Cerita Orang Bandung (4): Japrem bagi Seorang Penjual Ayam Goreng Tepung
Kisah Yandi Zumanudi adalah juga kisah orang-orang kecil lain di jalanan Kota Bandung. Berjuang sekuat tenaga mengais rezeki, mereka harus berurusan dengan japrem.
Penulis Bani Hakiki10 Juni 2021
BandungBergerak.id - Yandi Zumanudi (29) sudah delapan tahun lamanya mengadu nasib di Bandung. Pria kelahiran Majalengka ini pergi atas ajakan teman-teman dan keluarganya di kampung halaman yang sudah lebih dulu menetap di Bandung. Bermodal ijazah sekolah menengah atas (SMA), tak banyak kesempatan kerja yang ia punya.
Selama di Kota Kembang Yandi tinggal satu atap bersama salah satu keluarganya di bilangan Jalan Jakarta, Antapani, tepat di depan kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung. Tak jauh dari sana terdapat sebuah warung semi permanen di pinggir jalan raya. Sejak lima tahun lalu, warung ayam goreng tepung di bawah sebuah merek dagang waralaba itulah yang jadi sandaran hidup Yandi.
Yandi membuka warungnya setiap hari sejak pukul 9 pagi hingga 8 malam tanpa libur. Ia dibayar Rp 60 ribu per hari. Jumlah yang kadang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Apalagi ia memiliki tanggungan keluarga: seorang istri dan seorang anak berumur tiga bulan yang senantiasa menunggu kepulangannya di kampung halaman.
“Sebelum pandemi, saya masih sering pulang untuk ketemu keluarga. Tapi ya lumayan boroslah kalau keseringan,” kata Yandi sambil membungkus pesanan seorang pelanggan, ditemui BandungBergerak.id, Rabu (9/6/2021) siang.
Modal utama Yandi, selain ijazah sekolah, adalah pemikiran “nekat” dan keinginan kuat untuk bisa hidup mandiri. Ia merasa tak perlu sirik dengan kesenjangan ekonomi yang terlihatjelas di kota ini. Toh, ia bisa menjalani kehidupan sehari-harinya tanpa perlu punya tujuan untuk menjadi orang berduit. Konsep hidup sederhana sudah dipelajari Yandi sejak tumbuh dan berkembang di kampung halaman.
Sebelum berjualan ayam goreng tepung kaki lima, Yandi mengadu peruntungan selama tiga tahun sebagai pedagang batagor pinggir jalan. Lokasinya hanya beberapa langkah saja dari warung waralaba tempat ia saat ini bekerja.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (3): Iis Jumasih dan Warung Loteknya
Cerita Orang Bandung (2): Kejujuran Agus demi Keluarga di Kampung Halaman
Cerita Orang Bandung (1): Kesaksian dari TPU Cikadut
Penipuan
Ada banyak kisah yang bisa muncul dari seorang penjual ayam goreng tepung kaki lima seperti Yandi. Beberapa di antaranya membuat geleng-geleng kepala.
Pernah suatu hari datang seorang pembeli memesan beberapa porsi paket ayam dan nasi yang harganya bervariasi mulai dari Rp 12 ribu hingga Rp 16 ribu. Ketika harus membayar, ia mengaku harus ke rumah dulu mengambil uang atau dompet yang tertinggal di rumah.
Tentu saja Yandi sudah curiga bahwa ada yang tidak beres. Namun ia silakan juga si pembeli pergi tanpa pernah kembali untuk membayar. Begitulah Yandi harus mengganti uang pesanan yang melayang tersebut dengan gaji hariannya. Bukan hanya satu kali kejadian, tapi beberapa kali.
“Saya mau suudzon juga gak enak. Jadi ya sudalah, saya percaya weh daripada jadi terkesan jutek gitu, hahaha!” candanya dengan ekspresi wajah yang legawa.
Yandi termasuk orang yang beruntung. Ia tak pernah terkena mengalami pengurangan bayaran haria meski penjualan sempat merosot hingga lebih dari 50 persen di bulan-bulan awal pagebluk.
Uang Japrem
Bagi orang Bandung, Antapani cukup kesohor dengan premanisme yang biasanya dilakukan oleh oknum-oknum organisasi massa (ormas). Tingkat kepadatan penduduk yang tinggi membuat Antapani menjadi kawasan yang keras. Para pedagang kaki lima seperti Yandi Zumanudi bisa bicara banyak tentang masalah ini.
Sudah bukan rahasia jika para pedagang merupakan target favorit para preman. Sewaktu-waktu mereka harus siap ditodong pungutan liar yang biasa disebut jatah preman (japrem) oleh mereka yang berseragam ormas. Alasan pungutan itu berupa-rupa, mulai dari uang keamanan sampai hal-hal kecil untuk urusan pribadi dan kelompoknya.
“Biasanya (preman) yang datang itu udah dalam keadaan bau alkohol, mabuk. Saya mah suka bayar juga gak seberapa, paling lima ribu atau sepuluh (ribu). Paling gede ya lima belas ribuanlah. Kumaha ngancemna weh (tergantung ancamannya),” jelas Yandi sambil memeragakan beberapa ancaman yang menyertai aksi pungli, mulai dari kuda-kuda memukul sampai ancaman benda tajam.
Lagi-lagi Yandi harus megganti uang yang melayang entah ke mana itu dengan bayaran hariannya. Ia mengaku pada awalnya sempat syok melihat kehidupan urban yang keras seperti ini. Namun, sedikit demi sedikit ia mulai bisa mengikut alur permainan demi tetap menyambung hidup.
Yandi menganggap uang yang ia keluarkan untuk penipu dan preman sebagai sedekah. Ia hanya berharap tidak akan ada ancaman yang lebih berbahaya dari apa yang pernah ia alami. Ia memikirkan istri dan anaknya di kampung halaman.
“Emang bukan rezekinya weh,” kata Yandi, tersenyum. “Sugan maranehna emang keur butuh (siapa tahu mereka sedang membutuhkan). Ya gak ada yang tahulah.”