Cerita Orang Bandung (6): Kebijaksanaan Hidup Penjual Soto Ayam
Ahmad Zamirudin (57) sudah melakoni sekian jenis pekerjaan. Dari pengamen, pemulung, tukang becak, tukang sate, hingga penjual soto ayam.
Penulis Bani Hakiki12 Juni 2021
BandungBergerak.id - Manusia serba bisa. Begitulah Ahmad Zamirudin (57) menggambarkan sosoknya sendiri dalam tiga kata. Manis dan pahit kehidupan urban telah ia cecap. Semua mengajarnya untuk selalu menjalani hidup dan memandang setiap masalah di dalamnya secara sederhana.
Pekerjaan utama Ahmad saat ini adalah penjual soto ayam. Ia sudah melakoninya sejak awal tahun 2001 lalu. Mulanya Ahmad membuka kedainya di salah satu kantin di dalam kampus Institut Teknologi Bandung (ITB). Tiga tahun kemudian ia memilih untuk berjualan di luar kampus. Dari kawasan Dago, pada 2010 Ahmad pindah ke Gelapnyawang, tepat di belakang SMA Negeri 1 Bandung.
Warung Ahmad buka dari pukul 9 pagi dan baru tutup jika dagangan sudah habis. Satu porsi soto ayam dengan nasi dijual seharga Rp 13 ribu.
“Jualan soto itu seru loh. Saya nyaman sekali jadi pedagang soto. Gerobak ini teh sejarahnya panjang, selalu mengingatkan saya pas awal-awal saya mulai berpenghasilan di Bandung,” tutur Ahmad ditemui BandungBergerak.id, Jumat (11/6/2021) siang.
Pelanggan Ahmad banyak, dari anak muda sampai orang tua. Cara komunikasinya yang ekspresif membuatnya gampang berkenalan dengan orang-orang yang baru ia temui.
Selain berjualan soto ayam, Ahmad memiliki usaha sampingan di rumahnya. Ia menerima pesanan pembuatan berbagai macam furnitur. Ia ajak anak-anak muda dan tetangga setiap kali mendapat pesanan. Pernah juga ia berjualan sate, tapi hanya bertahan setahun karena tak kuat akibat kelelahan.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (5): Perjalanan Udin bersama Gerobak Pikul Bakso Cuankinya
Cerita Orang Bandung (4): Japrem bagi Seorang Penjual Ayam Goreng Tepung
Cerita Orang Bandung (3): Iis Jumasih dan Warung Loteknya
Nekat ke Bandung
Ahmad Zamirudin, kelahiran Madura, memilih meninggalkan kampung halamannya menuju Bandung sejak lulus sekolah menengah atas pada tahun 1982. Ia bahkan mengaku tidak sempat merasakan malam perpisahan bersama teman-teman sekolahnya. Bekalnya hanya kenekatan dan tabungan seadanya untuk membeli tiket kereta. Ia tidak tahu apa yang bakal bisa dikerjakan untuk bertahan hidup di Kota Kembang.
Bandung menyambut Ahmad dengan cara yang keras. Sejumlah pekerjaan jalanan pernah ia lakoni, mulai dari pengamen, pemulung, hingga pengayuh becak. Tempat tidurnya berpindah-pindah, dari emperan toko sampai rumah pohon yang ia dirikan di sekitar Stasiun Bandung.
“Saya harusnya udah naik pangkat berapa kali itu,” canda Ahmad sambil mengacungkan jempol.
Ahmad adalah anak ke-7 dari 13 bersaudara. Semua saudaranya telah tinggal berpencar di banyak kota di Indonesia, tapi hanya ia sendiri yang hidup di Bandung. Ahmad dan sang istri tinggal di kawasan Pasirkaliki sejak tahun 2004. Mereka dikaruniai dua orang anak yang saat ini masing-masing duduk di bangku kelas 5 SD dan 10 SMA.
“Saya mah apa aja dikerjain. Mau minta saya bikin apa? Insyallah bisa. Gini-gini kenalan saya banyak, dari preman, artis, sampai pejabat,” tutur Ahmad yakin, seraya mengepalkan tangan.
Sudah lama sekali Ahmad tidak pulang kampung ke Madura atau ke beberapa rumah saudaranya di Kebumen. Terakhir kali ia bertemu beberapa kakak dan adiknya dalam hajat pernikahan adik perempuannya pada pertengahan tahun 2004.
Ada di Pikiran
Puluhan tahun hidup dan bertarung di Bandung, sebuah kota yang membuatnya jatuh hati, Ahmad Zamirudin memiliki banyak pengalaman luar biasa yang kebanyakan terjadi tanpa sengaja. Putaran roda kehidupan, yang tak jarang amat keras dan kencang, telah membentuk dirinya menjadi orang yang punya banyak ide.
Suatu hari ketika bekerja sebagai pengayuh becak keliling pada tahun 1980-an, Ahmad menerima permintaan untuk mengirim 16 drum air sekaligus dari distributor di Pasar Atas Cimahi ke seorang pembeli di bilangan Cicaheum. Bayaran yang diterima Ahmad Rp 45 ribu, setengah dari rata-rata pendapatan hariannya.
Di tengah perjalan yang tak biasa itu, ketika ia kepayahan menggenjong becaknya yang penuh dengan drum air, Ahmad dikejar-kejar seorang wartawan. Kisahnya diangkat jadi sebuah berita yang dimuat di koran Kompas yang terbit keesokan harinya.
“Itu wartawan lari-lari sambil pegang recorder jadul itu tuh. ‘Pak, mau ke mana, Pak?’ tanyanya sambil ngos-ngosan cuma untuk wawancara saya,” tutur Ahmad sambil tertawa-tawa.
Pada kisaran tahun 1996 sampai 1998, Ahmad ke Jakarta dan bekerja sebagai tukang ojek sepeda keliling. Ketika itu ia sering mengikuti demonstrasi buruh dan mahasiswa di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Melepas pekerjaan sebagai tukang ojek sepeda, Ahmad bekerja serabutan agar bisa bertahan hidup.
Pada awal tahun 2000, Ahmad balik ke Bandung dan memulai banyak hal dari nol lagi. Itulah awalnya ia berjualan soto ayam. Dari kantin di dalam kampus, ia pindah ke pinggiran jalan.
Menengok ulang perjalanan hidupnya yang teramat panjang, Ahmad sampai pada sebuah kebijaksaan hidup yang menarik. Baginya, obat paling mujarab dari segala masalah adalah pikiran manusia itu sendiri. Jika setiap orang mampu mengendalikan cara padang dan berpikirnya, mereka tidak akan merasa tertekan ketika menemui cobaan hidup seberat apapun.