Cerita Orang Bandung (8): Hidup Oneng, Perempuan Pemulung Sampah Keliling
Oneng (64) sudah harus bekerja sebagai pemulung sampah keliling sejak meninggalkan bangku kelas lima SD. Empat anaknya lulusan SMP. Suaminya sedang sakit keras.
Penulis Bani Hakiki15 Juni 2021
BandungBergerak.id - “Ibu Rongsok”. Begitu para tentangga menyebut sosok perempuan 64 tahun itu tanpa pernah tahu siapa nama aslinya. Sebutan yang muncul semata karena pekerjaannya sebagai pemulung sampah keliling.
Nama perempuan tangguh itu Oneng. Dia dilahirkan di Sumedang sebagai anak keempat dari lima bersaudara. Sejak kelas dua sekolah dasar, Oneng diajak oleh salah seorang pamannya (uwa) ke Bandung dan tinggal di bilangan Kiaracondong.
Tiga tahun hidup di Bandung, Oneng sudah berkenalan dengan pekerjaan memulung sampah, mengikuti jejak sang paman. Tidak ada cukup uang untuk meneruskan sekolah bocah perempuan itu.
Ketika beranjak remaja, Oneng sempat bekerja selama lima tahun sebagai pencuci botol obat bekas di sebuah apotek di Jakarta. Namun dia tidak betah hidup di Ibu Kota. Oneng pun kembali ke Bandung sekitar tahun 1990.
“Saya tinggal di Jakarta pindah-pindah, dari bedeng ke bedeng. Gak betah, jalanan Jakarata banyak pisan orang jahat,” ujar Oneng ketika ditemui BandungBergerak.id sedang duduk istirahat di pinggiran jalan di kawasan Kawali, Antapani, Senin (14/6/2021) siang.
Oneng biasa bekerja sejak pukul 5 pagi hingga 6 sore, dari Senin sampai Sabtu. Jenis sampah yang dia kumpulkan adalah barang bekas berbahan plastik. Pada hari Minggu, dia menjual semua sampah yang dikumpulkan ke pengepul utama di Sukapura.
Rute perjalanan Oneng dan gerobak sampahnya sekarang tak terlampau luas, hanya di sekitar Kelurahan Antapani Kulon saja. Sebelumnya, dia bisa menjelajah lebih jauh. Sebuah kecelakaan tabrak lari sekitar 11 tahun lalu membuatnya trauma. Oneng menderita memar di bagian dahi, diskolasi pada bahu kanan, dan patah tulang kering pada kaki kanan.
“Saya ditabrak motor, langsung pingsan. Sadar-sadar udah di bengkel tulang di Ujungberung. Saya berhenti kerja hampir satu tahun (setelah kecelakaan),” tutur Oneng sambil menunjukkan bekas luka pada kaki kanannya.
Penghasilan Oneng hanya berkisar 100-150 ribu rupiah setiap pekan. Jumlah ini tentu saja jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Beruntung, dia sering mendapat sumbangan sembako oleh lima orang dermawan yang mengenalnya.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (7): Perjuangan Juru Parkir di balik Eloknya Jalan Braga
Cerita Orang Bandung (6): Kebijaksanaan Hidup Penjual Soto Ayam
Cerita Orang Bandung (5): Perjalanan Udin bersama Gerobak Pikul Bakso Cuankinya
Biaya Pengobatan Suami
Oneng merupakan satu-satunya tulang punggung pendapatann keluarganya. Suaminya sudah tidak bekerja sejak jatuh sakit empat tahun lalu. Penyakit paru-paru dan jantung membuat lelaki yang sebelumnya bekerja sebagai kuli panggilan dari rumah ke rumah itu tidak lagi bisa beraktivitas berat.
Selain mencukupi kebutuhan harian, Oneng harus pintar-pintar menabung pendapatannya yang tak seberapa untuk membantu pengobatan sang suami. Dia tidak pernah putus asa. Justru cobaan ini, bersama cinta dan kesetiaannya pada suami, jadi pemantik semangat baru bagi Oneng untuk menjalani hidup urban yang keras.
“Dulu, (suami) sempat rutin berobat ke dokter. Udah banyak jenis pengobatan yang dicoba, tapi gak pernah sembuh. Biaya berobat teh mahal, sekarang udah jarang ke dokter. Gak mampu lagi (berobat),” tutur Oneng, menahan tangis.
Oneng melahirkan empat orang anak dari pernikahannya. Dua perempuan dan dua laki-laki. Semua sudah berkeluarga. Dua orang anaknya tinggal di daerah Dayeuhkolot, satu orang di Parakansaat, sementara si bungsu perempuannya masih tinggal bersama Oneng dan suami di Antapani.
Oneng bersyukur bisa membesarkan keempat anaknya dan menyekolahkan mereka meski hanya sampai jenjang sekolah menengah pertama. Dia senang mereka sudah membangun keluarga masing-masing. Tak ingin banyak-banyak merecoki mereka, Oneng memilih untuk terus bekerja.
Kehilangan Rumah
Dahulu Oneng dan keluarganya membangun rumah di sekitar Terminal Cibuntu. Itulah harta paling berharga yang pernah dia miliki. Hampir 20 tahun lamanya keluarga Oneng tinggal di sana. Di lingkungan rumah itulah Oneng dikenal oleh tetangganya dengan nama Oneng, bukan “Ibu Rongsok”.
Namun rumah itu seketika rata jadi tanah akibat program penggusuran yang dilakukan pemerintah 15 tahun lalu. Hilang sudah ribuan kenangan Oneng bersama keluarganya. Mereka terpaksa berpindah-pindah tempat tinggal sebanyak empat kali sebelum tinggal di rumahnya sekarang. Tidak ada janji yang diberikan pemerintah selain uang kompensasi sebesar 1 juta rupiah bagi masing-masing kepala keluarga.
“Gak tahu ya dulu teh digusur untuk apa. Gak ada peringatan apa-apa setahu saya mah, duka abdi nu teu terang (entah saya yang tidak tahu). Sampai sekarang juga gak dibangun apa-apa, rata aja dengan tanah,” tutur Oneng sambil menunduk memainkan jemarinya.
Sejak pagebluk Covid-19 tahun lalu, hanya sekali saja Oneng memperoleh bantuan sosial. Jumlah uangnya cukup untuk menghidup Oneng dan keluarganya selama satu bulan. Namun, ketika beredar kabar adanya bantuan lanjutan pada awal Mei 2021 lalu, namanya sudah hilang dari daftar penerima.