulusan kelas 4 sekolah dasar ini harus menjadi seorang pekerja keras, meski sifatnya yang pemalu sering menjadi hambatan mengambil peluang kerja.
“Kirain saya cari kerja di Bandung teh gampang. Soalnya banyak juga tetangga-tetangga di Garut yang sekarang tinggal di sini. Katanya, mereka suka ngirim uang dari Bandung. Ternyata lumayan ripuh oge nya (sulit juga ya) di sini teh,” ujar Udin sambil mencuci mangkuk cuanki bekas pelanggan, di kawasan Tamansari, Kamis (10/6/2021) siang.
Mudah Lelah, Sering Sakit
Udin Syahrudin datang ke Bandung pada 2016 dengan modal tak seberapa banyak yang dibawa dari kampung halaman. Ia buat sendiri sebuah gerobak pikul untuk berjualan bakso cuanki keliling. Biayanya sekitar Rp 1 juta.
Di dalam gerobak yang ia pikul sambil berjalan kaki ke mana-mana itu, Udin menyimpan kompor minyak. Ia tidak memakai kompor gas karena terlalu berat. Konsekuensinya, ia harus menyiapkan modal sedikit lebih banyak untuk membeli minyak tanah yang harganya relatif mahal, yakni Rp 14 ribu per liter.
Satu mangkuk bakso cuanki Udin dijual seharga mulai dari Rp 10 ribu hingga Rp 15 ribu. Penghasilan yang ia dapat sekitar Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu per hari, tapi sejak pandemi Covid-19, penghasilannya berkurang.
Cihampelas, Tamansari, Dipatiukur, dan Dago merupakan rute yang biasa dijelajahi Udin bersama gerobak pikul bakso cuankinya. Berangkat berjualan sejak jam 9 pagi, ia baru beres sekitar pukul 12 malam. Di kawasan Cihampelas, ia tinggal seorang diri.
Di umurnya yang mulai renta, Udin makin mudah merasa lelah. Persendiannya sering sakit.
Udin mengaku baru saja kembali ke Bandung setelah menghabiskan dua bulan di Garut. Di kampung halamannya itu ia menjadi buruh tani dengan penghasilan Rp 40 ribu per hari.
Sejak putus sekolah karena kekurangan biaya, Udin sudah terbiasa ikut orang tuanya bekerja di ladang. Sejak umur 15 tahun, ia sudah biasa membantu kedua orang tuanya yang bekerja sebagai petani.
Udin merupakan anak kedua dari enam bersaudara. Sekolah menengah pertama jadi pendidikan tertinggi yang pernah dicapai lima saudara kandungnya.
“Tadinya saya pergi ke Bandung dengan modal saaya-aya (seadanya) mau diputerin lagi untuk buka warung. Eh, (ternyata) untuk makan sehari-hari saja kadang ngepas. Udah lima tahun, belum juga kumpul (uangnya),” tutur Udin sambil menggelengkan kepalanya. “Terus saya juga kan harus ngasih uang buat keluarga.”
Udin memiliki seorang istri yang tinggal di kampung halaman. Mereka dikaruniai lima anak yang masing-masing sudah berkeluarga. Sebelum pandemi, ia biasa pulang setidaknya sekali dalam satu bulan.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (1): Kesaksian dari TPU Cikadut
Cerita Orang Bandung (2): Kejujuran Agus demi Keluarga di Kampung Halaman
Cerita Orang Bandung (3): Iis Jumasih dan Warung Loteknya
Cerita Orang Bandung (4): Japrem bagi Seorang Penjual Ayam Goreng Tepung
Pengetahuan dan Rezeki dari Mahasiswa
Penghasilan terbesar Udin Syahrudin datang ketika ia nongkrong di kampus. Pagebluk yang memaksa mahasiswa tidak bisa datang ke kampus membuat usahanya sangat terpukul. Ketika membeli bakso cuanki, tidak jarang para mahasiswa itu memberi uang lebih yang jadi tambahan penghasilan bagi Udin.
Dua kampus yang paling sering disambangi Udin adalah Universitas Islam Bandung (Unisba) dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Di sana ia sudah cukup banyak mengenal mahasiswa pelanggannya, terutama mereka yang biasa membeli pada sore hingga malam hari. Udin mengaku senang bisa berbicara dengan anak-anak muda yang beruntung bisa melanjutkan pendidikan ke jejang perguruan tinggi.
“Mahasiswa teh pintar-pintar ya. Saya suka dapat banyak ilmu baru. Saya emang kadang suka gak ngerti sama apa yang diomongin. Kebanyakan pelanggan yang saya kenal ya mahasiswa dan kebanyakan barageur (baik-baik),” tutur Udin. “Buat orang kayak saya (tak mampu sekolah), senang pisan diajak ngobrol sama mahasiswa.”
Meski penuh tantangan, Udin merasa beruntung bisa datang dan bekerja di Bandung. Ia juga bersyukur tak pernah mendapatkan masalah besar selama berjualan. Banyak rezeki tidak terduga datang dari orang-orang yang ia temui di jalanan.
“Rezeki mah aya weh (selalu ada). Sering saya di jalan tiba-tiba ada orang kasih makanan. Kadang ada juga yang tiba-tiba ngasih uang cuma-cuma. Alhamdulillah, saya senang hidup di Bandung, keluarga jadi gak perlau khawatir saya cari nafkah di sini,” ucap Udin.