Cerita Orang Bandung (15): Endang dan Nasib Selebar Jalan Parakan Saat
Endang (72) sudah 30 tahun menjaga palang pintu perlintasan kereta api di Jalan Parakan Saat, Bandung. Upah diperoleh dari sumbangan sukarela para pengguna jalan.
Penulis Boy Firmansyah Fadzri3 Juli 2021
BandungBergerak.id - Endang (72) sudah 30 tahun menjaga palang pintu perlintasan kereta api di Jalan Parakan Saat, Arcamanik. Sebelumnya, ia bekerja sebagai buruh pembuat sepatu selama 20 tahun. Endang menerika surat PHK (pemutusan hubunga kerja) ketika usianya tak lagi muda sehingga sulit baginya menemukan pekerjaan formal di perusahaan.
Endang lahir dan tinggal di Parakan Saat, sebuah jalan penghubung antara kecamatan Antapani dan by pass Soekarno-Hatta. Dari tahun ke tahun, jalan alternatif itu semakin padat oleh kendaraan. Jalan yang menjadi tumpuan pendapatan Endang.
Pada suatu hari di tahun 1991, di Parakan Saat, tak jauh dari rumah Endang, sebuah mobil tertabrak kereta api. Dampaknya, PT. KAI memutuskan untuk menutup akses jalan itu.
Dua hari berselang Endang, bersama salah satu tetangganya, berinisiatif membuka kembali akses jalan lantaran beberapa mobil proyek perumahan di sekitar Antapani harus melintas. Pejabat PT. KAI memanggilnya untuk dimintai pertanggungjawaban. Dalam pertemuan itulah Endang mengajukan dirinya untuk menjadi penjaga perlintasan kereta api tersebut.
“PT. KAI tidak akan kasih honor. Jangankan honor, untuk perlengkapan saja seperti palang pintu dan bikin pos, enggak bakalan ada,” tutur Endang, ditemui BandungBergerak.id, Selasa (29/06/21) lalu.
Baca Juga: Cerita Orang Bandung (14): Seorang Tukang Jahit di Trotoar Jalan Dewi Sartika
Cerita Orang Bandung (13): Ahmad Zaelani dan Kerasnya Hidup di Kota Kembang
Cerita Orang Bandung (12): Seorang Sopir Ambulans di Puncak Gelombang Covid-19
Dua Kecelakan, Nol Bantuan
Selama mengemban tugas secara sukarela itu, Endang menyaksikan dua kali kecelakaan di perlintasan kereta api. Selain karena tindakan ceroboh menerobos palang pintu, kecelakaan juga terjadi karena kurangnya koordinasi. Ironisnya, tidak pernah ada bantuan yang diberikan PT. KAI untuk menunjang tugasnya. Pengajuan bantuan, juga permintaan honor, tiada hasi.
“Pernah minta radio untuk komunikasi dengan stasiun terdekat, karena dulu pernah kejadian kecelakaan. Ada kereta yang lebih dulu melintas daripada lampu indikator yang ada di samping pos. Tapi (saya) disuruh beli sendiri,” keluh Endang.
Awalnya Endang dibantu tiga rekannya yang silih berganti menjaga perlintasan kereta api di Jalan Parakan Saat itu. Pendapatan mereka peroleh dari pemberian sukarela para pengguna motor dan mobil yang melintas. Dari pendapatan tak seberapa iinilah Endang dan teman-temannya bisa membeli perlengkapan pendukung yang dibutuhkan untuk menjaga perlintasan, seperti palang dan pos jaga.
Dari jalan tanah yang relatif lengang, Parakan Saat sekarang telah menjadi jalur alternatif yang kian padat kendaraan. Besaran sumbangan yang diterima para penjaga perlintasan kereta api pun semkin besar.
Jumlah petugas pun kian gemuk. Saat ini setidaknya terdapat 24 orang penjaga perlintasan di Parakan Saat. Sebagian besar dari mereka adalah mantan tukang ojek setempat yang pendapatannya mulai terkikis.
“Kalau sekarang istilahnya nganjang tuang (nyambung makan). Rekan-rekan terus nambah, jadi harus ada pengurus yang mengatur giliran,” ujar Endang.
Setiap penjaga hanya mendapatkan giliran sebanyak 7 kali dalam 3 pekan. Pendapatan diperoleh dari para pengguna jalan yang dilewati ketera api rata-rata sebanyak 83 kali setiap harinya itu. Dari sumbangan yang diperoleh, setiap orang yang bertugas dikenakan setoran sebesar 15 ribu rupiah untuk dimasukkan ke dalam dana kas desa.
Pagebluk membuat pendapatan Endang dan kawan-kawannya berkurang. Biasanya ia bisa mengumpulkan uang 100 ribu rupiah setiap kali mendapat giliran jaga. Belakangan hanya setengahnya bisa ia bawa pulang.
Gemar Berkebun
Siang itu, ketika bulatan matahari nyaris tegak lurus dengan kepala, Endang tak berhenti mencangkul. Ia sedang menyiapkan satu baris tanah untuk ditanami cabai. Walau tak luas, tanah ini setidaknya membantu Endang memenuhi kebutuhan hidupnya.
“(Ini) Bukan tanah Bapak. Bapak mana punya tanah. Ini tanahnya PJKA (sekarang PT. KAI),” ujar Endang, pria beranak empat, sambil tertawa.
Endang gemar menghabiskan waktu di kebun yang berjarak sekitar 3 meter dari bibir rel kereta api itu. Singkong, cabai, papaya, dan pisang tumbuh subur di sana. Juga ada kandang ayam yang dibuat Endang.
Sebagian besar hasil berkebun dikonsumsi sendiri oleh Endang dan keluarganya. Sebagian kecil lainnya kadang laku dibeli tetangga. Karena dikenal gemar berkebun, Endang pun sesekali diperkerjakan tetangganya untuk membereskan kebun atau taman.
Endang merasa sedikit mujur karena kini keempat anaknya telah bekerja dan berkeluarga. Walau tak semuanya mapan, setidaknya mereka memiliki penghasilan. Endang hanya perlu memenuhi kebutuhannya sendiri dengan sang istri. Mengandalkan selintang portal dan sepetak tanah milik PT. KAI, Endang dan keluarganya hidup dengan amat sederhana.
Dalam kesederhanaan itu, Endang menyaksikan kampungnya yang dulu asri menjadi kian gersang. Jalan tanah yang tenang berganti hiruk-pikuk kota yang padat penduduk. Semua cepat berubah. Tidak seperti nasib Endang berkutat di Jalan Parakan Saat.
“Dari dulu sampai sekarang, sama aja,” katanya. “Namanya juga kuli. Nasibnya ditelunjuk orang.”